Beberapa hari yang lalu, Korea Utara meluncurkan beberapa rudal ke perairan antara negara itu dan Jepang. Namun, tampaknya sebagian besar dunia tak menyadari ini.
Hanya pengamat profesional Korea Utara, pemerintah, dan akademisi yang mempelajari Pyongyang yang mungkin tahu peluncuran rudal Korea Utara beberapa hari lalu. Orang-orang lain mungkin tidak tahu, atau mungkin tidak terlalu peduli, karena mereka lebih khawatir tentang hal-hal yang lebih penting, seperti virus corona.
Peluncuran semacam ini biasanya merupakan sinyal atau upaya untuk berkomunikasi dengan Korea Selatan, Amerika, dan Jepang.
Mungkin memang begitu, namun peluncuran itu mungkin hanya upaya untuk menuntut perhatian pada saat peristiwa-peristiwa besar lain terjadi di dunia.
Menurut Robert E. Kelly, profesor hubungan internasional di Pusan National University, provokasi Korea Utara seperti itu biasanya memiliki beberapa penyebab:
Pertama, Korea Utara mungkin merasakan kebutuhan empiris untuk menguji senjata yang dikembangkannya. Semua negara tentu saja melakukan ini, dan Korea Utara telah mengembangkan banyak senjata dengan anggaran militernya yang besar.
Namun, penjelasan ini tidak terlalu kuat, karena Korea Utara terkadang menguji senjatanya dan terkadang tidak. Mereka sering melekatkan retorika aneh pada uji coba, dan sering menjadwalkannya pada waktu yang tidak tepat.
Karena pemilihan waktunya sering tidak tepat, uji coba biasanya dianggap sebagai tanda mereka tidak senang pada sesuatu yang dilakukan oleh Korea Selatan.
Dunia juga biasanya sangat memperhatikan peluncuran rudal Pyongyang, yang secara teknis dilarang oleh PBB. Jadi, biasanya peluncuran itu dianggap memiliki makna yang lebih dalam dari sekadar menguji senjata.
Kedua, uji coba semacam itu dapat menandakan ketidaksenangan Korea Utara dengan seluruh dunia. Kasus yang paling jelas dari itu adalah macetnya perundingan denuklirisasi yang diprakarsai oleh pemerintahan Presiden Korea Selatan Moon Jae In dan Presiden Amerika Donald Trump. Kedua pemimpin itu telah menjanjikan kesepakatan atau semacam terobosan dengan Korea Utara.
Namun, janji itu belum terwujud. Trump khususnya, tampaknya telah menarik diri dari perundingan itu. Dia terlihat puas dengan hanya foto-foto dan mengadakan pertemuan, dan tidak tertarik pada substansi pertemuan yang sebenarnya.
Trump akan menggunakan citra itu untuk mendukung pemilihan ulangnya di Pilpres tahun ini. Dia mungkin tidak akan bertemu Kim Jong Un lagi kecuali Kim menawarkan konsesi yang lebih konkret.
Mengingat hal ini, uji coba rudal yang dilakukan di tahun-tahun sejak KTT pertama di Singapura cenderung menekan Trump untuk membuat konsesi.
Ketiga, uji coba itu hanya mengingatkan kita akan keberadaan Korea Utara. Seperti yang dikatakan Soo Kim dari Rand Corporation, itu adalah kartu “jangan lupakan aku” milik Korea Utara.
Korea Utara, seperti semua negara, sensitif terhadap penghinaan atau ketidaktertarikan. Gengsi itu penting. Ini jauh lebih penting bagi Korea Utara mengingat posisi politik mereka yang unik sebagai negara pesaing langsung ke Korea Selatan.
Kedua Korea adalah pesaing legitimasi, kata Kelly. Keduanya mengklaim menguasai seluruh semenanjung. Keduanya mengaku mewakili rakyat Korea. Keduanya mengklaim sebagai sistem superior yang menawarkan hasil yang lebih baik bagi bangsanya. Keduanya memanipulasi bahasa nasionalisme satu sama lain. Mengingat semua ini, mereka adalah ancaman eksistensial satu sama lain.
Sama seperti Jerman Timur yang perlahan-lahan kehilangan persaingannya dengan Jerman Barat selama Perang Dingin, demikian juga Korea Utara. Korea Utara juga, seperti halnya Jerman Timur, tidak dapat menahan orang-orangnya di dalam negaranya sendiri jika Korea Utara tidak mengunci mereka.
Dengan tindakan objektif (PDB, kesehatan masyarakat, sanitasi, penyediaan layanan sosial, infrastruktur, dan sebagainya), Korea Utara telah kehilangan ras antar-Korea.
Dalam kasus Jerman, hal itu berakibat fatal bagi Jerman Timur. Ketika warga negara Timur akhirnya diizinkan untuk memilih, mereka dengan tegas memilih persatuan dengan persyaratan yang dibuat Jerman Barat. Kurang dari setahun kemudian, Jerman Timur hilang.
Korea Utara sangat menentang nasib ini. Mungkin ini merupakan pelengkap totaliter yang gagal dari Korea yang sebenarnya, tetapi mereka tidak akan pernah mengakui hal tersebut.
Mereka akan menuntut klaimnya sebagai negara Korea yang setara, yang juga menikmati legitimasi paralel. Senjata nuklir mereka mendukung klaim itu. Uji coba rudal dan provokasi lainnya juga dilakukan untuk tujuan itu.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Orang-orang menyaksikan tayangan berita di TV yang melaporkan Korea Utara meluncurkan rudal balistik jarak menengah, di Seoul, Korea Selatan, 31 Juli 2019. (Foto: Reuters/Kim Hong-Ji)