5 Salah Kaprah Dunia tentang Iran
Opini

5 Salah Kaprah Dunia Tentang Iran

Berita Internasional > 5 Salah Kaprah Dunia Tentang Iran

Iran bukanlah negara dunia ketiga, dan pemimpinnya dipilih melalui pemilihan umum. Walau memang bukan negara dengan catatan kriminal dan hak asasi manusia yang bersih, banyak kesalahkaprahan tentang Iran yang tersebar luas, terutama di Barat. Berikut beberapa lima fakta Iran yang paling sering dianggap salah kaprah.

Baca Juga: Kemungkinan Rusia Pimpin Interpol Picu Kekhawatiran Pejabat Barat

Caleb Mills menulis, pada 5 November 2018, administrasi Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan sejumlah sanksi yang menargetkan 50 bank Iran dan anak perusahaan mereka, maskapai penerbangan nasional, dan 200 anggota industri pelayaran. Tujuannya ialah memotong pendapatan minyak pemerintah Iran dan merusak kemampuan nuklir rezim.

Bukan rahasia umum, Iran memiliki hubungan yang tegang dengan dunia Barat, sejak Revolusi Islam di 1970-an. Sasaran keduanya jelas tidak selaras, tetapi jika ada sesuatu yang dapat diidentifikasi, itu adalah korban dari kesalahpahaman yang bermotif politis secara konsisten. Sebenarnya, secara gamblang yang terjadi ialah: propaganda yang mencolok.

Kata propaganda seringkali dikaitkan dengan konotasi negatif, tetapi makna sebenarnya lebih umum daripada yang Anda pikirkan. Setiap pemerintah nasional dengan ketertarikan dalam semangat dan dukungan akan secara langsung atau tidak bertanggung jawab dalam melakukan semacam program propaganda yang bertujuan untuk meningkatkan patriotisme.

Propaganda bukan hal yang buruk, tetapi ketika fakta dan kenyataan mulai menjadi korban dalam upaya untuk menggalang dukungan rakyat, hal itu menjadi masalah.

Iran, dari setiap sudut pandang berbasis fakta, telah melakukan banyak kekejaman dan pelanggaran hak asasi manusia. Penindasan kebebasan berbicara mereka tidak memiliki pembenaran dan jika dibandingkan dengan kebebasan pribadi yang tumbuh di seluruh dunia, kejahatannya bahkan lebih tercela. Tetapi hal itu tidak memberi lawannya, tidak peduli seberapa besar moral yang mereka tempati, alasan untuk memperluas jangkauan kejahatannya dan membesar-besarkan aspek tertentu dari kehidupan Iran.

Fakta berbicara sendiri, tidak perlu ada pemerintah untuk mendukung yang sudah jelas. Jadi, demi fakta, berikut ini beberapa ketidakakuratan tentang Iran yang perlu diluruskan:

“Iran adalah pemerintahan diktator”

Bagi pengamat rata-rata, akan mudah untuk menyimpulkan, sistem politik Iran didominasi oleh pria dalam jubah yang membawa senjata berjenis AK yang merencanakan serangan teroris di siang hari dan membawa senjata mereka keluar pada malam hari. Meski benar adanya suasana politik di Iran berbahaya, sistem pemerintahan sebenarnya cukup demokratis.

Tidak seperti sekutu AS di Turki dan Arab Saudi, yang hampir secara eksklusif dikendalikan oleh sekelompok pemimpin terpilih di bagian atas, parlemen Iran memiliki kekuatan yang relatif besar. Presiden Iran, yang terpilih dari daftar calon yang dinominasikan oleh berbagai kelompok politik di negara itu, dipilih secara langsung melalui pemilihan umum.

Namun demikian, jelas terdapat beberapa pembatasan. Dewan Wali Iran (The Council of Guardians), sebuah lembaga yang diorganisir pemerintah, memeriksa semua kandidat yang mencalonkan diri untuk jabatan dan dapat mendiskualifikasi para kandidat dengan alasan apapun yang mereka inginkan.

