Setelah rampung uji klinis vaksin corona ke monyet, China mulai menguji keberhasilan antivirus itu terhadap 108 relawan setempat. Tak ketinggalan, Amerika beberapa hari sebelumnya juga melakukan uji coba vaksin kepada empat relawan. Lepas dari siapa yang lebih dulu mematenkan antivirus tersebut, kisah heroik para relawan layak untuk disimak.
Sebanyak 108 orang berusia 18-60 dari Wuhan, China telah disuntik dengan vaksin potensial yang dikembangkan oleh perusahaan farmasi China dan militer. South China Morning Post melaporkan, mereka yang mengajukan diri sebagai relawan relatif layak diapresiasi, mengingat pengorbanannya demi kesembuhan banyak pasien.
Mungkin ada diare, suhu tinggi, dan sedikit kecemasan, tetapi 108 orang dari Wuhan dengan bangga mengaku, minggu ini mereka menjadi kelompok pertama di negara itu yang disuntik dengan vaksin anti-corona baru.
Uji coba berlangsung di China tengah pada Kamis, tiga hari setelah CanSino Biologics, perusahaan farmasi yang mengembangkan produk itu, diberi lampu hijau oleh pemerintah Beijing.
Menurut informasi yang diterbitkan dalam daftar uji klinis China, para sukarelawan saat dites berada dalam kondisi sehat. Mereka lantas dibagi menjadi tiga kelompok yang terdiri dari 36 orang masing-masing, kemudian diberikan dosis vaksin rendah, sedang, atau tinggi di fasilitas yang dimiliki oleh kepolisian kota bersenjata.
Mengutip laporan Science Daily, Wang Junzhi, salah satu relawan dari Akademi Teknik China, mengatakan, usai menerima suntikan, para peserta bakal menghabiskan 14 hari karantina di bawah pengawasan medis yang ketat.
Mereka pun dengan senang hati menceritakan pengalaman mereka kepada publik.
“Saya tak menafikan, diliputi rasa takut saat mendaftar,” ujar perempuan muda yang disapa Xiao Mi. Dalam uji vaksin itu, dia kebetulan diklasifikan dalam kelompok vaksin dosis rendah.
“Hanya butuh satu hari saya diberitahu untuk mendapatkan suntikan,” katanya di Weibo, platform yang menyerupai Twitter di China.
Xiao berkata, dia membaca tentang kemungkinan efek samping, seperti reaksi alergi, ketakutan, serta kecemasan karena suntikan tersebut. Bahkan, mungkin reaksi yang jauh lebih buruk.
“Dua orang dari kelompok kami suhu tubuhnya naik drastis hingga 38 derajat, dan beberapa dari mereka mengalami diare hebat,” katanya, seraya menambahkan, semua efek samping biasanya berlalu dengan sangat cepat.
Hang lebih penting, kata Xiao, meskipun khawatir, keikutsertaannya dalam uji coba vaksin ini merupakan wujud kepeduliannya dalam bermasyarakat.
“Saya merasa saya bisa menanggung akibatnya. Namun, yang terpenting, saya ingin melampaui kepentingan sederhana orang normal untuk sekali. Kita harus berterima kasih kepada semua yang telah berdiri di depan orang normal,” tuturnya pada South China Morning Post.
Xiao juga menerangkan, orang pertama yang menerima suntikan vaksin adalah Chen Wei, seorang jenderal besar dan ilmuwan militer yang memimpin uji coba. Relawan lainnya adalah Li Ming, suami Wang Feng-bekas pasien positif COVID-19 yang sudah pulih, dengan gejala yang relatif ringan.
“Dari awal gejala sampai sekarang, saya telah mengalami banyak kesulitan dalam mendapatkan diagnosis dan perawatan,” kata Wang seperti dikutip dalam laporan Science Daily.
“Suami saya telah menemani saya melalui ini, dan dia sepenuhnya memahami betapa sulitnya bagi seorang pasien cona,” sambungnya.
Amerika juga melakukan uji coba
Ilustrasi sampel darah dari pasien positif coronavirus. (Foto: Generall Indonesia)
Tak hanya China yang tengah berupaya mencari jalan keluar dari penyakit COVID-19. Amerika, rival abadinya disebut-sebut juga ikut berlaga mengembangkan vaksin virus yang kini telah jadi pandemi tersebut.
Melansir laporan kantor berita Associated Press (AP), 45 pasien menerima suntikan vaksin corona di fasilitas penelitian Kaiser Permanente di Seattle, Washington. Vaksin tersebut tidak dapat menyebabkan COVID-19, melainkan hanya mengandung kode genetik yang tidak berbahaya. Kode itu sendiri disalin dari virus yang memicu penyakit corona.
Para ahli mengatakan, masih perlu waktu berbulan-bulan untuk mengetahui apakah vaksin ini, atau orang lain yang juga turut dalam uji coba, akan menunjukkan keberhasilan.
Orang pertama yang mendapat suntikan pada Senin (16/3) adalah Jennifer Haller, seorang ibu dua anak berusia 43 tahun dari Seattle.
“Ini adalah kesempatan luar biasa bagi saya untuk melakukan sesuatu,” kata Haller kepada AP.
Sama seperti uji coba farmasi China, dalam percobaan ini, puluhan relawan disuntikkan vaksin dengan dosis yang beragam.
“Semua orang terlihat tidak memiliki harapan sekarang dan saya menyadari ada cara untuk saya bisa membantu, maka dari itu saya merasa senang berada di sini (ikut uji vaksin)” tambahnya.
Dalam hematnya, proses uji coba vaksin corona tak ubahnya vaksinasi flu yang ia ikuti beberapa bulan sebelumnya. Ia mengaku tak merasakan sakit sama sekali.
“Saya berharap kita bisa menemukan vaksin yang benar-benar ampuh secepatnya, sehingga kita bisa menyelamatkan banyak nyawa. Pun, saya berharap masyarakat bisa kembali hidup normal,” tuturnya lagi.
Jennifer Haller merupakan seorang manajer operasional di sebuah perusahaan teknologi. Karena tindakannya itu, ia dianggap “keren” oleh anak-anaknya. Bahkan, pujian dari warganet juga deras mengalir di media sosial.
Meskin rerata kedua pihak mengklaim vaksin bisa segera disebarluaskan dalam hitungan bulan, namun, Roy Hall, seorang profesor virologi di Universitas Queensland di Australia, mengatakan, bahkan jika uji coba vaksin dilacak dengan cepat, masih perlu waktu sebelum itu siap untuk diproduksi secara massal.
“Ini mungkin tersedia dalam enam hingga sembilan bulan sejak memulai uji klinis. Itu akan menjadi pencapaian yang luar biasa,” pungkasnya.
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Seorang apoteker memberikan Jennifer Haller (kiri), suntikan pertama dalam uji klinis vaksin potensial untuk COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus corona baru, Senin, 16 Maret 2020, di Kaiser Permanente Washington Health Lembaga Penelitian di Seattle. (Foto AP / Ted S. Warren)