Simpatisan ISIS Asal Indonesia Otomatis Hilang Kewarganegaraan
Belajar Politik

Terorisme Masih Eksis, Deradikalisasi Setengah Hati?

Berita Internasional > Terorisme Masih Eksis, Deradikalisasi Setengah Hati?

Meski telah mendapat materi deradikalisasi dari pemerintah, masih ada beberapa eks teroris yang nekat mengulang aksi terornya di Indonesia. Apakah ini berarti program pemerintah yang menyedot dana fantastis itu gagal?

Membaca liputan BBC Indonesia kemarin soal pertemuan dramatis Daril dan Sarah dengan teroris pembunuh orang tuanya, barangkali adalah salah satu pengalaman sentimentil dalam hidup saya. Dalam liputan tersebut tergambar dengan gamblang kepedihan keduanya saat bertanya kepada para teroris di Bom Bali I (2002) dan Bom Kuningan (2004).

Ayah Garil, Aris Munandar, korban Bom Bali I, merupakan seorang supir angkutan yang acap kali menunggu penumpang di depan lokasi pengeboman Sari Club, Kuta. Garil yang kala itu masih berusia 10 tahun harus menghadapi pengalaman traumatis melihat jasad ayahnya yang terbakar, karena ibunya sakit-sakitan dan adiknya masih kecil.

Senada, Sarah juga mengalami trauma karena ditinggal meninggal ibunya, korban Bom Kuningan, di hari ulang tahunnya yang ke-5. Ibu Sarah, Halila tengah hamil besar saat pengeboman terjadi di depan Kedutaan Besar Australia. Bersama suaminya, Iwan, Halila bermaksud memeriksakan kandungannya. Namun, karena ledakan, Halila terpental jauh dan tulang panggulnya patah. Sementara, Iwan kehilangan satu bola mata karena tertancap besi dan kesulitan mencari pekerjaan setelahnya. Sembari menahan sakit, Iwan membawa istrinya ke rumah sakit. Halila pun terpaksa melahirkan bayinya malam itu juga. Dua tahun berselang, ia meningggal karena luka dalam yang ia peroleh dari ledakan bom.

Baca Juga: [INFOGRAFIK] Berapa Jumlah Kematian Akibat Kelompok Teroris pada 2018

Bertahun-tahun kemudian, dengan difasilitasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), anak-anak korban teroris ini berkesempatan untuk bertemu pembunuh orang tuanya. Ini merupakan bagian dari program deradikalisasi yang memang sudah dianggarkan oleh negara.

Menurut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 77 Tahun 2019, deradikalisasi adalah proses yang terencana, terpadu, sistematis, dan berkesinambungan yang dilaksanakan untuk menghilangkan atau mengurangi dan membalikkan pemahaman radikal terorisme yang telah terjadi. Deradikalisasi ditujukan kepada dua pihak, yakni:

  1. Tersangka, terdakwa, terpidana, dan narapidana tindak pidana terorisme; dan
  2. Mantan narapidana terorisme, orang atau kelompok orang yang sudah terpapar paham radikal terorisme.

Berdasarkan PP tersebut, khusus untuk mantan terpidana terorisme atau orang yang terpapar paham radikal, maka deradikalisasi dilakukan lewat tiga jalan, pembinaan wawasan kebangsaan, keagamaan, dan kewirausahaan.

Kendati sudah diatur sedemikian rupa, namun pelaksanaan deradikalisasi ini menuai banyak sorotan karena diragukan efektifitasnya. Terlebih, program ini menyedot dana yang tak sedikit. Meski tak disebutkan secara rigid, berdasarkan Nota Keuangan Beserta APBN Tahun Anggaran 2019, BNPT memiliki anggaran Rp699,6 miliar.

Lantas, bagaimana efektifitas program ini?

Menurut catatan BBC Indonesia, sejak 2016 hingga 2019, sebanyak 196 WNI eks ISIS beserta anak-anak mereka dideportasi ke Indonesia dari sejumlah negara. Oleh pemerintah Indonesia, mereka mendapatkan rehabilitasi selama sebulan di Panti Sosial Marsudi Putra (PSMP) Handayani di Jakarta Timur. Langkah ini berbeda dari kebijakan saat ini di mana pemerintah dengan tegas menolak kepulangan 689 WNI eks ISIS yang masih berada di Suriah dan sekitarnya.

Baca Juga: UU Terorisme Bolehkan WNI Bekas ISIS Diadili di Indonesia

Dalam proses rehabilitasi, dilakukan pemeriksaan dasar kepada para deportan, termasuk kesehatan. Setelah itu, kondisi mental mereka akan dicek oleh psikolog. Adapun jenis terapi deradikalisasi yang diterapkan bisa berbeda-beda tergantung kondisi dari mereka. Mereka juga memperoleh wawasan kebangsaan dan lainnya di tempat rehabilitasi ini.

Jika ukuran keberhasilan deradikalisasi bagi mantan teroris adalah tidak kembali lagi ke jaringan lama atau minimal sadar bahwa apa yang dilakukannya keliru, maka deradikalisasi pemerintah tak sepenuhnya sempurna. Sebagai contoh, dalam salah satu pertemuan antara Sarah dan terpidana teroris Rois di Nusakambangan, Rois tampak masih keras hati, sehingga harus dikawal ketat oleh petugas. Berbeda dengan Ali, terpidana lain yang dibiarkan petugas untuk satu ruangan bersama keluarga korban.

Kepada media yang sama, salah satu eks teroris jaringan Al-Qaeda Sofyan Tsauri menyebut, keberhasilan deradikalisasi adalah saat mereka setia pada dasar negara, mengikuti kegiatan seminar, dan membentuk komunitas. Namun, meski pemerintah kukuh mengklaim program berdana gemuk ini cukup efektif, tapi ternyata beberapa kali tetap kebobolan juga. Ini terbukti dari aksi bom bunuh diri pasangan suami-istri Ruille Zeke dan Ulfah. Padahal, keduanya telah menjalani program deradikalisasi.

Pemerintah dalam hal ini mestinya tak hanya fokus pada proses rehabilitasi terhadap mereka yang terpapar nilai saja, tapi juga yang ikut aktif menjalankan kekerasan dan teror. Selain itu, deradikalisasi harus mempertimbangkan kontinyuitas program, jangan hanya diawasi selama di tempat rehabilitasi. Terlebih, biasanya paparan radikalisme biasanya bertingkat, tak hanya ke orang tua tapi juga anak dan orang terdekat. Tak hanya itu, pemerintah juga perlu menambah sasaran deradikalisasi kepada mereka yang rentan terpapar nilai-nilai radikal, kendati belum menjadi sasaran pokok di PP Nomor 77 tahun 2019.

 

Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Ilustrasi tahanan mantan militan ISIS berbaring di sel penjara di Hasaka, Suriah, 7 Januari 2020. (Foto: Reuters/Goran Tomasevic)

Terorisme Masih Eksis, Deradikalisasi Setengah Hati?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top