Mengapa Trump Gagal Tangani Masalah Nuklir Iran dan Korea Utara
Presiden AS Donald Trump mendengarkan selama diskusi meja bundar di U.S. Customs and Border Protection National Targeting Center di Sterling, Virginia, pada 2 Februari 2018. (Foto: Getty Images/Andrew Harrer-Pool)
Berita Internasional > Mengapa Trump Gagal Tangani Masalah Nuklir Iran dan Korea Utara
Doktrin kebijakan luar negeri favorit Donald Trump telah gagal di Korea Utara dan Iran. Padahal, Amerika telah menggunakan strategi yang berlawanan—lunak dan keras—dalam menangani masalah nuklir di kedua negara tersebut.Sementara kampanye tekanan terhadap Korea Utara terlalu minimal, Iran melihat kampanye terhadapnya sangat maksimal sehingga mereka kehilangan minat untuk bernegosiasi.
Pertemuan tingkat tinggi (KTT) yang sangat ditunggu antara Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un, gagal sesaat setelah dimulai pada minggu lalu, seiring kedua belah pihak tak berhasil mencapai kesepakatan yang akan memuaskan mereka berdua.
Kedua belah pihak mengharapkan pihak yang lain untuk memberikan keputusan kritis yang memuaskan: Trump mendambakan denuklirisasi Korea Utara, dan Kim menginginkan keringanan sanksi.
Untuk sampai ke meja perundingan, pemerintahan Trump telah memberlakukan apa yang disebutnya “tekanan maksimum”—sanksi keras dan ancaman militer yang dirancang untuk memaksa musuh untuk mengubah perilakunya—di mana doktrin kebijakan luar negeri Trump tampaknya semakin berubah-ubah.
Trump telah mengerahkan tekanan bertubi-tubi terhadap teman dan musuh. Selama dua tahun terakhir, melakukan hal itu telah membuatnya mencapai beberapa keberhasilan yang diakui—misalnya, negosiasi ulang Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dengan syarat-syarat yang menurut pemerintahannya lebih menguntungkan Amerika Serikat, dan perang dagang yang sedang berlangsung dengan China. Tetapi catatannya dalam dua tantangan non-proliferasi nuklir yang paling mendesak saat ini—Korea Utara dan Iran—menyoroti potensi bahaya dari penggunaan strategi ini.
Dalam kasus Iran, tekanan maksimum berarti menarik diri dari kesepakatan nuklir 2015, memberlakukan kembali sanksi, dan mengerahkan retorika yang keras. Di Korea Utara, kampanye tersebut akan menyebabkan peningkatan ketegangan yang cepat antara Washington dan Pyongyang, dan hampir membawa kedua negara ke tepi pertikaian militer.
Namun, dalam kedua kasus, tekanan telah diterapkan secara tidak konsisten. Selama beberapa bulan terakhir, sementara Washington semakin membuat marah Teheran dengan mendesak sekutu-sekutu AS untuk mundur dari kesepakatan nuklir, AS telah berbuat sebaliknya di Pyongyang.
Kedua taruhan tersebut bisa terbukti tidak efektif dalam jangka pendek; Trump mungkin terlalu lunak di Korea Utara dan terlalu keras di Iran. Dan mereka dapat menyebabkan kerugian besar dalam jangka menengah, membuat Amerika Serikat kehilangan semua opsi, kecuali terlibat dalam pertikaian militer.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump berjabat tangan dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un sebelum pertemuan di Hotel Sofitel Legend Metropole di Hanoi, Vietnam, 27 Februari 2019. (Foto: Getty Images/AFP/Saul Loeb)
Ambil contoh Korea Utara. Pada musim panas 2017, ketegangan antara Washington dan Pyongyang meningkat, dan konflik di Semenanjung Korea atau pertikaian nuklir AS-Korea Utara tampak semakin mungkin terjadi. Trump menjanjikan “api dan amarah yang belum pernah dilihat dunia” jika Korea Utara mengancam Amerika Serikat. Retorika itu tampaknya berhasil: Pada musim panas berikutnya, Presiden Trump mampu mengadakan pertemuan bersejarah dengan Kim.
Menurut pendapat pemerintah AS, Korea Utara “tidak lagi menjadi Ancaman Nuklir” setelah pertemuan itu. Seperti yang diyakini Trump, dengan program senjata nuklir Korea Utara kini terkendali, pemerintahannya dapat fokus pada peningkatan hubungan. Yang terjadi selanjutnya adalah Washington secara sepihak meringankan tekanan yang diberikannya terhadap negara itu.
Tidak lagi jelas bagi Korea Utara apakah opsi militer masih menjadi pilihan. Di saat Trump mengembangkan hubungan yang lebih ramah dengan Pemimpin Korea Utara, Washington tidak melakukan cukup banyak untuk mengisyaratkan tekad AS dalam mengecam atau menghentikan pelanggaran terburuk Kim.
