Penggunaan istilah “virus China” oleh Presiden Amerika Serikat Donald Trump bukan hanya wujud dari kegemarannya menyalahkan pihak lain. Terminologi itu merupakan bagian dari sejarah panjang orang kulit putih Amerika Serikat menyalahkan para imigran, terutama dari Timur, atas wabah penyakit “asing”.
Bahkan ketika tanggapan pemerintahan Presiden Amerika Serikat Donald Trump terhadap pandemi COVID-19 telah berkembang, terdapat satu bagian dari reaksi Trump terhadap wabah virus corona baru yang tetap konsisten. Lebih dari seminggu setelah ia me-retweet seorang pendukung yang menyebut “virus China”, foto-foto dari konferensi pers pada Kamis (19/3) tentang virus menunjukkan kata “corona” telah dicoret dan diganti dengan “China”.
Trump dan timnya telah membela penggunaan istilah itu, meskipun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menegaskan tidak menamai penyakit berdasarkan tempat di mana wabah dimulai dan meskipun banyak pihak berpendapat penggunaan istilah semacam itu memicu risiko kejahatan kebencian terhadap orang-orang dari keturunan Asia yang telah melaporkan peningkatan diskriminasi.
Sementara Trump mungkin memiliki alasan politik sendiri untuk menggambarkan virus corona baru sebagai virus asing, menurut analisis Becky Little dari TIME, Trump juga bagian dari sejarah publik panjang yang terdistorsi dalam mengaitkan penyakit dengan negara-negara tertentu. Tradisi itu menurut para ahli telah menyebabkan diskriminasi etnis dan ras, menghalangi upaya untuk secara efektif menangani krisis kesehatan masyarakat dan.
Contoh pentingnya ialah “flu Spanyol”, pandemi pada 1918 dan 1919 yang menewaskan hingga 50 juta orang di seluruh dunia. Banyak orang Amerika Serikat, termasuk Senator Chuck Grassley dari Partai Republik, tampaknya percaya wabah influenza itu memang bermula di Spanyol.
Faktanya, kasus wabah flu saat itu pertama kali tercatat di negara bagian Kansas. Ketika flu menyebar melalui AS dan negara-negara Eropa selama Perang Dunia I, negara-negara yang berperang secara aktif menyensor cakupan wabah tersebut. Spanyol yang merupakan netral menonjol karena secara akurat melaporkan wabah, yang mengarah pada persepsi bahwa flu terkonsentrasi di sana. Sementara itu di Spanyol, wabah itu dikenal sebagai “flu Prancis”.
Istilah “flu Spanyol” mungkin juga memperkuat perselisihan antara imigran dan penyakit pada saat orang Amerika kulit putih yang berasal dari Eropa utara menganut bias yang kuat terhadap imigran dari China serta beberapa bagian Eropa timur dan selatan, termasuk Spanyol.
Hanya beberapa tahun sebelum wabah flu pada 1918, imigran Italia di Pesisir Timur Amerika disalahkan atas wabah polio, meskipun pada kenyataannya tidak ada bukti wabah itu merebak di Italia atau di Pulau Ellis di dekat New York. Selama beberapa dekade, orang kulit putih Amerika mengaitkan imigrasi dari China dengan sejumlah penyakit dan memanfaatkan isu kesehatan masyarakat sebagai alasan untuk mendiskriminasi mereka.
Ilustrasi pandemi flu 1918 yang membunuh 50 juta jiwa di dunia. (Foto: RTE)
“Amerika memiliki sejarah panjang menyalahkan imigran atas penyakit,” tutur Kim Yi Dionne, profesor ilmu politik di University of California-Riverside yang telah menulis tentang bagaimana tindakan mempolitisasi penyakit dapat membentuk sikap publik tentang imigrasi. “Imigran China di negara bagian California diperlakukan sebagai kambing hitam medis selama bertahun-tahun. Pengecualian terhadap mereka berdasarkan ancaman penyakit sebenarnya telah dikodifikasikan dalam undang-undang Exclusion Act 1882.”
Undang-undang Exclusion Act 1882 adalah hukum federal pertama yang membuat perbedaan antara imigrasi legal dan ilegal. Undang-undang itu muncul setelah puluhan tahun stereotype terhadap imigran China yang dianggap lebih mungkin membawa penyakit seperti kolera dan cacar. Kolera terkadang disebut “kolera Asia” karena pertama kali terdeteksi di India, meskipun juga berkembang di negara-negara Eropa seperti Inggris. Sementara itu, cacar awalnya datang ke Amerika Serikat melalui invasi Eropa. Bersama dengan penyakit menular baru lainnya, cacar telah menewaskan jutaan penduduk asli Amerika.
