Indonesia masih kerap menghadapi masalah dan tantangan di Laut Natuna. Penangkapan ikan secara ilegal, termasuk oleh kapal-kapal China, salah satunya.
Beberapa hari sebelum Natal tahun lalu, video yang direkam nelayan Indonesia lewat ponselnya di Laut Natuna menunjukkan kapal-kapal China yang menangkap ikan di zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia. Kapal-kapal itu juga terlihat dikawal oleh Penjaga Pantai China. Sesaat setelah diunggah ke media sosial, rekaman itu langsung viral, yang menyebabkan kegemparan nasional.
Herman, nelayan Natuna, mengeluh saat diwawancarai salah satu stasiun televisi.
“Saat tidak ada patroli malam dari angkatan laut Indonesia, kapal penangkap ikan asing masuk (perairan Indonesia) dan menangkap ikan dengan pukat.”
“Kami mengkonfrontasi mereka. Kami menunjukkan kepada mereka peta yang kami dapatkan dari angkatan laut,” ujar Herman, namun menambahkan dia dan nelayan-nelayan lain sering dikejar oleh kapal penjaga pantai China yang menemani kapal pukat itu.
Dalam beberapa tahun terakhir, kapal-kapal Vietnam dan China yang melakukan IUU fishing (penangkapan ikan ilegal, tidak dilaporkan, dan tidak diatur) di perairan Indonesia telah disita. Kapal-kapal itu termasuk Hua Li 8, Gui Bei Yu 27088, Fu Yuan Yu 831, dan tiga kapal Vietnam yang ditangkap awal tahun ini di Laut Natuna.
“Dengan melanggar ZEE kami dan menangkap ikan di sana, kapal-kapal China melakukan IUU fishing,” tutur Mas Achmad Santosa, mantan kepala satuan tugas penangkapan ikan ilegal Indonesia (Satgas 115), dikutip dari The Diplomat.
Setelah pertemuan dengan pemerintah Indonesia, Duta Besar China Xiao Qian mengakui kapal China telah memasuki perairan Indonesia pada Desember.
Peristiwa itu terjadi hanya dua bulan setelah Edhy Prabowo mengambil alih kepemimpinan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dari Susi Pudjiastuti. Mantan menteri itu memiliki reputasi karena pengawasannya yang ketat terhadap nelayan ilegal dan penenggelaman kapal-kapal asing yang dia sita.
Laporan tahun 2018 menemukan, ada penurunan lebih dari 80 persen pada kehadiran kapal asing yang menangkap ikan di perairan Indonesia. Laporan itu juga menunjukkan adanya peningkatan tangkapan oleh nelayan Indonesia. Masih belum diketahui apakah penangkapan ikan ilegal meningkat dengan bergantinya menteri KKP.
Sengketa Laut Natuna
Indonesia membagi perairannya menjadi 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP). Laut Natuna, atau WPP 711, meliputi perairan di sekitar Kepulauan Natuna di Indonesia. Wilayah ini terletak di ujung barat provinsi Kalimantan Barat, tetapi secara administratif, Kepulauan Natuna itu adalah kabupaten di bawah provinsi Kepulauan Riau.
Di bawah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS), Indonesia mengklaim ZEE sepanjang 200 mil laut, termasuk hak penangkapan ikan eksklusif, di sekitar Natuna.
China, yang juga merupakan salah satu pihak yang terlibat dalam UNCLOS, diharapkan dapat mematuhi hukum ini.
Novi Basuki, mahasiswa doktoral Indonesia dari Universitas Sun Yat-Sen, mengatakan, “Masalahnya adalah China berpendapat mereka memiliki ‘hak menangkap ikan tradisional’ di sana. Akhir-akhir ini, mereka juga menyebutkan ‘hak maritim,’ meskipun mereka tidak pernah merinci apa hal-hal ini,” dilansir dari The Diplomat.
Sementara itu, pemerintah Indonesia menentang argumen-argumen itu.
“Klaim China atas ZEE Indonesia dengan alasan para nelayannya telah lama aktif menangkap ikan di sana, tidak memiliki dasar hukum dan tidak pernah diakui oleh UNCLOS 1982,” jelas Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam pernyataannya pada Januari 2020.
Indonesia juga secara resmi telah mengajukan pengaduan terhadap pelanggaran di Natuna. China kemudian mengundang Indonesia untuk berdialog dan menyelesaikan perselisihan, tetapi Menteri Luar Negeri China Geng Shuang tetap tegas menekankan China memiliki “hak historis di Laut China Selatan.” (Laut Natuna Utara berada di bagian paling selatan dari Laut China Selatan).
Pulau Sanua di Natuna, Indonesia. (Foto: Getty Images/Ulet Ifansasti)
Efek pada Stok Ikan
Menurut Kementerian Perikanan dan Kelautan, potensi tangkapan ikan di Laut Natuna adalah sekitar 961.145 ton. Total tangkapan yang diperbolehkan adalah 768.916 ton (berdasarkan studi 2018). Tangkapan pada 2019 diperkirakan 755.306 ton, meskipun ini tidak termasuk penangkapan ikan ilegal.
