Memanfaatkan krisis virus corona di Iran untuk menuntut diakhirinya sanksi pada dasarnya hanya akan memuaskan rezim yang brutal. Rezim Iran adalah pecandu terorisme yang meminta belas kasih dari dunia untuk memerangi pandemi.
Kediktatoran Iran lebih peduli pada kelangsungan hidupnya sendiri daripada kesejahteraan rakyat Iran. Kita mengetahuinya dari suara berbagai pihak yang mengeksploitasi krisis COVID-19 di Iran untuk mendesak pemerintahan Trump agar mencabut sanksi terhadap Iran.
Itu pada dasarnya hanya akan memuaskan rezim yang brutal, menurut Mark Dubowitz dan Richard Goldberg, karena sanksi AS tidak membatasi pasokan medis dan bentuk-bentuk bantuan kemanusiaan lainnya.
Iran memiliki catatan hak asasi manusia terburuk di dunia. Musim gugur yang lalu, rezim menewaskan 1.500 orang yang dengan damai memprotes kediktatoran atas krisis ekonomi di negara itu.
Segera setelah itu, Iran menembak jatuh pesawat komersial, menewaskan semua orang di dalamnya. Beberapa minggu yang lalu, milisi yang didukung Iran menewaskan dua tentara AS dan satu tentara Inggris di Irak.
Pekan lalu, Robert Levinson, mantan agen FBI yang ditahan oleh Iran, meninggal dalam tahanan. Para penculiknya menolak untuk memberikan informasi kepada keluarganya tentang keberadaannya selama 13 tahun.
Ada lebih banyak lagi orang AS dan orang asing lainnya yang ditahan secara sewenang-wenang dan dituduh sebagai mata-mata. Orang-orang ini masih menjadi sandera di penjara Iran hingga saat ini.
Apakah kita harus percaya para pemimpin Iran, yang melakukan kejahatan hak asasi manusia ini, saat mereka mengatakan mereka membutuhkan keringanan sanksi besar-besaran untuk memerangi virus corona?
Bagi audiens yang tidak sadar, propaganda Iran semacam itu bisa sangat persuasif, terutama ketika permintaan keringanan sanksi didukung oleh Sekretaris Jenderal PBB, Menteri Luar Negeri China, politisi Eropa, dan bahkan mantan pejabat dari pemerintahan Barack Obama, tulis Dubowitz dan Goldberg di Foreign Policy.
Pisahkan fakta dari fiksi.
Sanksi AS terhadap Iran selalu mengecualikan bantuan kemanusiaan.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump menunjukkan perintah eksekutif untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran di Ruang Oval di Gedung Putih, Washington, 24 Juni 2019. (Foto: Reuters/Carlos Barria)
Salah satu analisis baru-baru ini tentang perdagangan obat-obatan antara Eropa dan Iran menunjukkan, hanya ada sedikit perubahan antara 2011 dan 2019 meskipun ada pengenaan, penangguhan, dan pengembalian sanksi.
Jika Iran mengalami kesulitan dalam meyakinkan bank untuk memproses transaksi dengan mitra dagangnya, mungkin itu karena Iran bertekad untuk menggunakan sektor keuangannya untuk pencucian uang dan pendanaan terorisme, jelas Dubowitz dan Goldberg.
Catatan Iran tentang pengalihan barang-barang kemanusiaan untuk mendanai operasi terorisnya juga telah terbukti. Departemen Luar Negeri AS minggu lalu melaporkan pada Juli 2019, “satu miliar euro yang ditujukan untuk persediaan medis ‘menghilang’ dan US$170 juta dolar yang dialokasikan untuk barang-barang medis malah dihabiskan untuk tembakau.”
Pada tahun 2018, Departemen Keuangan AS mengungkapkan, perusahaan medis dan farmasi Iran digunakan untuk memfasilitasi pembayaran ilegal ke Rusia. Pembayaran itu pada akhirnya digunakan untuk membantu rezim Suriah membiayai pembelian minyak.
