Upaya Setengah Hati Prabowo Modernisasi Alutsista RI

Sumber

Posted on April 27, 2021 at 2:26 pm

Advertisements

Indonesia dari dulu selalu menegaskan keinginannya untuk meremajakan alutsista.

Pemerintah Indonesia banjir kritik setelah insiden tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402. Mereka yang menyanyikan suara sumbang rerata beranggapan, kualitas kapal selam Indonesia memang sangat berpotensi mengancam keselamatan para pasukan. Wakil Ketua Komisi I DPR Utut Adianto misalnya, menyebut banyak alutsista TNI yang sudah tua. Dalam KRI Nanggala 402 misalnya, kapal selam itu sendiri telah berusia lebih dari empat dekade, sehingga dinilai tak layak pakai namun tetap dipaksakan.

Merespons itu, Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto berjanji kapal selam milik TNI sedang dalam proses peremajaan. Tiga unit yang merupakan kerja sama produksi dengan Korea Selatan pun tengah diujicobakan.

“Kita sedang merencanakan peremajaan. Kita baru adakan tiga kapal selam baru dari Korea Selatan, masih terus diadakan uji coba,” kata Prabowo dalam jumpa pers di Bali, Kamis (22/4), dinukil dari CNN Indonesia.

“Alutsista kita memang karena terpaksa kita belum modernisasi lebih cepat. Ini mendesak, kita harus modernisasi lebih cepat. Saya yakin dalam waktu dekat, alutsista bisa dimodernisasi tiga matra,” tutur mantan bos Kopassus tersebut pada media yang sama.

Sayangnya, cita-cita peremajaan dinilai pengamat masih sebatas upaya setengah hati. Analis militer Soleman B. Ponto menyebut, wacana peremajaan alutsista ini kerap terkendala oleh strategi pembelian yang lebih memprioritaskan barang bekas.

“Jangan lagi beli kapal bekas, harus kapal baru. Sekarang sudah harus berani. Selama ini bicara modernisasi tapi yang datang kapal bekas,” sindir dia, dalam wawancara dengan CNN Indonesia TV, Kamis (22/4).

Tak hanya kapal selam, sebelumnya diketahui, Prabowo sempat berencana mendatangkan jet tempur Eurofighter Typhoon bekas dari Austria. Rencana ini mendapat kritik keras dari kalangan masyarakat sipil. Dari segi harga, alutsista bekas memang tampak bisa menghemat bujet militer Tanah Air, tapi masalahnya, potensi kecelakaan dan pemeliharaan tentu bakal lebih tinggi.

“Lebih baik punya dua [alutsista] baru daripada lima tapi bekas. Masalahnya biaya maintenance tinggi. Kelihatannya belinya murah. [Biaya] yang paling tinggi itu merugikan manusianya. Mendidik komandan kapal enggak mudah, apalagi permesinan dan peralatan,” tuturnya.

Para kritikus lainnya menganggap keputusan itu membingungkan, dan itu terlihat bertentangan dengan komitmen pemerintah untuk menghindari pembelian persenjataan bekas. Anggota parlemen, sementara itu, mengatakan bahwa mereka belum diajak berkonsultasi tentang kebijakan tersebut.

Selain Typhoon, Indonesia sudah memiliki berbagai jenis pesawat tempur dalam daftar pengadaannya. Indonesia sedang mengembangkan pesawat tempur KF-X baru dengan Korea Selatan, sebuah proyek yang baru saja kembali ke jalurnya.

Mereka juga masih berkomitmen untuk membeli pesawat tempur Su-35 Rusia, meskipun ada ancaman sanksi Amerika. Ada juga laporan bahwa Angkatan Udara tertarik membeli dua skuadron F-16 Viper dari Amerika Serikat, dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto tertarik untuk membeli 48 unit Dassault Rafale Prancis.

Jadi mengapa ini terjadi? Pengadaan senjata Indonesia dan kebijakan luar negeri dan keamanannya yang lebih luas selalu merupakan hasil dari interaksi yang kompleks antara faktor eksternal dan domestik, Muhamad Arif dan Tangguh Chairil menjelaskan.

Tim Aerobatik Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara meliuk di udara selama parade perayaan Hari Ulang Tahun ke-74 Tentara Nasional Indonesia di Lanud Halim Perdanakusuma, Jakarta Timur hari Sabtu, 5 Oktober 2019. (Foto: Reuters/Willy Kurniawan)

Seperti negara-negara lain di kawasan ini dengan program modernisasi militer yang sedang berlangsung, daftar keinginan persenjataan Indonesia yang semakin bertambah dimungkinkan oleh meningkatnya ukuran perdagangan senjata internasional.

Pada periode 2015-2019, volume perdagangan senjata global lebih tinggi 5,5 persen dibandingkan periode 2010 hingga 2014, dan 20 persen lebih tinggi dari 2005 hingga 2009.

Permintaan yang meningkat diimbangi dengan meningkatnya jumlah penjual, memberikan lebih banyak pilihan kepada pembeli potensial. Dalam hal ini, tidak ada yang istimewa tentang bagaimana Indonesia belakangan ini melakukan perdagangan senjatanya.

Aktivisme militer Indonesia baru-baru ini juga sejalan dengan kebijakan pertahanan negara yang semakin berorientasi ke luar, catat Muhamad Arif dan Tangguh Chairil. Meskipun keamanan internal tidak boleh sepenuhnya diabaikan, para pembuat kebijakan pertahanan telah menjadi jelas bahwa negara ini tidak kebal dari ancaman keamanan regional, terutama dalam hal menjaga integritas wilayah Indonesia di tengah ketegangan di Laut China Selatan.

Tapi ini bukan satu-satunya yang berperan. Dalam konteks domestik, terdapat beberapa faktor pendorong. Untuk satu hal, Indonesia telah mencoba mendiversifikasi pemasok senjatanya selama dua dekade terakhir, untuk menghindari ketergantungan yang berlebihan pada pemasok tunggal mana pun.

Penulis: Anastacia Patricia

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Dua jet tempur F-16 milik Indonesia mengadakan rangkaian patroli di wilayah yang berbatasan langsung dengan Timor Leste dan Australia. Tujuannya, yakni demi mencari adakah pelanggaran kedaulatan yang telah terjadi di tapal batas. (Foto: TNI-AU)

Upaya Setengah Hati Prabowo Modernisasi Alutsista RI