Butuh waktu bertahun-tahun buat Trump dan Xi Jinping untuk mendinginkan perang dagang lewat perjanjian fase satu. Kini semua ambyar setelah pandemi COVID-19 menerjang dunia, termasuk dua negara itu.
Hubungan antara China dan Amerika Serikat (AS) yang kerap diwarnai pertikaian sudah terjadi jauh sebelum Trump menjadi AS-1. Pada 1972, Presiden Richard Nixon yang sangat anti-komunis dan penasihat keamanan nasionalnya, Henry Kissinger, berangkat ke Beijing untuk membuat proposal perubahan permainan: Amerika Serikat dan China harus mengakhiri permusuhan selama puluhan tahun lalu bersekutu melawan Uni Soviet.
“Jika dua pihak bermusuhan, masa depan dunia yang kita bagi bersama ini benar-benar gelap,” ujarnya saat itu, dilansir dari Foreign Policy.
Dia bersikeras, kedua negara memiliki “kepentingan bersama” yang melampaui perbedaan mereka, sehingga bisa dijembatani lewat kompromi.
Nyaris lima dekade kemudian, dua kekuatan raksasa yang dulunya mencoba lebih dekat, sekarang menjauh kembali karena penyebaran global dari virus corona. Pelepasan ini didorong oleh ideologi kaku Presiden Tiongkok Xi Jinping dan nasionalisme Presiden AS Donald Trump. Masing-masing negara mencoba menyalahkan yang lain atas krisis corona, hingga tak sadar hubungan mereka makin jauh.
Sementara itu, yakin dengan godaan demokrasi dan terbuai janji yang mengarah pada keterbukaan, kebebasan, dan keadilan yang lebih besar, orang Amerika cenderung memandang prospek konvergensi semacam itu sebagai hal yang hampir tidak bisa dihindari. Lagipula, jika Cina ingin berpartisipasi penuh dalam pasar global, ia tidak punya pilihan selain bermain dengan aturan yang ada, setelah berakhirnya Perang Dingin (baca: aturan Amerika. Red).
Optimisme untuk membentuk persatuan dua negara sering disangkutkan dengan frase “Chimerica” atau “Kelompok China-Amerika.” Janji-janji masa depan untuk menjembatani berbagai perbedaan nilai-nilai China dan sistem politik mereka sangat diharapkan.
Sebuah konsensus yang luar biasa mulai terbentuk pada topik kerja sama AS-China, yang melampaui batas-batas ideologis di Amerika Serikat. Pada 1979, Presiden Jimmy Carter, digambarkan sebagai “presiden hak asasi manusia” pertama di Amerika, mengabaikan banyak pelanggaran HAM di Tiongkok can menyambut PM China saat itu, Deng Xiaoping di Gedung Putih. Pada 1989, Presiden George H.W. Bush membungkuk ke belakang untuk menjaga hubungan persahabatan setelah pembantaian Lapangan Tiananmen, dengan dua kali mengirim Penasihat Keamanan Nasional Brent Scowcroft ke Beijing. Tujuannya demi memohon kepada Deng agar tidak membiarkan hubungan AS dan China yang dimenangkan dengan susah payah, kandas begitu saja.
Pada 1991, Presiden Bill Clinton menyebutkan, “Kami berbisnis seperti biasa dengan mereka yang membunuh kebebasan di Lapangan Tiananmen.”
Dia akhirnya merangkul Presiden Tiongkok Jiang Zemin, melobi untuk memperluas status “negara yang paling disukai” ke Beijing, bahkan membantu mengantarnya ke Organisasi Perdagangan Dunia. Clinton adalah Presiden AS pertama yang menyebut kebijakan baru ini sebagai “keterlibatan komprehensif.” Harapannya, begitu China memegang jarum kapitalisme, demokrasi akan mengikuti dengan sendirinya. Namun, itu tak pernah terjadi.
Presiden Barack Obama terus mengejar janji ini, mencoba untuk menghidupkan kembali hubungan itu. Caranya dengan meminta Menteri Luar Negeri Hillary Clinton meyakinkan Beijing, pemerintahannya tidak akan membiarkan pertanyaan sensitif seperti HAM mengganggu kerjasama dalam perubahan iklim dan krisis ekonomi.