Majelis Para Ahli (The Assembly of Experts), sebuah badan pemimpin agama, politik, dan militer yang tidak dipilih juga bertanggung jawab untuk memilih pemimpin tertinggi, yang berbeda dari presiden, tidak dipilih oleh rakyat dan menjabat seumur hidup. Tetapi pada akhirnya, sebagian besar keputusan yang dibuat oleh wakil rakyat terpilih akan dihormati oleh para Imam.

“Iran tertutup bagi pengunjung dari Amerika Serikat”

Seperti disebutkan sebelumnya, Amerika Serikat dan Iran diketahui memiliki hubungan yang tidak terlalu dekat. Sejak krisis kedutaan pada 1979 ketika revolusioner Iran menculik personel diplomatik AS, banyak yang mendapatkan kesan, Iran tertutup bagi pengunjung internasional, yang fakta sebenarnya tidak demikian.

Meski pemerintah Iran mempertimbangkan aplikasi untuk mengunjungi Amerika Serikat berdasarkan kasus per kasus, warga AS benar-benar bebas masuk ke Iran kapan saja.

Sementara Amerika Serikat tidak memiliki kehadiran diplomatik yang mapan di negara tersebut, operasi biasanya dijalankan di luar kedutaan Swiss, di mana warga AS dapat pergi untuk mencari bantuan jika diperlukan.

Namun, semua warga AS yang melakukan perjalanan ke Iran akan dipaksa menjalani proses dengan pemerintah Amerika Serikat, yang meliputi sidik jari dan pengawasan.

“Iran adalah negara dunia ketiga”

Menurut laporan dari para peneliti di Universitas Teheran pada 2011, sekitar 44-55 persen penduduk perkotaan Iran hidup di bawah garis kemiskinan internasional. Keadaan ekonomi Iran saat ini sedang mengalami transisi, dengan sekitar 60 persen dari wilayahnya sedang direncanakan atau dikendalikan pemerintah. Sangatlah jelas, sebagian besar ekonomi didasarkan pada sektor publik, khususnya industri minyak.

Tetapi meskipun tidak memiliki kondisi kehidupan terbaik di dunia, Iran bukan negara terbelakang seperti yang diyakini kebanyakan orang. Terlepas dari kenyataan 20 persen dari populasi memang hidup dalam kemiskinan, angka itu relatif ringan dibandingkan dengan negara tetangga seperti Irak, di mana lebih dari 53 persen warganya hidup dalam kemiskinan.

Di peringkat internasional Global Finance 2016 mengenai kekayaan internasional tertinggi hingga terendah, Iran berada pada peringkat ke-70, lebih tinggi dari Brazil, Afrika Selatan, Yordania, India, dan Ukraina.

Masalah utama Iran secara konsisten ialah korupsi dan pengangguran, keduanya telah menjadi sasaran upaya perbaikan administrasi Presiden Iran Hassan Rouhani yang berhaluan moderat. Sebaliknya, Iran terus menempati urutan kedua di dunia dalam cadangan gas alam dan keempat dalam cadangan minyak mentah yang telah terbukti, menurut Bank Dunia.

Secara keseluruhan, meski Iran telah menghadapi banyak masalah sepanjang jalan menuju modernisasi, Iran secara masuk akal tidak dapat digambarkan sebagai negara dunia ketiga atau miskin.

“Tidak ada oposisi legal”

Pada tahun-tahun setelah Revolusi Islam dan pergolakan di akhir 1970-an, politik di Iran didominasi oleh kaum ekstremis dan nasionalis. Karena kondisi dalam negeri yang keras dan perang Iran-Irak, Ayatollah Khomeini dan para pendukungnya, campuran fanatik agama dan pemikir nasionalis, mampu merebut kekuasaan secara hukum dari koalisi tengah dan lawan lainnya, Republikan.

