Sementara berita tentang kekerasan terhadap orang Papua Barat menjadi berita, para pengungsi Papua Barat menghadapi kesulitan hidup dan penyakit. (Foto: The Guardian/Jo Chandler)
Warga Papua telah menjadi pengungsi di negeri sendiri. Hingga 7 ribu warga Papua tinggal di desa-desa pengungsi, terpisah dari tanah air mereka oleh Sungai Fly yang luas dan tercemar.
Sudah 35 tahun sejak Agapitus Kiku memutuskan dia tidak menginginkan masa depan tanpa kebebasan.
Sejak ia masih muda, ia telah terpaksa bekerja keras di bawah pengawasan tentara Indonesia yang berwenang atas sukunya di sudut tenggara provinsi yang dulu disebut Irian Jaya.
Dia tidak memiliki prospek untuk bekerja di bidang yang diinginkannya, yaitu di kehutanan atau pertambangan. Pekerjaan-pekerjaan itu hanya untuk tentara, katanya, atau untuk para pendatang dari Jawa yang masuk ke daerah itu melalui program transmigrasi. Program ini telah dimulai sejak pemerintahan Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintahan Indonesia.
Pada Februari 1984, pemberontakan oleh kaum nasionalis Melanesia di ibu kota provinsi Jayapura memicu pembalasan brutal dari tentara Indonesia selama berbulan-bulan.
Kiku, istrinya, dan dua anak mereka yang masih kecil mengungsi menuju perbatasan Papua Nugini, bersama dengan sekitar 11 ribu orang Papua lainnya. Mereka berjalan kaki atau berlayar menggunakan sampan. Eksodus itu berlanjut selama hampir 18 bulan, memicu pengerahan pekerja bantuan PBB dan jurnalis internasional, The Guardian melaporkan.
Keluarga Kiku berjalan kaki selama seminggu, di malam hari, mereka bersembunyi dari tentara. Satu anaknya, yang berusia dua tahun, meninggal di perjalanan. Mereka menyeberangi Sungai Fly yang berkelok-kelok, yang membelokkan lurusnya garis perbatasan yang digariskan kartografer kolonial antara Papua dan Papua Nugini.
Di sana, di tanah antah-berantah, para pengungsi menyatakan mereka tidak akan pulang sampai mereka mendapat “kemerdekaan”.
Sampai saat ini, mereka masih menunggu, terpisah dari tanah air mereka oleh sungai yang lebar, dengan air yang berwarna cokelat dan tercemar, yang telah menjadi saluran pembuangan lumpur beracun dari tambang Ok Tedi.
‘Mereka memiliki agenda mereka sendiri: kemerdekaan’
Sesuai sensus terakhir tahun 2014, jumlah orang yang tinggal di desa-desa pengungsi sepanjang Sungai Fly adalah 5.500 jiwa. Salah satu pejabat imigrasi Papua Nugini yang baru-baru ini berada di lapangan, memperkirakan populasinya mendekati 7 ribu jiwa.
Sebagian dari mereka adalah orang-orang yang menjadi inti dari gerakan 1984, kebanyakan dari suku Muyu yang tanah adatnya membentang di kedua sisi perbatasan, ditambah anak-anak dan cucu-cucu mereka.
Mereka telah menolak relokasi ke pemukiman badan pengungsi PBB (UNHCR) yang terletak jauh dari perbatasan.
“Ketika saya bersama UNHCR, kami mencoba yang terbaik untuk menarik mereka keluar dari desa dan pergi ke (permukiman) East Awin,” kenang Robin Moken, lelaki Muyu dan mantan pejabat di ibu kota provinsi Kiunga, dikutip dari The Guardian.
“Mereka berkata ‘tidak, kami sedang memperjuangkan hak kami, dan kami akan tinggal di sini’. Mereka akan tetap di sana, mereka memiliki agenda sendiri, yaitu kemerdekaan.”
Namun, keputusan mereka mendatangkan konsekuensi, mereka kehilangan pengakuan, akses untuk mendapatkan pendidikan bagi anak-anak mereka, dan perawatan kesehatan.
Pengungsi Papua Barat mengandalkan Sungai Fly yang tercemar untuk memperoleh makanan. (Foto: The Guardian/Jo Chandler)
Perwakilan UNHCR dan UNDP baru-baru ini mengunjungi Kiunga. Dilaporkan, mereka bekerja sama dengan pemerintah setempat dan perwakilan pengungsi untuk bersiap menerima gelombang baru, meskipun tidak ada satu pun lembaga yang mengkonfirmasi laporan ini.
Uskup Provinsi Barat, Giles Cotes, mengkonfirmasi, 13 keluarga telah menyeberangi Sungai Fly di barat laut Kiunga. Ada pembentukan komite untuk mengatur perawatan bagi mereka yang baru datang.
