Wabah virus corona (yang pertama kali terdeteksi di Wuhan, China) memiliki dampak politik yang semakin meningkat di negara-negara tetangga. Dan tampaknya, Korea Selatan tengah kehilangan kendali atas wabah mematikan ini.
Di Jepang, Perdana Menteri Shinzo Abe telah dikritik karena penanganan pemerintahnya terhadap virus yang mewabah di kapal pesiar Diamond Princess. Kapal pesiar itu mengakibatkan setidaknya enam korban meninggal dan tujuh ratus terinfeksi.
Sedangkan di Korea Selatan, yang telah melaporkan 35 kematian dan lebih dari 5.600 infeksi (jumlah tertinggi setelah China), virus ini mengancam kepresidenan Moon Jae-in.
Ini penting karena siapa Moon dan apa arti kepresidenannya bagi warga Korea Selatan.
Pada 2017, Moon (mantan pengacara hak asasi manusia dan kandidat Partai Demokrat) terpilih dalam pemilu darurat menyusul pemakzulan dan pemecatan Presiden Park Geun-hye, konservatif yang sekarang menjalani hukuman penjara 25 tahun karena korupsi.
Kemarahan publik (yang memuncak dalam protes jalanan besar-besaran oleh jutaan warga Korea) berakar pada tenggelamnya kapal feri MV Sewol pada 2014, di mana hampir 310 remaja tenggelam. Kecelakaan itu mengungkapkan kegagalan mendasar dalam sistem pemerintahan Korea, dan pengabaian oleh kepala negara, yang absen sesaat setelah tragedi itu.
Majelis Nasional kemudian mengadakan sidang dengar pendapat untuk menyelidiki keberadaan Presiden Park selama apa yang mereka sebut sebagai “kesempatan emas” ketika nyawa mungkin dapat diselamatkan.
Selama kampanyenya, Moon berjanji seorang Presiden dan Gedung Biru harus berfungsi sebagai “menara kendali” selama bencana nasional. Janji itu sekarang menghantui kepresidenannya.
Pada 26 Januari, tiga hari setelah China menutup Wuhan, Asosiasi Medis Korea, asosiasi dokter terbesar di negara itu, mendesak pemerintah untuk sementara waktu melarang masuknya semua pelancong yang datang dari China daratan. Pemerintahan Moon tidak mengindahkan peringatan itu. Sebaliknya, ia menyumbangkan satu setengah juta masker ke China.
Seorang pria menutupi wajahnya dengan bekas galon air untuk melindungi diri dari paparan virus corona. (Foto: Bored Panda/Tempo.co)
Pembela Moon membenarkan keputusannya, karena Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak merekomendasikan larangan perjalanan untuk pencegahan virus. Namun, Dr. Choi Jae-wook, profesor kedokteran di Universitas Koryo, mengatakan negara-negara harus beradaptasi saat menghadapi potensi wabah.
“Di Korea Selatan, ada kurang dari sepuluh yang terinfeksi pada saat itu, dan mereka semua datang dari China,” ujar Dr. Choi, dikutip dari The New Yorker. “Pada saat itu, ada tujuh puluh ribu orang yang datang dari China per hari. Para petugas memeriksa tanda-tanda demam di bandara, tetapi banyak yang belum menunjukkan gejala. Prioritas utama untuk penyakit menular adalah menghentikan penularan, dan solusi paling mendasar dalam kasus ini adalah pembatasan.”
Empat hari kemudian, pada 30 Januari, WHO mengumumkan darurat kesehatan global, dan beberapa negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia, memberlakukan larangan sementara bagi para pelancong dari China.
Negara-negara terdekat lainnya, termasuk Rusia, Mongolia, Kazakhstan, Vietnam, Taiwan, Filipina, dan Singapura, juga langsung memberlakukan larangan. Sampai hari ini, lebih dari tujuh puluh negara yang telah memberlakukan larangan sementara.
Pada 4 Februari, lima hari setelah WHO mengumumkan keadaan darurat, Korea Selatan memberlakukan larangan terbatas, yang melarang masuknya orang asing yang telah mengunjungi Provinsi Hubei China dalam dua minggu sebelumnya. Pengkritik Moon mengklaim langkah terbatas itu sebagai isyarat kosong untuk menenangkan warga Korea yang menuntut larangan penuh.
Pada 13 Februari, ketika jumlah resmi infeksi di China mendekati enam puluh ribu, Moon mengumumkan virus itu telah terbendung di Korea Selatan dan memperkirakan itu akan “menghilang segera”. Dia mendesak warga Korea untuk kembali menjalani aktivitas seperti biasa.
