
Beberapa negara sudah melakukan lockdown. Apakah Indonesia harus menirunya dalam waktu dekat?
Pandemi corona alias COVID-19 yang terjadi di seluruh dunia, memaksa sejumlah negara untuk menggulirkan kebijakan lockdown. Seiring dengan peningkatan kasus tersebut di Indonesia, Jokowi tampaknya belum menunjukkan sinyalemen akan menerapkan kebijakan serupa. Padahal, hingga Sabtu (14/3), jumlah penderita corona naik drastis menjadi 96 orang. Tak hanya menjangkiti warga biasa maupun tenaga medis, virus itu juga membuat Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi bertekuk lutut.
Lantas, mengapa pemerintah kukuh tak mau menerapkan lockdown. Padahal, di Wuhan, China, kebijakan itu terbukti membendung persebaran virus yang telah membunuh ribuan orang sejak pertama muncul pada Desember 2019. Tak hanya China, kebijakan lockdown juga ditiru oleh negara lain, termasuk Italia dan Filipina.
Definisi lockdown, apa bedanya dengan karantina dan isolasi?
Lockdown adalah tindakan darurat atau kondisi saat orang-orang untuk sementara waktu dicegah memasuki atau meninggalkan area maupun bangunan yang telah ditentukan, selama ancaman bahaya berlangsung.
Beberapa negara yang telah menerapkan lockdown antara lain Italia dan Denmark. Dalam praktiknya, kebijakan itu diterjemahkan menjadi meliburkan sekolah, menetapkan larangan bepergian, dan tak boleh beraktivitas di area publik demi mencegah penyebaran virus.
Lockdown berbeda dengan isolasi maupun karantina. Mengutip kamus besar bahasa Indonesia (KBBI), isolasi bermakna pemisahan. Lebih detail, istilah ini merujuk pada pemisahan yang dilakukan pada pasien infeksi penyakit dari orang-orang sehat di sekitarnya, guna menghindari terjadinya penularan. Pasien yang terinfeksi corona akan diisolasi di dalam rumah sakit maupun rumah mereka sendiri. Selain mampu mencegah penularan, isolasi yang juga ditangani dengan baik oleh tenaga medis, memperbesar peluang kesembuhan.
Sementara itu, karantina menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC) diterjemahkan sebagai upaya memisahkan dan membatasi pergerakan seseorang yang terpapar penyakit, tetapi tidak memiliki gejala. Tujuannya serupa, yakni membendung penyebaran virus itu.
Pedoman Organisasi kesehatan dunia (WHO) sendiri menyebutkan, bagi yang merasa terpapar virus corona, wajib untuk melakukan karantina selama 14 hari. Salah satu karantina yang pernah dilakukan adalah karantina pemulangan 237 warga negara Indonesia (WNI) dari Wuhan ke Natuna.
Perlukah lockdown dilakukan di Indonesia sekarang?

Pasukan militer berjaga di Lapangan Duomo setelah pemerintah Italia memberlakukan penutupan wilayah di bagian utara negara itu demi membendung persebaran virus corona, di Milan, Italia, Minggu, 8 Maret 2020. (Foto: Reuters/Flavio Lo Scalzo)
Mengingat agresifnya penyebaran virus, ditambah lamban dan tak terbukanya pemerintah menangani penyakit, maka wacana lockdown santer disuarakan sejumlah kalangan. Selain sempat menjadi trending di linimasa, bekas Wakil Presiden Jusuf Kalla juga mengusulkan kebijakan ini pada Jokowi.
Menurutnya, keputusan lockdown kota bisa diambil untuk mencegah penyebaran yang makin masif.
“Apabila makin besar, maka pilihan yang dipilih banyak negara [adalah] lockdown, supaya mengurangi pergerakan dari luar dan dalam,” kata JK di kantor DMI, Jenggala, Jakarta Selatan, Jumat (13/3), dilansir dari Tirto.
Meski menyarankan untuk segera diberlakukan lockdown, JK memberi sejumlah catatan, mengingat lockdown yang keliru bisa memicu lesunya ekonomi negara. Oleh sebab itu, dibutuhkan kekompakan dari para pejabat Indonesia termasuk Menteri Kesehatan, Menteri Perekonomian, Menteri Perdagangan, Menteri Perhubungan, dan lainnya agar kebijakan lockdown bisa tepat guna.
Kita bisa belajar dari tangan besi Xi Jinping yang kukuh menetapkan lockdown di Wuhan, yang kemudian diperluas hingga provinsi lain di China. Xi menerapkan kebijakan itu terhitung sejak 23 Januari 2020, beberapa pekan selang merebaknya corona di Provinsi Hubei. Caranya dengan menangguhkan seluruh transportasi publik, termasuk bus, kereta, penerbangan, hingga perjalanan kapal feri lepas jam 10 pagi.
Penduduk setempat juga dilarang keluar kawasan tanpa izin dari pihak berwenang, sehingga membuat 300 ribu orang di kota tersebut berbondong keluar sebelum pagi menjelang.
CNN melaporkan, di sore hari, otoritas menutup jalan bebas hambatan dari Wuhan. Keesokan harinya, 12 kawasan lain yang terhubung langsung dengan Wuhan juga menerapkan lockdown serupa. Hasilnya, total lebih dari 50 juta orang tak dapat bergerak keluar dari tempat mereka berada.