Ahli lingkungan perairan dan sumber daya perikanan Dr. Yonvitner, dari Institut Pertanian Bogor (IPB), menganggap penangkapan ikan ilegal di Natuna bukan ancaman besar untuk stok ikan Indonesia, karena “sebagian besar ikan di ZEE itu adalah spesies bermigrasi tinggi yang lintas batas, seperti tuna cakalang, makarel, lemadang (mahi-mahi), dorado, dan paus di Indonesia selatan.”
Namun, Yonvitner mengatakan, meskipun penangkapan ikan ilegal di ZEE Indonesia akan berdampak kecil pada stok ikan negara ini, insiden lanjutan dari penangkapan ikan ilegal di ZEE akan mengintimidasi nelayan Indonesia. Hal itu akan mempersempit daerah penangkapan ikan mereka dan hanya memungkinkan mereka untuk menangkap ikan di dekat garis pantai.
Perdagangan dengan China
Meskipun ada ketegangan di Natuna, kedua negara berhati-hati untuk memastikan perdagangan bilateral tidak terpengaruh. China adalah sumber investasi terbesar kedua di Indonesia pada 2019.
“Hubungan Indonesia dengan China telah meningkat, terutama dalam investasi infrastruktur, selama pemerintahan Jokowi,” ucap Basuki kepada The Diplomat.
Yonvitner juga mengingatkan, dalam hubungan dengan China, “Kita harus menjaga keseimbangan, kita harus tetap memiliki akses ke pasar mereka.”
Dalam pertemuan November dengan Menteri Edhy Prabowo, Duta Besar China Xiao Qian mencatat “sumber daya yang melimpah” di Indonesia dan menawarkan “pasar besar” China untuk produk perikanan Indonesia.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), LSM yang mengadvokasi perlindungan dan kesejahteraan para nelayan dan masyarakat pesisir, mencatat impor perikanan Indonesia dari China sebesar US$71,6 juta (Rp1 triliun), atau 25 persen dari total nilai impor perikanan negara, pada 2018.
Susan Herawati, Sekretaris Jenderal KIARA, menyebutkan total impor Indonesia dari China pada periode antara 2014 hingga 2019 mencatat tren peningkatan 2 persen, yang dimulai dari administrasi menteri sebelumnya.
Dia menambahkan, Menteri Edhy Prabowo belum mengajukan rencana progresif untuk melindungi sumber daya laut Indonesia.
“Hubungan perdagangan dan investasi kami dari China tidak didasarkan pada kesetaraan. Namun, pemerintah seharusnya tidak melihat hubungan perdagangan sebagai hambatan untuk melindungi kedaulatan laut kita,” tegasnya, dikutip dari The Diplomat.
Herawati menyampaikan keprihatinannya kepada menteri sebelumnya dan saat ini. Meskipun kuat dalam penegakan hukum, Susi Pudjiastuti memungkinkan impor perikanan Indonesia dari China melambung.
Namun, di sisi lain, “Menteri Edhy Prabowo telah menunjukkan kelemahan terhadap investor dan masih terus meningkatkan impor. Ia juga lemah dalam penegakan hukum, seperti langkahnya untuk menggabungkan Satgas 115 dengan Kementerian (Kelautan dan Perikanan),” tuturnya.
Jalan lurus
Dilansir dari The Diplomat, dalam pertemuan baru-baru ini dengan Santosa, mantan kepala Satgas 115, Menteri Edhy Prabowo menyebutkan Indonesia sedang “meningkatkan patroli, dan itu berarti akan ada lebih banyak anggaran yang dialokasikan, terutama untuk bahan bakar.”
Melalui organisasinya yang baru didirikan, Indonesian Ocean Justice Initiative, Santosa mengadvokasi peran yang lebih kuat dari penjaga pantai Indonesia, yang dikenal sebagai Bakamla (Badan Keamanan Laut).
Ia menyarankan Bakamla untuk melakukan patroli yang lebih teratur dan dikombinasikan dengan patroli udara. Banyak staf di organisasi baru itu sebelumnya bekerja untuk satgas 115.
“Bakamla perlu meningkatkan teknologinya untuk mendeteksi kapal penangkap ikan ilegal, ini harus menjadi prioritas. Teknologi mereka cukup canggih, tetapi perlu ditingkatkan,” ujarnya, dikutip dari The Diplomat.
“Penjaga Pantai China memiliki armada keamanan laut yang terbesar di dunia. Armada mereka terdiri dari sekitar 1.300 kapal dan kapal terbesar mereka dapat mencapai 12.000 GT,” ujarnya.
Selain itu, menurut Santosa, nelayan Indonesia perlu aktif di seluruh perairan, sampai ke perbatasan paling utara, untuk mencegah IUU fishing. Yang tidak kalah penting, “upaya penangkapan ikan ini perlu didukung oleh penegakan hukum kita demi melindungi hak-hak kedaulatan,” tandas Santosa.
Pada 2019, Indonesia memiliki 81.614 kapal penangkap ikan terdaftar secara total (termasuk kapal-kapal kecil).
China juga akan mengubah UU Perikanan mereka tahun ini, yang akan mewajibkan kapal penangkap ikan di laut yang jauh untuk mematuhi aturan pemantauan kapal yang lebih ketat, dan melarang mereka terlibat dalam IUU fishing.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Pasukan Indonesia menangkap sebuah kapal penangkap ikan China di Laut Natuna, pada 21 Juni 2016. (Foto: AFP/Angkatan Laut Indonesia)