Setelah berakhirnya perang dan kembalinya pertumbuhan ekonomi serta stabilitas, Partai Republik Islam runtuh, dan beberapa partai reformis bermunculan di daerah perkotaan. Dari enam pemilihan presiden selanjutnya, sosok moderat dan reformis seperti Rouhani, Akbar Hashemi-Rafsanjani, dan lainnya memenangkan empat pemilu. Kemenangan dalam dua pemilu diklaim oleh sisa-sisa nasionalis Revolusi, yang dipimpin oleh orang-orang seperti Mahmoud Ahmadinejad.

Berlawanan dengan kepercayaan umum, dalam sejarah baru-baru ini, rakyat Iran memiliki kecenderungan kuat untuk menolak unsur-unsur yang lebih nasionalistik dari sistem politik ketika diberi pilihan, serta cenderung memilih nilai-nilai pragmatis dan progresif.

Tidak hanya partai oposisi yang ada dalam sistem politik Iran, dalam beberapa tahun terakhir, mereka sebenarnya telah mengalahkan pesaing tradisional mereka. Dalam ajang pemilihan presiden terakhir selama 2017, Rouhani terpilih kembali dalam kemenangan mutlak dengan perolehan hampir 60 persen suara.

Baca Juga: Trump Jatuhkan Sanksi Baru untuk Hukum Iran dan Suriah

“Kristen illegal di Iran”

Tidak dapat disangkal benar, Iran adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim Syiah. Sebagai hasilnya, persekusi terhadap kelompok minoritas agama seperti Islam Sunni, Kristen, Buddha, dan Yahudi adalah masalah konstan yang menarik perhatian berbagai kelompok internasional selama bertahun-tahun. Tetapi banyak pernyataan tentang kurangnya keragaman agama di Iran, di masa lalu maupun zaman modern, tidak sepenuhnya benar.

Berbagai komunitas Kristen di Iran telah berdiri selama lebih dari seribu tahun, mendahului kedatangan Islam. Sebenarnya, Kisah Para Rasul di Perjanjian Baru menunjukkan, Persia dan Media ada di antara beberapa orang Kristen yang paling awal bertobat.

Selama berabad-abad, banyak kelompok agama secara berkala mengambil alih kekuasaan di negara itu, termasuk Zoroastrian. Karena itu, bahkan setelah Revolusi, konstitusi negara secara resmi mengakui agama Kristen dan minoritas agama lainnya dalam sistem hukumnya.

Konflik antara mayoritas penduduk Syiah dan minoritas Kristen biasanya terjadi sebagai akibat dari kepatuhan ketat negara terhadap hukum dan kebiasaan Islam, yang bertentangan dengan beberapa prinsip alkitabiah utama.

Faktanya, biasanya, ketika orang Kristen terperangkap dalam masalah hukum, hal itu terjadi karena alasan legal yang berkaitan dengan hukum, tidak secara khusus karena mereka adalah orang Kristen. Konstitusi Iran bahkan menyatakan: “penyelidikan terhadap keyakinan individu merupakan hal yang dilarang” dan “tidak ada yang boleh dilecehkan atau dihukum hanya karena memegang keyakinan tertentu.”

Jadi, kecuali untuk segala pelanggaran mencolok terhadap hukum atau kebiasaan Iran, biasanya, warga Kristen Iran diperbolehkan mempraktikkan agama mereka di ranah pribadi.

Saat ini, ada sekitar 600 gereja umum di seluruh negeri, dengan sekitar 300 ribu jemaat secara nasional. Semua kelompok minoritas agama diperbolehkan untuk memberikan suara dan bahkan memegang posisi pemerintahan. Lima kursi di parlemen secara khusus disediakan untuk mewakili kelompok-kelompok tersebut. Namun, hanya Muslim Syiah yang diizinkan untuk duduk di salah satu dewan atau menjadi presiden.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu

Keterangan foto utama: Presiden Iran Hassan Rouhani yang cenderung moderat. (Foto: Geopolitical Monitor)

5 Salah Kaprah Dunia Tentang Iran

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top