Kini, untuk ketiga kalinya, warga Indonesia menghadapi titik kritis di tengah beberapa krisis yang terus menghantam sejak 1965.
Will Doran, peneliti independen urusan Asia Tenggara yang bermukim di Jakarta menulis di The Diplomat, 2020 mungkin menjadi ketiga kalinya Indonesia mengalami “kehidupan yang berbahaya.” Ungkapan ini sendiri populer sejak Christoper Koch membikin novel “Across the Sea Wall” (1982) yang lantas diekranisasi dalam film yang dibintangi Mel Gibson muda.
Kisah tersebut menampilkan sekelompok koresponden asing, diplomat, dan mata-mata potensial jelang Gerakan 30 September 1965 berangsur-angsur terungkap. Pada scene nyaris terakhir, Gibson diperlihatkan tengah mendengarkan siaran dan mendengar berita pengambilalihan militer. Dia akhirnya meninggalkan negara itu dengan hiruk pikuk.
Saat ini, di Jakarta dan tempat lain di seluruh negeri, orang asing melakukan hal yang sama. Namun, kali ini bukan karena kudeta angkatan bersenjata dan pembantaian massal negara, tetapi karena pandemi global.
Tahun “berbahaya” kedua adalah 1997-1998, yang menandai lengsernya pemerintahan Soeharto, awal Reformasi, dan era baru demokrasi di Indonesia.
Sekarang, Indonesia sedang mengalami “tahun hidup ketiga yang berbahaya”. Itu dimulai dengan kerusuhan dan protes setelah pemilihan presiden pada Mei 2019, diikuti oleh lebih banyak kerusuhan dan protes mengenai amandemen KUHP, revisi RUU Anti-Korupsi, RUU Tanah, dan RUU Penahanan. Tahun ini jadi kian parah karena Indonesia tergopoh-gopoh dihajar virus corona sampai babak belur.
Ungkapan “tahun kehidupan yang berbahaya” dipopulerkan oleh Sukarno pada 1964, dalam orasinya yang ceria dan flamboyan. Dia sering memberi judul untuk setiap pidato kenegaraan di negara bagiannya, dan pada 17 Agustus 1964 dia memilih judul “Tahun vivere pericoloso,” mengambil inspirasi dari frasa Italia, yang bermakna ‘hidup dalam bahaya’.
Pidato Soekarno pada peringatan 19 tahun kemerdekaan Indonesia bukanlah hiperbola, berkenaan dengan tahun yang akan datang. Saat itu Indonesia benar-benar mengalami masa rentan, karena memiliki tingkat pertumbuhan negatif (inflasi lebih dari 600 persen), hampir tidak ada cadangan devisa, dan terjerat utang nasional lebih dari US$2 miliar. Kebutuhan dasar seperti persediaan makanan dan listrik tidak menentu setiap hari. Bagian dari alasan mengapa hal-hal begitu mengerikan adalah karena Sukarno lebih fokus pada menghancurkan negara tetangga, Malaysia. Ia melihat Malaysia sebagai negara neokolonial Inggris, yang justru menghambat ekonomi Indonesia. Puncak ‘kegilaan’ Soekarno terkait ini adalah hengkang dari PBB.
Itu menurut Doran hanyalah penumpukan ke tahun berbahaya di Indonesia. Peristiwa yang terjadi selanjutnya bahkan lebih buruk. Mulai Oktober 1965, 500 ribu hingga satu juta warga negara Indonesia dibantai oleh gabungan militer, regu kematian, dan warga sipil. Satu juta lagi ditahan secara sewenang-wenang. Banyak yang disiksa dan distigmatisasi selama sisa hidup mereka sebagai seorang PKI. Ini bukan hanya “tahun hidup berbahaya” di Indonesia. Itu mungkin tahun paling berbahaya yang pernah dialami negeri ini.
Masa kehidupan selanjutnya yang berbahaya terjadi setelah krisis keuangan Asia 1997. Di masa kekuasaan Soeharto, ekonomi sekilas memang menunjukkan perbaikan. Kemiskinan telah berkurang, layanan kesehatan dan pendidikan dasar menjadi lebih mudah diakses. Pada 1969, inflasi bisa ditekan hingga satu digit. Pengembangan industri negara, yaitu minyak dan bahan baku, menyebabkan ledakan ekonomi dan stabilisasi. Seperti yang dikatakan oleh seorang pakar, Indonesia di bawah Suharto adalah bukti, “tidak semua rezim yang lahir dari laras senjata itu jahat.”