Seminggu kemudian, pada 20 Februari, dalam panggilan telepon selama tiga puluh menit dengan Xi, Moon menjanjikan dukungan Korea Selatan untuk perjuangan China dalam melawan virus corona, dengan mengatakan “kesulitan China adalah kesulitan kami juga”.
Pada saat yang sama, Moon dan istrinya mengadakan pesta chapaguri (kombinasi mie instan dan daging yang dipopulerkan oleh film Parasite) di Blue House untuk sutradara dan pemeran film. Foto-foto perayaan itu beredar luas di media sosial. Pada sore itu, jumlah infeksi di Korea Selatan telah bertambah dua kali lipat dari 51 menjadi 104, dan kematian terkait covid-19 pertama di negara itu dilaporkan.
Pada 23 Februari, Moon akhirnya meningkatkan peringatan virus corona ke tingkat tertinggi dan mendeklarasikan isolasi kota dan provinsi yang terkena dampak. Namun, virus tersebut telah menyebar ke seluruh negara.
Dalam pidatonya, Moon menyalahkan wabah di Korea Selatan disebabkan oleh anggota Gereja Shincheonji, kelompok agama yang secara luas dianggap sebagai aliran sesat. Lebih dari setengah jemaah gereja itu terinfeksi covid-19.
“Infeksi pada pengikut Shincheonji terjadi dalam skala besar, dan membuat situasi berubah banyak,” ujar Moon dalam pidatonya yang dikutip The New Yorker.
Tiga tahun setelah Moon berkampanye dengan janji akan memerintah lebih efektif daripada pendahulunya selama keadaan darurat, respons petahana tersebut terhadap bencana virus kali ini mirip dengan pendahulunya.
Setelah bencana feri, Park menyalahkan tragedi itu pada pemilik kapal, yang merupakan pendiri suatu kelompok agama yang dianggap sesat. Setelah pemerintahan Park mengeluarkan surat perintah untuk menangkap pemilik feri, ia bersembunyi. Akhirnya, dia ditemukan tewas bunuh diri.
Pada 1 Maret, Wali Kota Seoul, yang merupakan anggota Partai Demokrat, sama seperti Moon, meminta jaksa penuntut untuk mendakwa Lee Man-hee, pendiri Gereja Shincheonji, dan para pemimpin kelompok itu, atas pembunuhan karena dugaan peran mereka dalam penyebaran covid-19. Sore itu, Lee mengadakan konferensi pers, berlutut, membungkuk dua kali, dan meminta maaf atas peran kelompok itu dalam wabah, yang katanya tidak disengaja.
Pada April, Moon akan menghadapi pemilu paruh waktu, di mana Partai Demokrat berharap untuk mempertahankan mayoritasnya di parlemen. Para pemimpin oposisi tampaknya akan menjadikan tanggapan presiden saat wabah ini sebagai isu utama kampanye.
“Pemerintah ini melewatkan kesempatan emasnya,” ujar Ha, anggota Majelis Nasional konservatif, kepada The New Yorker, merujuk pada hari-hari awal krisis. “Mereka seharusnya melarang masuk orang yang datang dari China dan lebih waspada pada tanda-tanda awal wabah.”
Mengutip jumlah diagnosis covid-19 di Korea Selatan, 95 negara (termasuk China dan Jepang) sekarang melarang atau membatasi masuknya orang dari Korea Selatan.
Bahkan sebelum wabah, popularitas Moon yang dulu luar biasa telah menurun secara signifikan selama setahun terakhir, dan dia telah kesulitan untuk mewujudkan salah satu tujuan utamanya: perdamaian dengan Korea Utara.
Enam minggu setelah wabah dimulai, hampir 1,5 juta warga Korea telah menandatangani petisi yang menuntut pemakzulan Moon.
Selama pemakzulan Presiden Park, yang masih menjadi pertanyaan sampai sekarang adalah di mana dia berada beberapa jam setelah kapal feri itu tenggelam.
Kali ini, tidak ada misteri mengenai apa yang dilakukan Presiden Moon ketika kematian terkait covid-19 pertama terjadi: ia mengadakan pesta chapaguri bersama para selebritas.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Hewan peliharaan Moon Jae-in, Gomi, salah satu dari dua anjing Pungsan yang diberikan oleh Kim Jong Un. (Foto: EPA-EFE/Yonhap)
Bagaimana Korea Selatan Kehilangan Kendali atas Wabah Virus Corona