Anies Baswedan memicu spekulasi mengenai pencalonannya untuk kursi kepresidenan saat berpidato di acara reuni 212. Para analis menyatakan, dia sekarang menjadi pilihan favorit kalangan Islamis untuk Pilpres 2024, setelah Prabowo Subianto mengecewakan mereka dengan bergabung bersama kabinet Joko Widodo.
Gubernur Jakarta Anies Baswedan telah menyulut spekulasi pencalonannya di Pilpres 2024 saat berpidato di panggung reuni 212 pekan lalu pada Senin (2/12). Saat ia naik ke panggung, puluhan ribu kerumunan peserta reuni menyambutnya dengan bersorak “Presiden! Presiden!”, sementara pembawa acara reuni mengatakan “Indonesia akan berjaya, kalau Anies Baswedan pimpinannya”.
Kehadiran Anies Baswedan pada ulang tahun ketiga gerakan itu dan resepsi yang diterimanya mengejutkan, memicu kecurigaan bahwa dia sedang menghimpun dukungannya untuk Pilpres 2024. Para kritikus menilai dia mungkin akan bersedia untuk melepaskan citranya sebagai Muslim moderat demi mengamankan suara Islamis.
Di Indonesia, gelombang konservatisme yang meningkat di segala kelompok usia telah menyebabkan perpecahan yang semakin dalam di masyarakat.
Di satu sisi, ada orang-orang dari kepercayaan lain atau yang mendukung interpretasi Islam yang moderat dan toleran, sementara di sisi lain ada orang-orang yang menganut ideologi garis keras, bahkan sampai pada tingkat yang menyerukan pembentukan negara Islam.
Semakin banyak kelas menengah dan anak-anak muda yang merangkul gerakan sosial yang dikenal sebagai Hijrah―di mana mereka secara sadar mengubah cara-cara yang dipandang tidak Islami dengan kebiasaan yang lebih murni yang dianut oleh agama, termasuk mengenakan niqab untuk wanita, atau mengenakan cadar.
Politisi dan tokoh masyarakat harus memperhitungkan ulang posisi politik mereka untuk mengimbangi ini, di mana Presiden Joko Widodo memilih ulama Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dalam pilpres tahun ini.
Anies Baswedan sendiri telah menyoroti ini dalam makalahnya yang ditulis saat mengejar gelar PhD pada 2004, “tanah subur tersedia untuk partai-partai politik yang ramah Islam untuk menarik dukungan yang cukup besar dari pemilih Muslim”, dan tampaknya ia memanfaatkan sumber dukungan ini saat memperebutkan kursi gubernur pada 2017 melawan Ahok, menurut analisis Amy Chew di South China Morning Post.
Pada reuni 212, mengenakan seragam dinas coklatnya, Anies berdiri di antara lautan pria berpakaian putih. “Bangsa Indonesia, sering menarik perhatian dan sering kita sampaikan karena keberagamannya. Sesungguhnya yang unik pada Indonesia bukan hanya keberagamannya,” kata Anies kepada puluhan ribu orang yang berkumpul di Monumen Nasional Jakarta.
“Apa yang unik dari bangsa Indonesia dibandingkan yang lain? Keunikan kita adalah di sini ada persatuan Indonesia. Yang sesungguhnya hebat di Indonesia adalah di sini ada persatuan.”
Sementara pesannya disambut oleh para Islamis, kaum nasionalis langsung memprotes dan, pada Selasa (3/12), tagar #ShameOnYou4nies menjadi tren teratas di Twitter Indonesia.
“Anies menyebutkan Reuni 212 merupakan cermin dari “persatuan Indonesia”. Sodorin kaca yg besar buat Anda, Nies! Jangan bicara tentang persatuan Indonesia, jika bibit-bibit intoleransi masih ada di ibu kota,” kicau EasyPeasy @Dwiyana_DKM.
Sementara itu, anggota PDIP Eva Kusuma Sundari mempertanyakan mengapa Anies Baswedan menghadiri acara itu dengan mengenakan seragam pegawai negeri sipil. Dengan melakukan itu, dia menyarankan dia ada di sana dalam kapasitas resmi, padahal sebenarnya Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Tjahjo Kumolo telah melarang anggota dinas sipil untuk menghadiri rapat umum, dia menunjukkan.
Menurut Eva, walaupun Anies Baswedan memiliki “hak” untuk berada di rapat umum, namun langkahnya “disesalkan”.
“Dia ingin menjaga pasarnya… pasti ini untuk Pilpres 2024,” katanya kepada Antara.
Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan (tengah), memegang tangan ketua Partai Gerindra Prabowo Subianto (kanan) di Jakarta, pada tanggal 19 April 2017. (Foto: Reuters/Beawiharta)
Perkembangan itu membuat banyak orang bertanya-tanya bagaimana Anies Baswedan—mantan Menteri Pendidikan dan Rektor Universitas Paramadina, institusi yang dikenal mempromosikan Islam moderat—bisa menjadi kandidat harapan dari gerakan yang politik perpecahannya bertentangan dengan multikulturalisme di Indonesia.