Untuk memperlancar eksplorasi masalah-masalah rumit ini, delegasi The Guardian pergi ke dua desa pengungsi dan mewawancarai seorang veteran gerilyawan dari perjuangan hutan tahun 70-an.
Toni Sapioper, seperti Kiku, adalah bagian dari gelombang tahun 1984, meskipun dia baru berusia tiga tahun ketika ibunya menyelundupkan dia dan enam saudara kandungnya melintasi perbatasan laut dari Jayapura ke Vanimo.
Dia besar di permukiman East Awin, dan dengan bangga mengklaim dia adalah keponakan Seth Rumkorem, pemimpin dan pendiri Organisasi Papua Merdeka (OPM), yang memproklamirkan Republik Papua Barat pada 1971.
Desa-desa itu tetap menjadi benteng OPM. Komunitas pengungsi memiliki dua pasal iman yang kuat: kemerdekaan dan Katolik.
Damianus Warip (62 tahun) sedang berdoa rosario di gereja bersama sebagian besar penatua lain ketika tim The Guardian tiba. Veteran lain dari konflik hutan mengatakan, dia khawatir eskalasi bentrokan di “pihak lain” akan memunculkan lebih banyak militer Indonesia ke perbatasan.
Dia menyeberangi sungai pada 1983, di depan gelombang utama, bertekad untuk “tinggal dan berjuang untuk kemerdekaan”.
“Satu-satunya tujuan adalah merdeka, satu-satunya,” tegasnya. Namun, itu harus diwujudkan dengan damai, katanya. Melalui penerjemah, ia meminta “Indonesia agar mendengar tuntutan damai kami, kami tidak ingin berperang melawan Indonesia”.
Pengungsi di negeri sendiri
Penderitaan warga Papua di perbatasan seringkali sulit diketahui karena kurangnya akses bagi orang luar, termasuk media. Kombinasi dari jarak yang sangat jauh, kurangnya infrastruktur, dan anggaran yang dikorupsi membuat layanan kesehatan sangat langka di perbatasan.
Selama beberapa dekade, para pengungsi Sungai Fly hampir sepenuhnya mengandalkan patroli kesehatan dasar oleh para biarawati dari misi Katolik. Para pengungsi menderita banyak penyakit: malaria, TBC, kaki gajah, gizi buruk kronis, kata pemimpin desa Robert Maun. Di komunitasnya, dua guru mengajar lebih dari 100 siswa sekolah dasar yang dibagi menjadi empat kelas.
Sebagian besar pengungsi berbagi ikatan adat dengan kerabat Papua Nugini mereka, melihat diri mereka sebagai pengungsi di negeri mereka sendiri. Kedua komunitas itu kesulitan untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan pokok, seperti makanan dan air, seiring cuaca ekstrem telah menyebabkan kekeringan.
Tangki air yang disuplai oleh misi di satu desa sudah kosong, dan dengan sungai yang terlalu beracun untuk diminum dan untuk memasak, mereka harus mengangkut air dari desa lain yang jauh dari desa itu dalam wadah 20 dan 50 liter.
Makanan pokok, sagu, tidak banyak tersedia di sana. Pohon-pohon sagu di sepanjang sungai mati pada 1998. Mereka menyalahkan Ok Tedi karena telah mencemari sungai dan membuat tanaman-tanaman di sekitar sungai mati.
Tiga tahun lalu, lima keluarga di desa Maun meninggal karena keracunan sagu. Ikan menjadi sumber kehidupan masyarakat setempat, menyediakan makanan dan pendapatan di pasar Kiunga, tetapi “terkadang kami melihat luka pada ikan, dan kami harus membuangnya kembali,” jelas nelayan Andrianus Kundimoko kepada The Guardian. “Jika tidak ada luka, kami akan makan atau menjualnya.”
“Koridor sungai sedang sekarat,” tutur Robin Moken. Dulu sumber makanan di sepanjang Sungai Fly melimpah, kenangnya.
“Jika hujan turun, tidak apa-apa. Namun, jika tidak ada hujan, kami terpaksa minum dari air yang tercemar itu. Jika kami ingin membuat sagu, sagu dicuci di sungai, tetapi itu sangat berbahaya.”
Sementara pemilik tanah di sisi Papua Nugini menerima pembayaran kompensasi untuk kerusakan yang terjadi pada sungai mereka, mereka yang lahir di sisi yang lain tidak memenuhi syarat untuk itu.
Ada wacana untuk menyertakan pemilik tanah di sisi Papua dalam pembayaran kompensasi, ungkap Moken, tetapi kemudian ada kekhawatiran pemerintah Indonesia “mungkin akan berpikir kami membantu pemberontak”. Sehingga wacana itu mati.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama:
Sementara berita tentang kekerasan terhadap orang Papua Barat menjadi berita, para pengungsi Papua Barat menghadapi kesulitan hidup dan penyakit. (Foto: The Guardian/Jo Chandler)