Sejak Susi Pudjiastuti meninggalkan jabatannya di Kementerian Kelautan dan Perikanan Indonesia pada 2019, kebijakan perikanan nasional telah mengalami perubahan besar. Selain menghidupkan kembali program ekspor benih lobster yang kontroversial yang dilarang Susi dan mengakhiri kebijakan Susi terkait menenggelamkan kapal pemburu asing, kini kementerian sedang merumuskan peraturan tentang bagaimana segera membebaskan kapal illegal fishing yang ditangkap oleh otoritas Indonesia. Jadi, apakah ini saat terbaik untuk regulasi seperti itu di Indonesia?
Memang, kewajiban untuk memberikan pembebasan segera bagi kapal dan awak kapal penangkap ikan asing ilegal diatur di bawah Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS).
UNCLOS tidak hanya memberikan hak berdaulat kepada negara pantai untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi sumber daya alam di zona ekonomi eksklusif (ZEE), tetapi juga hak untuk melakukan penegakan hukum terhadap setiap pelanggaran peraturan nasional, jika ada kapal penangkap ikan asing yang melakukan penangkapan ikan secara ilegal di ZEE negara pesisir, tulis Aristyo Rizka Darmawan dalam artikelnya di Mongabay.
Namun UNCLOS juga membatasi penegakan hukum di ZEE, karena negara pesisir hanya memiliki hak berdaulat atas sumber daya alam dan bukan kedaulatan penuh. Pasal 73 (2), misalnya, menyatakan bahwa jika kapal dan awaknya ditangkap karena praktik penangkapan ikan secara ilegal di ZEE, mereka harus segera dibebaskan setelah ada surat jaminan yang wajar atau jaminan lainnya.
Karena Indonesia adalah pihak UNCLOS, Indonesia terikat kewajiban untuk memberikan pembebasan segera berdasarkan Pasal 73 (2). Namun hingga saat ini, Indonesia belum memiliki peraturan khusus tentang bagaimana melaksanakan kewajiban pembebasan segera ini.
Peledakan dan penenggelaman kapal penangkap ikan oleh Angkatan Laut Indonesia di Laut Pangandaran, Jawa Barat. (Foto: AFP/NurPhoto/Donal Husni)
Di sisi lain, Indonesia memiliki peraturan perundang-undangan nasional yang dapat menimbulkan kontradiksi dan tidak memungkinkan untuk pembebasan segera, Aristyo Rizka Darmawan mencatat.
Di bawah hukum perikanan Indonesia, misalnya, diperbolehkan untuk segera menenggelamkan kapal penangkap ikan asing ilegal berdasarkan bukti permulaan yang cukup, tanpa memerlukan keputusan pengadilan yang final dan mengikat. Oleh karena itu, Indonesia dapat menerapkan kebijakan penenggelaman kapal dan mengabaikan kewajiban pelepasan segera.
Salah satu arahan utama yang diberikan Presiden Joko Widodo kepada Menteri Perikanan yang baru, Edhy Prabowo, adalah menciptakan lingkungan usaha di sektor perikanan yang lebih bersahabat, sehingga akan terjadi peningkatan ekspor perikanan Indonesia.
Untuk melaksanakan arahan Presiden, Edhy mengubah beberapa kebijakan sebelumnya, termasuk tidak lagi menenggelamkan kapal penangkap ikan asing ilegal di perairan Indonesia. Ia berpendapat, kapal tersebut lebih baik digunakan untuk pelatihan perikanan Indonesia daripada menenggelamkannya.
Padahal banyak yang memuji Susi Pudjiastuti karena berhasil mempromosikan pemanfaatan laut yang berkelanjutan, serta perang melawan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur (IUU).
Jokowi rupanya tidak puas dengan hubungan Susi dengan dunia usaha, sehingga menggantikannya dengan menteri baru. Sekarang, sebagai bagian dari tujuannya untuk menciptakan sektor perikanan yang lebih ramah bisnis di Indonesia serta untuk memastikan kepatuhan terhadap UNCLOS, Jokowi merumuskan peraturan untuk melaksanakan kewajiban pembebasan segera.
Memang, pembebasan segera telah menjadi perhatian serius bagi komunitas internasional, lanjut Aristyo Rizka Darmawan. Sejak Pengadilan Internasional tentang Hukum Laut dibentuk pada 1994, setidaknya ada sembilan kasus yang berkaitan dengan kegagalan untuk memberikan pembebasan segera oleh negara-negara pesisir.
Dan dalam beberapa kasus besar, seperti kasus kapal MV Virginia G dan Monte Confurco, pengadilan telah menekankan pentingnya kewajiban pembebasan segera untuk menyeimbangkan kepentingan negara bagian pantai dan negara bendera (kapal).
Oleh karena itu, bukan tidak mungkin Indonesia ke depannya akan dibawa ke pengadilan oleh negara mana pun yang menuntut pembebasan secepatnya, jika Indonesia tidak segera memberikan pembebasan.
Itu karena tidak ada peraturan nasional yang memungkinkan pembebasan segera, dan undang-undang perikanan Indonesia memungkinkan untuk menenggelamkan kapal penangkap ikan ilegal hanya dengan bukti awal, dan tidak ada kemungkinan untuk segera dibebaskan.
Namun artikel Aristyo Rizka Darmawan ini berpendapat, kebijakan untuk menenggelamkan kapal pemburu belum tentu merupakan pelanggaran UNCLOS jika tawaran pembebasan segera telah dibuat dan negara bendera tersebut gagal menyatakan minat untuk membayar obligasi yang wajar untuk pembebasan tersebut.
Oleh karena itu, memang penting bagi Indonesia sebagai salah satu pihak dalam UNCLOS untuk memiliki regulasi nasional untuk melaksanakan kewajiban pembebasan segera. Dengan begitu, akan ada kepastian kerangka hukum yang saat ini belum ada.
Namun, bukan berarti memberikan pembebasan segera harus membiarkan praktik penangkapan ikan ilegal di perairan Indonesia. Indonesia masih harus fokus pada pemanfaatan laut secara berkelanjutan, dengan memberikan sanksi yang tegas terhadap praktik penangkapan ikan ilegal tanpa melanggar kewajiban internasional.
Oleh karena itu, pembebasan segera bukan berarti Indonesia harus mengambil sikap yang lebih lemah terhadap perang melawan penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur, tetapi lebih untuk menyeimbangkan hak negara pantai dan negara bendera di bawah UNCLOS, Aristyo Rizka Darmawan menyimpulkan dalam artikelnya.
Penerjemah dan editor: Aziza Larasati
Keterangan foto utama: Sebuah bola api naik dari perahu nelayan asing yang diledakkan oleh Angkatan Laut Indonesia dari Pulau Batam, Indonesia. (Foto: AP)
Wajib Bebaskan Kapal Illegal Fishing yang Ditangkap, Indonesia Bisa Lakukan Ini