Korporasi dan konsumen AS mendapat untung dari kebijakan ini, bahkan ketika negara dipaksa untuk mengkompromikan beberapa prinsip demokrasi dan menoleransi defisit perdagangan yang terus meningkat. Namun, China mendapat manfaat terbesar, yakni mengurangi ketegangan dengan AS. Selama 30 tahun lebih, China muncul dari kepompong revolusinya, mengembangkan ekonomi yang rapuh, meletakkan infrastruktur modern, dan menjadi bagian penting dari institusi global. Di lingkungan yang terlindung, di mana ia terbebas dari ancaman perang dengan kekuatan besar lain atau bahkan permusuhan serius, China tidak hanya selamat tetapi juga berkembang.
Puncaknya, pada penobatan Xi di 2012, hubungan bilateral yang kritis ini mulai berubah. Xi menggantikan slogan pendahulunya “Kebangkitan Damai” dengan “Impian China” dan “Peremajaan China” yang lebih agresif. Ide-ide ini menguraikan visi besar pemerintah Tiongkok yang jauh lebih tegas dan berpengaruh di dalam dan luar negeri. Ketegasan Xi yang tak tergoyahkan dalam kebijakan luar negeri dan meningkatnya otoritarianisme domestik mulai mengasingkan Amerika Serikat serta banyak mitra dagang yang lebih rendah, yang mendapati diri mereka terjebak dalam hubungan yang semakin tidak setara, dan terkadang tak mampu mereka tinggalkan.
Visi baru ambisius Xi tentang China yang lebih agresif menghasilkan sejumlah kebijakan yang ceroboh. Dia melakukan militerisasi Laut China Selatan; mengubah generasi Hong Kong melawan Beijing dengan mengikis otonomi tingkat tinggi yang telah mereka janjikan pada 1997; menentang Jepang atas Kepulauan Diaoyu/Senkaku, yang telah lama dikelola negara itu di Laut China Timur; menggetarkan pedang di Taiwan tanpa daya, sehingga dia mengasingkan Partai Kuomintang yang dulu pro-Beijing; dan mengubah Xinjiang menjadi kamp penahanan raksasa.
Bendera China dan AS berkibar di dekat The Bund, sebelum delegasi perdagangan AS bertemu rekan-rekan China mereka untuk mengadakan perundingan di Shanghai, China, 30 Juli 2019. (Foto: Reuters/Aly Song)
Hasilnya bukan hanya hubungan diplomatik yang lebih tegang dengan Washington, perang dagang, dan pemisahan elemen-elemen ekonomi kedua negara, tetapi juga perpecahan sipil transnasional dan gangguan pertukaran budaya. Bersama-sama, Xi memberi Washington amunisi yang diperlukan untuk merumuskan kembali sikapnya yang dulu pemaaf. Hasilnya adalah sikap resmi yang jauh lebih tidak mendukung konvergensi ini. Tanpa elemen katalis reformasi politik China yang masih bercampur aduk, sulit membayangkan konvergensi Tiongkok-Amerika bisa terjadi dalam waktu dekat di Amerika Serikat.
Ada banyak petimbangan mengapa Xi terkesan enggan mengusahakan konvergensi itu. Xi tidak pernah mengartikulasikan penjelasan menyeluruh yang berbicara tentang kepentingan nasional aktual China. Namun, yang paling masuk akal mungkin alasan paling sederhana: nasionalisme dan proyeksi kekuasaan di mata dunia.
Masalahnya, ini bisa jadi fatal ketika dipertahankan di tengah situasi krisis seperti sekarang. Ketidakmampuan awal Xi untuk mengelola krisis pandemi corona telah menggerogoti kepercayaan publik atasnya. Telebih, krisis kesehatan China juga berdampak luas di sektor ekonomi. Angka-angka awal dari China untuk periode Januari-Februari menunjukkan, penurunan konsumsi 20,5 persen dan penurunan 13,5 persen pada manufaktur dari tahun ke tahun. Bahkan ketika negara itu berjuang untuk bangkit kembali, pasar di seluruh dunia akan terkunci.
Terlepas dari upaya China untuk mengubah narasi kegagalan jadi kesuksesan, jika ini dibiarkan, maka hubungan Trump dan XI jangan dibayangkan akan kembali membaik, seperti pasca-ditekennya kesepakatan fase satu perang dagang.
