Dari perusahaan pengangkutan hingga penukaran uang, bisnis yang mengandalkan pasar China mulai mengalami kerugian akibat wabah virus corona. Ekspor dan impor Indonesia dari mitra dagang utamanya, China, telah berkurang separuh sejak minggu pertama Februari.
Di perusahaan pengangkutan barang di ibu kota Indonesia Jakarta, ruangan-ruangan yang dulu penuh dengan alternator, mesin diesel, dan peralatan audio dari China telah dikosongkan, untuk digantikan oleh produk serupa dari Eropa, Amerika Serikat, dan Singapura.
Alasannya? “China telah menghentikan produksinya” setelah wabah virus corona, menurut karyawan Erianti yang berusia 24 tahun, yang meminta agar nama lengkapnya tidak disebutkan, kepada South China Morning Post.
Sebelum pecahnya wabah virus corona, dalam sebulan rata-rata perusahaan Erianti akan memiliki pesanan barang senilai Rp300 juta, “tetapi turun menjadi sekitar 150 hingga 200 juta rupiah karena sebagian besar (pesanan) berasal dari China”, tuturnya.
Yang membuat keadaan menjadi lebih buruk, agen-agen yang menangani pengiriman ke Jakarta dari kota-kota China seperti Guangzhou, Shanghai, dan Hangzhou belum melakukan pengiriman sejak wabah, imbuh Erianti. Sementara pabrik-pabrik China baru mulai mengerjakan tumpukan pesanan sejak Januari.
Kasus-kasus virus corona telah berkurang di China, dan para pejabat berusaha untuk dengan hati-hati memulai kembali operasi di ekonomi terbesar kedua di dunia itu.
Di tengah kekurangan pasokan, dan kekhawatiran tentang keamanan pesanan selesai yang masih macet di bandara dan pelabuhan di China, klien Erianti sekarang memilih untuk mengimpor produk dari negara lain, meskipun harganya seringkali lebih mahal.
“Saat ini, saya meningkatkan harga jual dengan nilai tukar yang lebih tinggi sebagai salah satu cara untuk meningkatkan laba. Jika tidak, saya bernegosiasi agar ketentuan pembayaran dapat diperpanjang,” tuturnya kepada South China Morning Post.
Bahkan sebelum Jakarta melaporkan infeksi virus corona pertama di negara ini pada 2 Maret, wabahnya telah mulai berdampak pada perekonomian Indonesia, dan bisnis yang mengandalkan pelanggan China.
Menurut Direktorat Jenderal Bea Cukai Indonesia, impor Indonesia dari China turun dari US$687 juta pada minggu pertama Februari (sesaat setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendeklarasikan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan masyarakat global) menjadi US$190 juta di minggu yang berakhir pada 26 Februari.
Selama periode yang sama, ekspor ke China menurun dari US$507 juta menjadi US$273 juta.
Lembaran uang dolar Amerika, rupiah, dan yuan, dalam poster pedagang penukaran valas yang terpajang di Jakarta, 12 Juni 2013. (Foto: AFP via VOA)
Para analis memperkirakan, dampak meletusnya wabah itu adalah pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah, terutama bila dikombinasikan dengan dampak dari ketegangan perdagangan AS-China.
Beberapa memperkirakan, pertumbuhan bahkan bisa turun di bawah 5 persen tahun ini—lebih rendah dari angka tahun lalu 5,02 persen dan pada 2018 sebesar 5,17 persen.
Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Centre of Reform on Economics Indonesia, wadah pemikir di Jakarta, mengatakan ekonomi Indonesia telah melambat selama beberapa tahun sekarang. Bahkan sebelum wabah, pertumbuhan “tidak terlalu menarik”.
Dia memperkirakan, situasi akan memburuk seiring ekspor komoditas Indonesia, terutama gas alam, batu bara, dan minyak sawit, jatuh di tengah penurunan produksi China.
Industri Indonesia lainnya yang merasakan pukulan termasuk bisnis penukaran uang, dengan transaksi valuta asing turun sekitar 25 persen sejak wabah, menurut Haris Kristanto yang berusia 26 tahun dari Mitra Niaga Artha Valasindo di Jakarta timur.
“(Sekarang kami) lebih fokus pada transaksi uang kertas, karena gangguan pada transfer dan pengiriman uang telegraf,” ucapnya, dikutip South China Morning Post.
Di tempat lain, di pinggiran Jakarta, pemilik pabrik pengolahan logam berusia 23 tahun dengan cemas menunggu kembalinya teknisi China yang dipekerjakannya. Mereka tidak dapat melakukan perjalanan kembali ke Indonesia setelah pulang untuk liburan Tahun Baru Imlek karena larangan perjalanan yang telah berlaku sejak 5 Februari.
Produktivitas menjadi terhambat karena ketidakhadiran teknisi, menurut sang pemilik (yang tidak ingin disebutkan namanya), karena ia sekarang harus memanggil karyawannya di China hanya untuk mengoperasikan mesin pabrik.
Selain itu, pesanan pelanggan dari China telah “menurun secara signifikan”, penjualan lebih rendah daripada sebelum wabah, dan karyawan pabrik yang tersisa terganggu oleh ancaman virus, tuturnya.
Presiden Indonesia Joko Widodo mengumumkan kasus virus corona pertama di Indonesia (seorang wanita berusia 64 tahun dan putrinya yang berusia 31 tahun) pada 2 Maret. Kedua orang ini dinyatakan positif setelah melakukan kontak dengan warga negara Jepang yang tinggal di Malaysia.
Jumlah pasien di Indonesia pada pada Rabu (10/3) naik menjadi 34, dengan satu kematian—seorang wanita Inggris berusia 53 tahun yang memiliki kondisi kesehatan yang mendasarinya.
Selama berminggu-minggu, Indonesia membantah memiliki kasus virus sama sekali, tetapi memang memberlakukan alat termometer dan pemindai termal di gerbang kedatangan bandara, sementara juga memberi otorisasi kepada lebih dari 100 rumah sakit di seluruh negeri untuk menangani dugaan kasus virus corona.
Jika kasus mulai tiba-tiba melonjak (seperti yang terjadi di tempat lain) dan pemerintah tidak dapat menangani wabah, maka Indonesia masih dapat merasakan dampak ekonomi tahun depan, menurut Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance di Jakarta.
Dia mengatakan, walau paket bantuan virus corona pemerintah senilai Rp10 triliun yang dirancang untuk mendukung rumah tangga berpenghasilan rendah adalah langkah ke arah yang benar, itu “perlu ditingkatkan (dan) dibuat lebih tepat”.
Alih-alih hanya membagikan uang kepada rumah tangga, “pemerintah seharusnya mulai mengurangi atau menunda pembayaran pajak untuk sektor industri atau sektor bisnis yang terkena virus corona,” ujar Ahmad, dilansir dari South China Morning Post.
Kembali ke perusahaan pengangkutan, Erianti tidak memikirkan dana talangan pemerintah. Dia hanya berharap bahwa “hal-hal di China kembali tenang dengan cepat”.
“Ada begitu banyak warga China yang datang ke Indonesia untuk melakukan bisnis, baik sebagai mitra atau kami mengandalkan mereka sebagai investor,” ucapnya. “Saya harap (krisis) virus corona di China dapat segera teratasi.”
Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Para wanita bekerja di pabrik sepatu buatan tangan Nguyen Chi Cuong di kota Dong Van, Vietnam, 22 April 2019. (Foto: Reuters/Kham)
Virus Corona, Bencana bagi Perusahaan Indonesia yang Bisnis dengan China