Memasuki Februari, pemerintah China memperluas lockdown dengan menutup semua perusahaan tak strategis, termasuk pabrik pengolahan, di Provinsi Hubei, setidaknya hingga 10 Maret 2020.
Dengan lockdown dan pelbagai upaya lain oleh pemerintah China, tingkat peningkatan jumlah infeksi virus corona di Wuhan akhirnya menurun drastis. Pada Kamis (12/3) dilaporkan hanya 15 kasus baru virus corona di Wuhan. Kini, secara keseluruhan China mencatat, kasus corona sebanyak 80.796 dan korban meninggal 3.169 orang. Sementara itu, 62.802 pasien dinyatakan sembuh.
Tak hanya belajar dari China, Indonesia juga bisa meniru lockdown ala Presiden Filipina Rodrigo Duterte selama satu bulan ke depan. Selain menutup penerbangan, Duterte juga meliburkan sekolah dan melarang pertemuan massal. Aturan ini sendiri diambil setelah tiga menteri kabinetnya mengisolasi diri lantaran menjalin kontak dengan pasien yang terinfeksi virus corona.
Duterte menekankan, aturan ini harus diterapkan dengan ketat. Ia pun siap menerjunkan militer untuk memastikan “perdamaian dan ketertiban” selama penerapan lockdown.
Sementara di Italia, lockdown yang mulanya hanya berlaku di kawasan utara diperluas ke seluruh penjuru negara pada 9 Maret 2020. Dengan peningkatan infeksi yang begitu pesat, Italia menerapkan lockdown lebih ketat ketimbang Wuhan. Pemerintah setempat menutup seluruh perbatasan dan mengimbau warga agar tak meninggalkan rumah mereka sama sekali, apalagi untuk keperluan bekerja. Pemerintah juga memerintahkan warganya untuk menjaga jarak aman, minimal satu meter.
Tak cukup di situ, seluruh bar dan rstoran harus sudah tutup pukul 18.00 waktu setempat. Warga dalam hal ini pun hanya bisa memesan makanan untuk dibawa pulang, tak diizinkan berkumpul di tempat umum. Di akhir pekan, semua mal bahkan ditutup.
Bagi mereka yang melanggar semua ketetapan itu, maka pemerintah mengganjar mereka dengan denda besar dan hukuman penjara. Militer pun dikerahkan untuk memastikan aturan lockdown ini dipatuhi.
Kembali ke Indonesia, apakah lockdown harus segera diterapkan, ataukah harus menunggu jatuhnya korban lebih banyak lagi
Pakar penyakit sub tropik Erni Nelwan mengakui, lockdown kota memang efektif mencegah penyebaran COVID-19 karena jumlah warga yang harus diperiksa dan diobati cenderung konstan. Namun, Erni enggan tergesa-gesa menyimpulkan kalau kebijakan itu mendesak diterapkan. Ia, seperti halnya JK, memperingatkan lockdown bakal berimbas pada kehidupan warga, khususnya di sektor ekonomi. Ia hanya menyarankan, agar lockdown diambil ketika jumlah kasus sudah sangat masif. Jika belum, maka Jokowi perlu lebih terbuka menguraikan data potensi jumlah pasien positif, bukannya menerbitkan ketenangan semu dengan beretorika “menggandeng Badan Intelijen Nasional”.

Orang-orang yang memakai masker memasuki apotek di Wuhan, provinsi Hubei, China, 29 Januari 2020, dalam gambar yang diperoleh dari media sosial. (Foto: Instagram/Emilia Via Reuters)
Baca Juga: WHO Rekomendasikan RI Umumkan Darurat Nasional, Liburkan Sekolah
“Jadi jangan asal ngomong mau me-lockdown, tapi enggak jelas dasarnya,” kata Erni saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/3).
Selain itu, pemerintah juga perlu menghitung dengan cermat durasi lockdown jika memang kebijakan itu akan digulirkan. Rencana aksi yang akan dilakukan selama masa lockdown pun harus jelas disampaikan.
“Jadi ini bukan suatu program, tapi ini adalah suatu respons yang cepat pada saat ada fakta atau kondisi yang membahayakan banyak orang karena kita sudah tidak bisa mengontrol kejadiannya,” kata Erni lagi kepada media yang sama.
Satu hal yang pasti, sebelum repot menerapkan kebijakan itu, pemerintah mestinya bersikap dinamis dan lebih serius mengatasi perkembangan penyakit ini. Misalnya dengan menerapkan tes secara massal kepada orang yang pernah kontak langsung dengan pasien positif COVID-19 meski mereka belum merasakan gejala.
Pun, lebih ekstrem, menuruti instruksi WHO, melakukan tes corona kepada seluruh penduduk Indonesia yang menderita gejala flu, batuk, dan demam. Akan lebih baik lagi jika tes dilakukan secara gratis di banyak rumah sakit dan laboratorium, mengingat biaya yang kini dipatok rerata untuk membayar biaya tes di rumah sakit saja, sebagian warga merasa tak mampu.
Mungkin memang benar satir yang menyebut, COVID-19 adalah penyakit orang kaya, penyakit orang yang pernah bepergian ke luar negeri. Sebab, mereka lah yang mampu membayar biaya tes tersebut.
Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers terkait virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Presiden menyatakan 2 orang WNI yaitu seorang ibu dan anak di Indonesia telah positif terkena corona setelah berinteraksi dengan Warga Negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.