Pada tahun-tahun menjelang kesepakatan nuklir 2015 Iran, Halkbank Turki membantu memfasilitasi transaksi gelap senilai atas nama Iran menggunakan faktur palsu untuk barang-barang kemanusiaan fiktif.
Sementara para pemimpin Iran mengabaikan kesejahteraan rakyat mereka, AS berkomitmen untuk memungkinkan aliran barang-barang kemanusiaan.
Bahkan ketika AS memberikan tekanan maksimum pada Iran, mereka masih mengizinkan beberapa bank Iran untuk tetap beroperasi pada sistem pesan keuangan SWIFT untuk memfasilitasi perdagangan kemanusiaan.
Departemen Keuangan AS dan pemerintah Swiss membentuk saluran perbankan kemanusiaan yang diawasi dengan ketat untuk mencegah rezim mengalihkan uang dan barang-barang menjauh dari rakyat Iran.
Pendapatan minyak Iran senilai puluhan miliar dolar yang disimpan dalam rekening penampungan asing tersedia untuk mendanai impor barang-barang kemanusiaan. Itulah cara Iran mengimpor barang-barang kebutuhan pokok dan obat-obatan senilai US$15 miliar dalam satu tahun terakhir, menurut gubernur Bank Sentral Iran.
Pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengendalikan aset tak tercatat senilai lebih dari US$200 miliar di perusahaan dan yayasan dan dana kekayaan berdaulat Iran senilai US$91 miliar, US$20 miliar dari jumlah itu berbentuk tunai.
Dia bisa dengan mudah menggunakan US$40 miliar dari kekayaan itu untuk mendukung ekonomi Iran. Namun, ia memilih menggunakan uang ini untuk mendanai agenda revolusionernya, yakni penindasan domestik dan perusakan regional.
Pola penyalahgunaan juga berlaku untuk dana kekayaan negara Iran. Pemimpin tertinggi telah menyetujui pengalihan dana senilai miliaran dolar selama dua tahun terakhir untuk membiayai terorisme, pelanggaran hak asasi manusia, dan kegiatan nuklir.
Namun, ketika harus berjuang melawan pandemi untuk menyelamatkan nyawa, Iran “diduga” tidak punya uang.
Program nuklir Khamenei berlanjut tanpa penundaan bahkan selama pandemi.
Sentrifugal Iran terus berputar, menghasilkan lebih banyak uranium yang diperkaya yang kemungkinan akan digunakan untuk senjata nuklir di masa depan. Rezim juga telah menolak badan pemeriksa nuklir untuk memeriksa situs mencurigakan tertentu yang terkait dengan program nuklir Iran.
Pengurangan sanksi hanya akan memperburuk tantangan ini, menurut Dubowitz dan Goldberg. Begitu juga dana talangan Dana Moneter Internasional (IMF) senilai US$5 miliar yang diminta oleh Iran.
Rezim tidak berhenti untuk mendukung terorisme atau membunuh orang Amerika. Kekhawatiran tentang pencucian uang, korupsi, dan pengalihan barang-barang kemanusiaan tetap belum terselesaikan.
Dengan para pemimpin Iran mendorong rakyatnya untuk tetap menjalani kegiatan sehari-hari terlepas dari himbauan untuk social distancing (penjarakan sosial), keringanan sanksi tidak akan menyelesaikan pandemi di Iran atau meningkatkan keamanan global.
Rezim telah berulang kali menolak tawaran dari Amerika Serikat untuk memberikan bantuan langsung dan malah menyalahkan Amerika (dan Israel) karena menciptakan virus.
Presiden Iran Hassan Rouhani, sementara itu, mengakui rezim itu melakukan kampanye global untuk memanfaatkan pandemi sebagai dalih untuk keringanan sanksi, menurut laporan Foreign Policy.
Dubowitz dan Goldberg menekankan, rezim Iran adalah pecandu terorisme yang meminta belas kasih dari dunia untuk memerangi pandemi.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden Iran Hassan Rouhani saat berpidato di Majelis Umum PBB ke-69 di Markas Besar PBB di New York, 25 September 2014. (Foto: Reuters/Mike Segar)