Sejumlah kelompok Muslim Indonesia menyerukan ketenangan di tengah amuk dunia Islam atas pidato kontroversial Presiden Prancis Emmanuel Macron yang bernada Islamofobik.
Kelompok Nahdlatul Ulama (NU), organisasi Muslim terbesar di dunia dari Indonesia pada Rabu (28/10) menyerukan ketenangan sambil mengkritik “sekulerisme ekstrem” Prancis, South China Morning Post melaporkan. Seruan itu terlontar ketika umat Muslim di seluruh dunia bereaksi dengan marah terhadap pembelaan kebebasan berbicara dan deskripsi Islam oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron sebagai “agama yang berada dalam krisis”.
“Menghina kehormatan Nabi Muhammad dianggap penghinaan terhadap Islam,” tutur Katib Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama Yahya Staquf, organisasi Muslim yang diperkirakan memiliki 90 juta anggota. Namun, imbuhnya, menanggapi penghinaan terhadap Nabi Muhammad dengan membunuh pelakunya merupakan tindakan biadab yang berpotensi memicu ketidakstabilan yang meluas tanpa kendali.
Lebih dari 90 persen dari 270 juta penduduk Indonesia mengidentifikasi sebagai Muslim, menjadikannya negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia, catat South China Morning Post.
Staquf bereaksi terhadap pernyataan Macron setelah pemenggalan kepala guru sekolah menengah Prancis Samuel Paty oleh ekstremis Chechnya pada 16 Oktober 2020. Paty tewas usai menunjukkan kepada siswanya beberapa kartun Nabi Muhammad yang diterbitkan pada 2015 oleh surat kabar satir Prancis Charlie Hebdo. Penerbitan kartun Nabi ini menyebabkan pembantaian 12 orang di kantor Charlie Hebdo pada tahun yang sama.
Sementara itu di Suriah, orang-orang membakar gambar Macron sebagai reaksi atas komentarnya, sementara bendera tiga warna dibakar di ibu kota Libia, Tripoli. Pun, produk-produk buatan Prancis telah ditarik dari rak supermarket di Qatar, Kuwait, Arab Saudi, dan negara-negara Teluk lainnya.
Seorang pekerja retail menutupi etalase produk Prancis di Amman, ibu kota Yordania pada 25 Oktober 2020 selama protes menolak kartun Nabi Muhammad di media Prancis. Plastik penutup itu bertuliskan bahasa Arab yang berarti “Sebagai solidaritas dengan Nabi Muhammad SAW, semua produk Prancis telah diboikot.” (Foto: Reuters/Muhammad Hamed)
Macron awal bulan ini meluncurkan proposal untuk melawan ekstremisme yang menekankan nilai-nilai sekuler Republik Prancis. Dia menggambarkan Islam sebagai agama yang “berada dalam krisis, termasuk di negara-negara yang menganut agama mayoritas”, sambil menekankan perlunya untuk tidak menstigmatisasi umat Islam.
Beberapa hari kemudian, Paty yang berusia 47 tahun dipenggal kepalanya.
Staquf mendesak umat Islam untuk mengatasi masalah ini dengan tenang “dan tidak menuruti emosi”. Dia mengatakan apa yang “sebenarnya dihadapi umat Islam bukan hanya mereka yang menghina Islam, tetapi kebutuhan semua manusia dari berbagai latar belakang dan keyakinan untuk menemukan landasan integrasi global yang harmonis”.
Staquf, yang merupakan pendukung utama koeksistensi antaragama berujar, ini hanya dapat dicapai melalui “dialog dengan kepala dingin”.
“Umat Muslim tidak boleh mengikuti mereka yang menggunakan Islam dan masalah kartun Nabi sebagai senjata politik untuk mendapatkan keuntungan politik eksklusif sepihak atau dengan sengaja memicu konflik untuk menghancurkan lawan politik,” tegas Staquf kepada South China Morning Post.
Staquf mengatakan Macron tidak sepenuhnya salah dalam menyatakan dunia Islam sedang dalam krisis. Dalam pandangan Staquf, krisis yang ia maksud yakni dunia Islam belum sampai pada konstruksi religius dan sosial politik yang diperlukan untuk berintegrasi secara harmonis dengan seluruh dunia.
Persoalannya, menurut Staquf, Macron menangani masalah saat ini dari perspektif “ideologi sekulerisme ekstrem” Prancis, yang cenderung memandang agama hanya sebagai sumber masalah dan tantangan ideologis yang harus dikalahkan.
“Pandangan sepihak ini disesalkan tidak hanya oleh Muslim, tetapi juga oleh Kristen dan Yahudi,” ungkap Staquf. Ia menambahkan, seluruh komunitas dunia dapat dipandang berada dalam krisis di tengah konflik ideologi dan pandangan dunia. “Dunia membutuhkan platform untuk dialog berdasarkan kejujuran untuk membangun konsensus tentang nilai-nilai peradaban bersama.”