Bahkan setelah Chinese Exclusion Act dan Scott Act 1888 sangat membatasi imigrasi dari China, orang kulit putih Amerika terus menyalahkan mereka atas penyebaran penyakit. Pada 1900, muncul wabah pes di Kota San Francisco. Seorang dokter pertama kali mengidentifikasi penyakit itu di kalangan penduduk Chinatown, yang mengarah ke karantina imigran dan keturunan China di distrik tersebut.
Namun, yang menarik, tidak ada orang kulit putih yang dikarantina yang belakangan berkunjung ke Chinatown, menurut Nayan Shah, profesor studi Amerika serta etnis dan sejarah di University of Southern California-Dornsife dan penulis Contagious Divides: Epidemics and Race in San Francisco’s Chinatown. Beberapa orang, termasuk Gubernur California, tidak benar-benar percaya orang kulit putih bahkan bisa terkena wabah pes. Tahun itu, Surgeon General AS Walter Wyman menggambarkannya sebagai “penyakit dari Timur, khusus untuk kaum pemakan nasi.”
Pandangan dan tindakan diskriminatif tersebut merugikan komunitas China dan tidak bermanfaat dalam menghentikan penyebaran penyakit. Shah mengatakan wabah itu “mungkin menyebar ke banyak orang yang berbeda di seluruh kota dan di sekitar San Francisco, hanya saja kematian tertentu dianggap sebagai wabah pes.”
Dengan kata lain, orang kulit putih mungkin lebih kecil kemungkinannya untuk berpikir kematian orang kulit putih dapat disebabkan oleh wabah. Oleh karena itu, lebih kecil kemungkinannya untuk mengidentifikasi korban wabah pes di kalangan kaum kulit putih. Situasi wabah juga diperumit oleh fakta bahwa kota dan negara bagian California secara aktif berupaya menutupi wabah.
Pandangan bias yang mengaitkan imigran dengan wabah penyakit terus berlanjut sepanjang abad ke-20. Pandemik flu 1957-1958 yang pertama kali diidentifikasi di China dikenal sebagai “flu Asia”, sementara pandemi flu 1968-1969 yang pertama kali diidentifikasi di Hong Kong dikenal sebagai “flu Hong Kong”.
Namun, flu H1N1 2009-2010 yang menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (CDC) AS pertama kali tercatat di Amerika tidak disebut sebagai “flu Amerika”. Sebaliknya, wabah itu dikenal luas dengan nama “flu babi” yang menyesatkan karena para ilmuwan pada awalnya mengira virusnya mirip dengan virus yang terjadi pada babi Amerika Utara, meskipun pengujian lebih lanjut telah memperumit teori itu. Banyak liputan media tentang flu babi menekankan virus itu mungkin berasal dari Meksiko, yang pada saat itu menjadi fokus kecemasan imigrasi di Amerika.
Faktanya, banyak orang Amerika Serikat masih menganggap H1N1 sebagai virus asing. Pada Rabu (18/3), Senator John Cornyn dari Partai Republik secara keliru mengklaim China sebagai sumber “flu babi”.
Jenis kesalahan semacam ini tidak hanya mendorong pelecehan rasis terhadap orang-orang yang dianggap terkait dengan penyakit, menurut para ahli, tetapi juga memberi keyakinan palsu terhadap orang-orang yang percaya mereka aman jika mereka bukan bagian dari kelompok ras yang dipertanyakan, sehingga menempatkan kesehatan semua orang dalam risiko yang tak perlu.
“Penelitian menunjukkan, ketika warga negara biasa melihat ancaman penyakit sebagai wabah virus asing, hal itu dapat menyebabkan warga biasa tidak mengambil tindakan,” tegas Dionne. “Jadi, jika seseorang melihat pandemi kali ini sebagai “virus China”, mereka mungkin tidak akan melakukan perilaku menjaga kebersihan yang penting seperti mencuci tangan atau menjaga jarak (social distancing).”
Shah berpikir, sangat menarik Trump dan banyak sekutunya mempropagandakan pandemi COVID-19 sebagai “virus China” pada saat penyakit ini adalah pandemi global yang tidak terbatas pada satu wilayah saja. Ketakutan tersebut, menurut Shah, mungkin terkait dengan keinginan untuk menuduhkan kesalahan pada orang lain. Becky Little dari TIME menyimpulkan, perilaku menuding pihak asing seperti ini adalah pola berulang dalam sejarah Amerika Serikat, demikian pula dengan kerusakan yang ditimbulkannya.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Donald Trump menyebut COVID-19 sebagai virus China dan menyalahkan negara itu karena pandemi terus menyebar termasuk ke negaranya. (Foto: Abaca Press)
Virus China ala Trump: Sejarah Panjang ‘Mengkambinghitamkan’ Negara Lain