Demonstrasi dekat kompleks Gedung DPR/MPR Indonesia di Jakarta, Jumat, 27 September 2019. (Foto: Getty Images/Ed Wray)
Semua ini bukan untuk mengatakan Indonesia sempurna pada masa pemerintahan Suharto. Ada masalah besar dalam rezim Orde Baru, termasuk korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan pemerintahan militer yang sewenang-wenang. Namun,kondisi benar-benar berantakan pada 1997 usai krisis moneter menghantam Asia. Ekonomi Indonesia runtuh, dengan rupiah Indonesia kehilangan 30 persen dari nilainya. Negara ini sekali lagi bangkrut, pengangguran meningkat secara dramatis, dan penduduk Indonesia mulai rusuh di jalanan.
Kekacauan pun terjadi dan lebih dari 1.000 warga sipil terbunuh, para siswa menghilang, perkosaan dan serangan seksual pun merajalela. Kelompok sasaran utama, etnis Tionghoa Indonesia, yang memiliki rumah dan bisnis dibakar. Banyak yang terpaksa meninggalkan negara itu. Suharto, yang sangat membutuhkan dukungan ekonomi, meminta bantuan Dana Moneter Internasional (IMF). Pada akhirnya, setelah semua kekerasan dan kekacauan, Suharto mengundurkan diri pada Mei 1998. Indonesia sekarang akan memasuki era reformasi dan desentralisasi demokratis yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Sekarang sekali lagi, Indonesia berada di tengah “tahun kehidupan yang berbahaya.” Masalah dimulai dengan protes massa pada Mei 2019 atas hasil pemilihan presiden. Protes terjadi lagi akhir tahun itu ketika kemarahan publik meletus lantaran Parlemen merevisi RUU KUHP, termasuk melarang hubungan seks konsensual antara pasangan yang belum menikah dan membungkam kritik terhadap presiden. Kemudian muncul hal lain yang membuat tahun berbahaya ini lebih unik dibandingkan dengan pertengahan 1960-an dan akhir 90-an: virus corona.
Sementara beberapa pemerintah telah terbukti lebih mahir dalam menangani bencana ini, pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo tampaknya telah salah menangani pandemi sejak awal. Para peneliti skeptis selama berbulan-bulan karena Indonesia melaporkan tidak ada kasus COVID-19, penyakit yang disebabkan oleh virus, terutama karena kota-kota Indonesia memiliki penerbangan langsung setiap hari ke Wuhan, hCina, tempat virus pertama kali ditemukan. Hanya pada 23 Januari, Departemen Perhubungan menunda penerbangan.
Sebulan berselang, Menteri Kesehatan Jokowi Terawan Agus Putranto mengatakan kepada orang Indonesia untuk “tidak khawatir, menikmati, dan mengonsumsi makanan yang cukup.” Belakangan di bulan itu, ia menyatakan ada alasan sederhana kenapa infeksi corona tak terjadi di dalam negeri: kekuatan doa.
Jokowi sendiri kemudian mengakui ada transparansi yang minim, dengan menyampaikan informasi virus kepada publik.
Sekarang, dengan kekurangan pasokan pengujian, ventilator, dan tenaga kerja untuk membantu memerangi penyebaran COVID-19, orang Indonesia di seluruh negeri khawatir tentang apa yang akan terjadi. Pada 6 April, ada hampir 2.500 kasus yang tercatat, dengan 209 kematian, meskipun banyak yang mempertanyakan validitas angka-angka ini. Satu studi penelitian menunjukkan, angka yang dilaporkan hanya dapat menjelaskan 2 persen dari infeksi nyata di Indonesia.
Selain tidak ada penguncian resmi yang dikeluarkan hingga tulisan ini diturunkan, momentum mudik 20 juta orang juga turut menambah kekhawatiran soal dampak yang lebih serius. Imbasnya, dengan banyak pekerjaan yang dipotong dan bisnis tutup, pekerja informal kehilangan mata pencaharian, maka orang Indonesia sekali lagi hidup dalam bahaya.
Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Lebih dari setengah juta warga Indonesia kemungkinan besar sudah melakukan kontak langsung dengan penderita corona. (Foto: EPA EFE)
Balada Menjadi Warga Indonesia: Hidup Berbahaya Sekali Lagi