Tokoh Islam Nusantara Yahya Staquf menolak pandangan Muslim Salafi yang disukai oleh radikal Muslim Sunni, yang menegaskan bahwa hanya ada satu ekspresi formal Islam. (Foto: YouTube)
Di Jakarta, gerakan Alumni 212, kelompok Muslim di balik unjuk rasa besar-besaran menjelang Pilkada Jakarta 2017 melawan mantan Gubernur Jakarta yang berlatar belakang Kristen-Tionghoa Basuki Tjahaja Purnama, menyerukan boikot barang-barang Prancis. Mereka mengatakan tidak akan menghentikan setiap Muslim yang membalas dendam terhadap warga Prancis yang tinggal di negara itu, CNN Indonesia melaporkan.
Kementerian Luar Negeri Indonesia telah memanggil Duta Besar Prancis di Jakarta untuk menyampaikan keprihatinannya atas situasi di Prancis.
Di tempat terpisah, Muhammadiyah, organisasi Muslim terbesar kedua di Indonesia, menyebut komentar Macron “tidak bijaksana” dan tak toleran. Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Dadang Kahmad menyebutkan, kata-kata Macron sangat “disesalkan” dan menimbulkan kekhawatiran akan memicu “Islamofobia” dalam masyarakat Prancis.
Di negara tetangga Malaysia yang mayoritas Muslim, Menteri Luar Negeri Hishammuddin Hussein mengatakan negara itu dengan keras mengutuk “ujaran kebencian dan penistaan Islam”. Dia juga menyatakan keprihatinan atas permusuhan yang berkembang terhadap Muslim.
“Secara prinsip, kami mengutuk keras retorika yang menghasut dan tindakan provokatif yang berusaha mencemarkan nama baik agama Islam seperti yang disaksikan dunia baru-baru ini dalam bentuk pidato populis dan publikasi karikatur penghujatan yang menggambarkan Nabi Muhammad,” tutur Hishammuddin.
Hadi Awang, presiden Partai Islam Pan-Malaysian Islam (PAS) Malaysia, anggota koalisi yang berkuasa, menyerukan pemboikotan barang-barang Prancis. Dia mengatakan sikap Macron menunjukkan dirinya sebagai musuh Islam.
Pemimpin oposisi Malaysia Anwar Ibrahim mengungkapkan, pernyataan Macron bahwa Islam menghadapi krisis di seluruh dunia adalah “ofensif karena tidak masuk akal” dan itu mendorong kebuntuan yang ingin dikecamnya. Dia menambahkan, ucapan itu kontraproduktif dengan upaya memajukan debat terbuka, saling pengertian, dan tujuan bersama melawan kejahatan terorisme.
Menanggapi serangkaian kontroversi, Kedutaan Besar Prancis di Kuala Lumpur merilis pernyataan pada Rabu (28/10) yang mengatakan “kebebasan untuk mempraktikkan agama” telah diakui sejak 1905, ketika Undang-Undang tentang Pemisahan Gereja dan Negara mulai berlaku.
“Negara Prancis tidak mendukung atau menstigmatisasi agama apa pun dan menjamin hidup berdampingan secara damai di dalam hukum dan prinsip Republik,” menurut pernyataan Kedutaan Besar Prancis, seraya menambahkan Macron tidak bermaksud menargetkan komunitas Muslim di Prancis.
Kedutaan mencatat, dalam beberapa hari terakhir, seruan untuk memboikot produk Prancis telah datang dari beberapa tempat di Timur Tengah dan telah disampaikan oleh Presiden Turki Recep Tayyip Erdoğan. “Kami mencatat beberapa orang telah mencoba memulai kampanye seperti itu di Malaysia. Kami berbesar hati dengan jaminan yang diberikan kepada kami oleh otoritas Malaysia bahwa pemerintah Malaysia tidak membenarkan permohonan tersebut.”
Erdoğan telah membandingkan perlakuan terhadap umat Muslim di Eropa dengan perlakuan terhadap kaum Yahudi sebelum Perang Dunia II. Turki juga turut bergabung dengan seruan dunia Muslim untuk memboikot barang-barang Prancis, yang menurut pemerintah Prancis hanya akan berdampak minimal.
Kementerian Luar Negeri Malaysia memanggil Kuasa Usaha Kedutaan Besar Prancis di Kuala Lumpur untuk mengungkapkan keprihatinan Malaysia tentang apa yang dikatakannya sebagai permusuhan yang berkembang, ujaran kebencian, dan pencemaran nama baik Islam di Prancis, menurut kementerian dalam sebuah pernyataan pada Rabu (28/10).
Kementerian tersebut menegaskan, Malaysia melihat bahwa “ketegangan yang meningkat seperti itu tidak menjadi pertanda baik bagi koeksistensi damai semua agama”.
Penerjemah: Anastacia Patricia
Editor: Fadhila Eka Ratnasari
Keterangan foto utama: Seorang warga Palestina berjalan melintasi gambar wajah Presiden Prancis Emmanuel Macron selama protes. (Foto: Reuters/Suhaib Salem)
Tanggapi Pidato Islamofobik Macron, NU-Muhammadiyah Satu Suara