Di sisi lain, Obama sudah lama memperingatkan, semakin agresif dan otokratis China yang dipersenjatai dengan baik, maka itu akan segera jadi ancaman bagi kepentingan nasional AS.
Tepat saat debat tentang pelepasan kembali rantai pasokan China, corona jadi objek perdebatan selanjutnya. Ini diperparah dengan kondisi maskapai penerbangan yang membatalkan penerbangan, pameran dagang ditunda, pariwisata memekik, arus investasi mengering, ekspor dan impor anjlok, dan pertukaran teknologi tinggi terpotong. Dengan memisahkan Amerika Serikat dan China dalam semalam, pandemi telah memberi Trump dan elang-elangnya dengan jenis sanksi kosmik untuk menempatkan taruhan terakhir melalui keterlibatan lebih besar.
Sementara itu, lapor Foreign Policy, sebagian besar orang Amerika terus menginginkan globalisasi dalam beberapa bentuk — tetapi mungkin dengan China memainkan peran yang jauh lebih sedikit. Sekarang karena bisnis AS telah menjadi skeptis terhadap gaya lama, kebijakan tersebut telah kehilangan daya dorong terakhirnya. Bahkan, sebelum krisis corona, perusahaan semakin sadar akan risiko memiliki semua telur mereka dalam satu keranjang oleh perang dagang.
Militer AS, gereja, media, lembaga think tank, masyarakat sipil, bahkan akademisi sejak itu telah melihat kelangkaan pendukung konvergensi. Hubungan AS-China mendapati dirinya mengambang di lingkungan bebas gravitasi di mana Xi dan Trump, karena kesalahan penanganan masalah virus mereka, sedang berjuang untuk menapak kembali.
Satu yang pasti, jika Xi bisa meyakinkan dunia soal kesuksesannya mengatasi corona dan kepemimpinan Trump terus menggelepar, itu hanya akan menambah kilau Xi. Namun, bisa jadi Xi masih menderita kerusakan reputasi besar, terutama kala dihadapkan pada kritik karena menekan alarm dari para profesional medis di China soal pencegahan sebaran virus.
Pendeta Roger Grimmett menyampaikan kebaktian pagi di First United Methodist Church di Springfield, Illinois, Amerika Serikat Minggu, 15 Maret 2020 melalui live streaming di laman Facebook gereja. Kehadiran fisik dalam kebaktian telah dilarang sebagai bagian dari pembatasan berkumpul dan bergerak demi mencegah penyebaran virus corona baru. (Foto: Justin L. Fowler/The State Journal-Register/USA Today Network)
Pada akhirnya, menang atau kalah, pandemi ini memberi Xi alasan untuk melakukan uji-jalan dan memperluas berbagai mekanisme baru kontrol partai dan negara. Aplikasi kode warna baru yang menunjuk siapa yang bisa bergerak ke mana, pemindai suhu pemeriksaan polisi, jenis baru dari taktik mobilisasi massa, dan alat sensor digital akan memungkinkan negara untuk menyusup lebih jauh ke dalam kehidupan Tiongkok di masa depan.
Jika pertempuran melawan virus berputar di luar kendali lagi ketika ia mendorong pekerja kembali ke jalur perakitan untuk menyelamatkan ekonomi China, Xi pasti akan mengklaim ancaman terhadap kelangsungan hidup negara dan kebangsaan negara kini telah meningkat. Alhasil, pemerintah yang lebih terpusat, kuat, tidak toleran, dan mengendalikan adalah satu-satunya jalan ke depan.
Singkatnya, apa pun yang terjadi dengan epidemi China, Beijing kemungkinan akan bangkit dari traumanya lalu menjelma jadi lebih otokratis, garang, dan lebih cenderung ke arah konflik dengan tatanan berbasis aturan liberal demokratis. Jadi, jangankan membayangkan bromance yang mesra dari dua negara, membayangkan impian Bill Clinton soal demokrasi China pun, masih jauh panggang dari api.
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Xi dan Trump diprediksi makin menjauh setelah pandemi corona ini selesai. (Foto: Getty Images/Peter Thomas)