Selain itu, dengan perang dagang yang terjadi antara China dan Amerika Serikat, Washington tidak dapat mengandalkan kerja sama Beijing dalam penegakan sanksi terhadap Pyongyang.
Terlepas dari pembicaraan Amerika Serikat tentang hubungan yang membaik dengan Korea Utara, perilaku negara ini hampir tidak berubah. Dan masih belum jelas apakah proses tersebut menghasilkan sesuatu yang berharga.
Pada akhirnya, kampanye tekanan maksimum terhadap Korea Utara tampaknya telah dihentikan terlalu cepat, untuk menghasilkan perubahan yang dicari Amerika Serikat terkait kebijakan nuklir negara itu.
Kebijakan terkait Iran yang dilakukan Amerika mengalami masalah yang berlawanan. Pada Mei 2018, Trump menarik Amerika Serikat dari perjanjian multilateral yang telah mengekang program nuklir Iran sejak diterapkan pada tahun 2016—dan bahkan sebelum itu, sejak Teheran sepakat untuk membatasi beberapa kegiatan nuklir selama perundingan tahun 2012-2015 yang mengarah pada kesepakatan nuklir.
Trump menganggap kesepakatan nuklir Iran tidak cukup bagus, dan menolak tawaran Eropa untuk memperbaikinya, untuk mengatasi area tambahan yang menjadi perhatian (termasuk program rudal Teheran dan kegiatan regionalnya, serta nasib program nuklir setelah berakhirnya ketentuan-ketentuan utama dalam perjanjian tersebut dalam beberapa tahun).
Pemerintah AS sejak saat itu telah menerapkan kembali sanksi terhadap Iran. Gedung Putih dan para pejabat kabinet telah melangkah lebih jauh dari pemerintahan sebelumnya dalam mengecam Iran di sejumlah forum nasional dan internasional, termasuk dengan memberikan peringatan kepada Iran sesaat setelah pelantikan.
Kampanye tekanan maksimum ini berupaya mengubah perilaku Iran di 12 area, mulai dari program nuklir dan rudal hingga kebijakan regional Iran.
Menteri Luar Negeri Amerika Serikat John Kerry, kiri, dan Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif bertemu di Wina, Austria pada 17 Mei 2016. (Foto: AFP/Leonhard Foeger)
Sementara kampanye tekanan terhadap Korea Utara terlalu minimal, Iran melihat kampanye terhadapnya sangat maksimal sehingga mereka kehilangan minat untuk bernegosiasi.
Cakupan kampanyenya terlalu luas, mencakup hampir semua aspek kebijakan luar negeri dan keamanan rezim Iran, dan tujuannya hampir tidak mungkin tercapai tanpa perubahan rezim. Kampanye itu juga terlalu sembarangan.
Sanksi-sanksi AS terhadap Iran mempengaruhi banyak masyarakat Iran secara umum, termasuk pasien medis, anak-anak, dan mahasiswa, yang tidak mampu membayar pengobatan atau melanjutkan studi mereka di luar negeri.
Untuk saat ini, Iran tampaknya telah membuat keputusan untuk menunggu pemerintahan Trump, dan tidak kembali ke meja perundingan sampai mereka memiliki kejelasan lebih lanjut tentang lintasan politik domestik AS dalam dua tahun ke depan.
Kampanye tekanan yang berhasil perlu memenuhi beberapa persyaratan. Itu akan bergantung pada tujuan yang jelas dan dapat dicapai untuk membantu mengatasinya, dan menghindari tujuan yang tidak realistis; termasuk pensinyalan yang sesuai atau kemampuan untuk mengkomunikasikan tujuan dan batasan kepada pihak lain; dan menyeimbangkan imbalan dan hukuman.
Yang terpenting, kampanye tekanan hanya akan efektif jika cukup waktu untuk melakukannya. Dengan kata lain, tidak ada kemenangan yang cepat dan mudah, seperti yang ditunjukkan oleh kasus Korea Utara. Dan upaya untuk mendapatkannya hanya akan membuat target-target semakin jauh untuk tercapai.
Ariane M. Tabatabai adalah ilmuwan politik dan peneliti di Rand Corp. Ia adalah salah satu penulis “Triple Axis: Iran’s Relations With Russia and China” dan penulis “No Conquest, No Defeat: Iran’s National Security Strategy.”
Keterangan foto utama: Presiden AS Donald Trump mendengarkan selama diskusi meja bundar di U.S. Customs and Border Protection National Targeting Center di Sterling, Virginia, pada 2 Februari 2018. (Foto: Getty Images/Andrew Harrer-Pool)