Amnesty International
Politik Indonesia

Tinggal di Zona Perang, Ribuan Warga Papua Mengungsi

Sekolah darurat untuk anak-anak Papua yang kehilangan tempat tinggal di Wamena. (Foto: Tim Relawan Kemanusiaan Nduga)
Berita Internasional > Tinggal di Zona Perang, Ribuan Warga Papua Mengungsi
Advertisements

Ratusan tentara Indonesia telah dikerahkan ke Papua Barat dalam sebulan terakhir, dan jurnalis serta aktivis telah menjadi sasaran.

Kekerasan telah berkobar di Papua Barat, dengan jurnalis dan aktivis menjadi sasaran, pemadaman internet, dan penduduk desa terpaksa melarikan diri ke hutan, lapor The Guardian.

Ratusan tentara tambahan Indonesia telah dikerahkan ke Papua Barat dalam sebulan terakhir, dan ribuan orang dilaporkan telah mengungsi di Kabupaten Puncak.

Tindakan keras militer di Puncak telah meningkat sejak kematian seorang kepala polisi senior Indonesia, dalam baku tembak dengan Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pada akhir April.

Presiden Joko Widodo mengatakan kepada media Indonesia, dia telah memerintahkan pasukan keamanan untuk “mengejar dan menangkap semua pemberontak”, sementara Bambang Soesatyo, Ketua MPR, mengatakan kepada pemerintah untuk “menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB), bahas soal HAM belakangan.”

Lanikwe (seorang tokoh komunitas perempuan dari Wamena, dekat Puncak) mengatakan, situasi masyarakat setempat akibat penumpasan itu mengerikan.

“Ribuan orang mengungsi di Puncak, lima desa mengungsi ke hutan. Klinik kesehatan dan sekolah telah diambil alih oleh militer. Tentara ada di mana-mana. Kami tinggal di zona perang.”

“Internet diblokir dua hari sebelum konflik di Puncak berkobar, pemerintah bilang ada masalah dengan kabel, tapi itu juga terjadi selama pemberontakan Papua Barat 2019,” tuturnya kepada The Guardian.

Warga Intan Jaya terpaksa mengungsi karena konflik di wilayah mereka. (Foto: Jubi)

Pemberontakan 2019 adalah demonstrasi damai melawan rasisme sistemik, menyusul serangan terhadap mahasiswa Papua di Surabaya.

Pada 9 Mei, seorang aktivis kunci yang terlibat dalam pengorganisasian protes, Victor Yeimo, ditangkap karena makar, memicu kekhawatiran penangkapan politik lebih lanjut dalam tindakan keras saat ini.

Wartawan terkemuka Papua Barat Victor Mambor menjadi sasaran serangan yang membuat mobilnya dirusak, setelah dia melaporkan penembakan dua guru Indonesia di Puncak pada April.

Kepada The Guardian dari Jayapura, Mambor mengatakan, terbitan tabloid Jubi yang memberitakan penembakan oleh TPNPB “berbeda dengan media pemerintah, yang hanya mengutip militer dan polisi.”

“Warga sipil di Puncak mengatakan, mereka sering melihat guru membawa senjata dan mencurigai mereka mata-mata militer, yang kami laporkan. Pertama ada penindasan online di media sosial, lalu mobil saya hancur di malam hari.”

Pengacara Mambor, Veronica Koman, mengatakan, insiden terbaru ini “karena pemberitaannya di Puncak (titik panas konflik saat ini) dalam episode penindasan lainnya terhadap jurnalis Papua. Ketika Anda melaporkan cerita yang tidak sejalan dengan versi pemerintah, Anda akan diserang.”

Benny Wenda (dari United Liberation Movement for West Papua (ULMWP) dan presiden sementara dari pemerintah sementara yang dibentuk pada Desember) menyebut Victor Mambor: “salah satu orang Papua paling berani saat ini, karena melaporkan tindakan pasukan Indonesia. Mereka telah berkali-kali menargetkan dia dan jurnalisnya, menangkap, melecehkan, dan memukuli mereka. Mereka ingin membungkam Victor agar dia tidak bisa melaporkan tindakan keras militer di Puncak.”

Pada 29 April, “kelompok kriminal bersenjata” Papua secara resmi dinyatakan sebagai teroris oleh Mahfud MD, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Indonesia.

Amnesty International telah mengkritik penunjukan TPNPB sebagai kelompok teroris, dengan mengatakan: “Pemerintah harus fokus pada penyelidikan kasus-kasus ini, dan menghentikan pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya di Papua dan Papua Barat oleh aparat penegak hukum, daripada berfokus pada label teroris.”

Koman menyebut label teroris itu “kabur dan berbahaya. Jakarta mendeklarasikan perang di Papua Barat. Sudah banyak warga sipil Papua yang dituduh sebagai pejuang kemerdekaan dibunuh oleh militer. Sekarang pasukan Indonesia memiliki izin baru untuk membunuh mereka, sebagai teroris,” dikutip The Guardian.

Sebuah laporan 2020 oleh pelapor khusus PBB tentang hak asasi manusia terkait para pengungsi internal menyatakan, ada lebih dari 50.000 pengungsi Papua di wilayah dataran tinggi, tetapi angka ini mungkin lebih tinggi sekarang.

Provinsi Papua dan Papua Barat yang diperebutkan di Indonesia berbagi pulau dengan Papua Nugini.

Indonesia telah menguasai Papua Barat sejak invasi pada 1963, dan meresmikan pencaplokannya melalui Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang kontroversial dan disetujui PBB.

Pasukan keamanan dituduh melakukan pelanggaran berat hak asasi manusia selama pendudukan, dengan sekitar 500.000 orang Papua terbunuh.

Negara Indonesia selalu menyatakan bahwa provinsi Papua Barat adalah bagian Republik Indonesia yang tidak terbantahkan dan tidak terpisahkan, dinukil dari The Guardian.

Penerjemah dan editor: Aziza Larasati

Keterangan foto utama: Sekolah darurat untuk anak-anak Papua yang kehilangan tempat tinggal di Wamena. (Foto: Tim Relawan Kemanusiaan Nduga)

Tinggal di Zona Perang, Ribuan Warga Papua Mengungsi

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top