Kelompok Islamis sebelumnya menaruh harapan mereka pada Prabowo Subianto. Namun, Prabowo meninggalkan mereka pada Oktober dengan bergabung dengan kabinet Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pertahanan.
Pada 2008, Foreign Policy menyebut Anies Baswedan―yang meraih gelar PhD dalam bidang Filsafat dari Northern Illinois University dan gelar master dalam Kebijakan Publik dari University of Maryland―sebagai salah satu dari 100 intelektual publik teratas di dunia.
Para analis sekarang menilai Anies Baswedan (50 tahun) sebagai harapan baru kelompok Islamis untuk menjadi Presiden Indonesia berikutnya.
“Kredensial Islamnya jauh lebih besar dari Prabowo,” ujar Dodi Ambardi, dosen di Departemen Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada (UGM), kepada South China Morning Post.
“Kelompok 212 selalu mencari kandidat presiden yang bisa memajukan agenda Islam mereka. Meskipun terkadang kandidat yang mereka dukung mungkin tidak memiliki kredensial Islam, seperti dalam kasus Prabowo,” ujar Dodi.
Dodi mengatakan, seandainya Anies memutuskan untuk mencalonkan diri sebagai presiden pada Pilpres 2024, ia dapat menerima dukungan besar dari gerakan 212.
“Tergantung pada apakah ada kandidat kompetitif lainnya. Untuk saat ini, saya pikir Anies adalah kandidat yang dianggap paling cocok oleh kelompok 212,” kata Ambardi.
Dilansir dari South China Morning Post, Arya Fernandes, peneliti di Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), mengingatkan bahwa Anies menghadapi persaingan yang kuat dari gubernur lain di pulau Jawa.
Untuk mencalonkan diri dalam pemilu, Anies pertama-tama harus didukung oleh partai politik.
Aleksius Jemadu, dosen di Universitas Pelita Harapan, memprediksi Anies akan menjadi pragmatis, dan menilai ia tidak mungkin menampilkan warna politiknya sampai menjelang Pilpres 2024. Anies akan menyadari partai-partai nasionalis dan sekuler menyumbang lebih dari 50 persen suara, katanya kepada South China Morning Post.
Dodi, dosen UGM, menggambarkan Anies sebagai “politisi serba bisa”.
“Anies berbicara kepada banyak kelompok―nasionalis, Islamis… maka dalam pernyataannya, kadang-kadang dia pro-Islamis, kadang-kadang dia pro-nasionalis,” imbuh Dodi.
Pada Agustus, Anies Baswedan mengatakan kepada Front Pembela Islam (FPI) untuk “tetap mempertahankan agama” selama pidato di perayaan ulang tahun ke-21 organisasi itu. FPI telah terlibat dalam tindakan penindasan, intimidasi, dan kekerasan massa terhadap agama minoritas, menurut Human Rights Watch.
Arya dari CSIS mengatakan, Anies adalah “orang yang terbuka dan moderat” tetapi dia dipengaruhi oleh kebijaksanaan politik. “Politik praktis mungkin telah membuatnya mengubah pilihan politiknya dan cara dia menjalankan politiknya, dengan mendekati 212, FPI, dan lainnya,” ujar Arya kepada South China Morning Post.
Gerakan 212 terdiri dari kelompok-kelompok Islam dengan berbagai tujuan. Menurut laporan 2018 oleh Institute for Policy Analysis of Conflict, gerakan ini terutama terdiri atas para aktivis pengikut Salafi dan tradisionalis konservatif.
Amy Chew memaparkan, para aktivis Salafi memiliki tujuan jangka panjang yang paling jelas diartikulasikan: peran publik yang lebih besar untuk ulama, kebijakan publik yang diilhami oleh syariah, pemerintahan mayoritas Muslim, dan kontrol Muslim atas ekonomi. Mereka berhati-hati untuk tetap berada dalam batas politik, dan menghindari seruan untuk penerapan formal hukum Islam atau pembentukan negara Islam.
Kaum tradisionalis konservatif diwakili oleh FPI. Mereka memiliki basis massa dan kapasitas mobilisasi yang tidak dimiliki Salafi, yang memungkinkan mereka untuk membangun aliansi taktis untuk keuntungan timbal balik jangka pendek dengan para kandidat politik, terlepas dari reputasi premanisme mereka.
Arya dari CSIS mengatakan, pengaruh politik dari gerakan 212 telah melemah seiring banyak di antara mereka yang bergabung dengan demonstrasi awal untuk melawan Ahok kadang-kadang tidak setuju dengan pilihan kandidat politiknya.
Setelah pemenjaraan Ahok, banyak partisipan gerakan 212 menganggap misi mereka telah terpenuhi. “Gerakan 212 sekarang terkonsentrasi hanya di beberapa kota. Pengaruhnya dalam Pilpres 2024 tidak akan sebesar itu, jadi jangan lihat 212 sebagai variabel utama untuk kemenangan,” tandas Arya kepada South China Morning Post.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Gubernur Jakarta Anies Baswedan saat upacara pelantikan di Istana Presiden di Jakarta, 16 Oktober 2017. (Foto: Reuters/Beawiharta)
Anies Baswedan, Harapan Baru Kelompok Islamis untuk Pilpres 2024?