UU Penistaan Agama
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Bebasnya BTP Kembali Soroti Penggunaan UU Penistaan Agama di Indonesia

Berita Internasional > Bebasnya BTP Kembali Soroti Penggunaan UU Penistaan Agama di Indonesia

Dipenjaranya Basuki Tjahaja Purnama atas kasus penistaan agama bisa dibilang telah mengubah wajah politik Indonesia. Kini, pria yang minta dipanggil BTP itu telah bebas, setelah mendekam di penjara selama hampir dua tahun. Bebasnya BTP kembali menyoroti UU Penistaan Agama di Indonesia dan bagaimana hal itu sering disalahgunakan.

Baca Juga: Ahok Kedua: Politikus Grace Natalie Berisiko Hadapi Gugatan Penistaan Agama

Oleh: Eva Mazrieva (VOA News)

Pembebasan Basuki Tjahaja Purnama, mantan Gubernur Jakarta, setelah menjalani sebagian besar dari hukuman dua tahun karena kasus penistaan agama, kembali memfokuskan perhatian pada undang-undang penistaan agama. BTP, politisi keturunan China Kristen di negara mayoritas Muslim, dinyatakan bersalah atas kasus penistaan agama oleh Pengadilan Negeri Jakarta Utara pada tanggal 9 Mei 2017, sebulan setelah kalah dalam Pilkada Jakarta 2017 atas Anies Baswedan, yang didukung kelompok Islam garis keras.

Jabatan Gubernur Jakarta sendiri secara luas dipandang sebagai batu loncatan ke posisi kepemimpinan nasional yang lebih tinggi. Presiden Indonesia saat ini, Joko “Jokowi” Widodo, menjabat sebagai Gubernur Jakarta sebelum BTP.

Kampanye BTP untuk masa jabatan kedua pada pilkada 2017 telah menyalakan debat penistaan agama yang menyoroti ketegangan agama di Indonesia sebagai negara Muslim terpadat di dunia, seperti halnya pemilihan ulama senior Islam Maruf Amin sebagai cawapres Jokowi dalam Pilpres 2019.

Lawan Jokowi, jenderal purnawirawan Prabowo Subianto, menekankan hubungannya dengan kelompok Islamis menjelang pemilu.

Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama, yang pernah dikenal sebagai Ahok, menandatangani beberapa dokumen sebelum dibebaskan dari Mako Brimob, Depok, Indonesia, 24 Januari 2019. (Foto: Tim BTP)

Awal masalah

Masalah BTP dimulai pada saat kampanye Pilkada, tanggal 27 September 2016, ketika dia mengatakan dalam pidatonya bahwa orang Islam tidak boleh memilih pemimpin non-Muslim. Video yang berisi ujarannya tersebut muncul di media sosial, diedit untuk menunjukkan bahwa BTP menghina Alquran, yang kemudian memicu protes jalanan besar-besaran oleh para fundamentalis Islam.

BTP kalah dalam pemungutan suara bulan April 2017 dari Anies Baswedan. Setelah disidang, BTP dinyatakan bersalah pada tanggal 9 Mei 2017. Tanggal 14 November 2014, pengadilan negeri di Jawa Barat memutuskan Buni Yani bersalah karena telah mengedit pernyataan Ahok dan menjatuhkan hukuman satu setengah tahun penjara. Buni Yani hingga kini belum dipenjara dan sedang menjadi bagian dari tim kampanye Prabowo, menurut The Washington Post.

Baca Juga: UU Kontroversial Indonesia Tentang Penistaan Agama Makan Korban Lain

“Undang-undang Dasar 1945 Indonesia secara eksplisit menjamin kebebasan beragama, seperti halnya Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik, di mana Indonesia menjadi salah satu pihak penandatangan,” menurut artikel Human Rights Watch (HRW) 2018. “Namun, pemerintah Indonesia telah lama memberlakukan, dan dalam beberapa tahun terakhir ini memperkuat, undang-undang dan peraturan yang telah menjadikan agama-agama minoritas terkena diskriminasi resmi. Tindakan ini telah membuat kelompok minoritas sangat rentan terhadap persekusi anggota masyarakat dari kelompok mayoritas,” menurut artikel itu.

Pendukung Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama yang dipenjara karena melakukan penistaan terhadap agama Islam meneriakkan slogan-slogan selama protes di luar Pengadilan Tinggi di Jakarta, Indonesia, 16 Mei 2017. (Foto: AP)

Undang-undang Penistaan Agama

Penistaan agama didefinisikan dalam Pasal 156a KUHP Indonesia 1965 sebagai “tindakan kekerasan atau penodaan terhadap agama yang dianut di Indonesia” ketika tindakan tersebut dilakukan dengan “niat untuk mencegah seseorang untuk mematuhi agama apa pun berdasarkan kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Kuasa,” menurut tulisan Rafiqa Qurrata A’yun, seorang dosen di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di Inside Indonesia.

Baca Juga: Bagaimana Islam Politik Berdampak pada Hubungan Indonesia-Australia

Singkatnya, berada di luar agama resmi yang diakui di Indonesia, yakni Buddha, Katolik, Konfusianisme, Hindu, Protestan, dan Islam, dapat berarti lima tahu hukuman penjara. Pada faktanya, semua kasus penistaan melibatkan Islam.

Meiliana, seorang keturunan China Buddha berusia 44 tahun, duduk di ruang sidang untuk tuduhan penistaan agama, di Medan, Sumatra, Indonesia, 21 Agustus 2018. (Foto: Reuters/Antara Foto/Irsan Mulyadi)

Di antara banyak minoritas itu, selain BTP, orang yang paling menarik perhatian adalah Meiliana, seorang keturunan Buddha China yang berusia 44 tahun, yang dinyatakan bersalah menghina Islam setelah meminta masjid di lingkungannya pada tahun 2016 untuk menurunkan volume pengeras suara azan. Meiliana mengatakan suara itu telah menyakiti telinganya.

Menanggapi permintaan Meiliana untuk azan yang lebih pelan, massa kemudian menggeledah setidaknya 14 kuil Buddha di Tanjung Balai, Sumatera Utara, ketika etnis China meninggalkan daerah tersebut. Meilana dijatuhi hukuman penjara selama 18 bulan.

Kasus-kasus lain termasuk pemecatan pada bulan Juli oleh Mahkamah Agung tentang tantangan terhadap penodaan agama oleh sembilan anggota minoritas agama Ahmadiyah yang “yang menyerukan penghapusan undang-undang dengan dasar bahwa hal itu memicu diskriminasi dan kekerasan terhadap kelompok agama minoritas,” menurut HRW .

Sekte Ahmadiyah didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad lebih dari seabad yang lalu di tempat yang sekarang menjadi bagian India di Punjab. Dia mengaku sebagai penjelmaan Mesiah yang dijanjikan dalam teks-teks suci Islam. Kepercayaan itu menantang keyakinan arus utama Muslim bahwa Nabi Muhammad adalah nabi terakhir dalam agama Islam.

Awal tahun 2018, Asosiasi Gereja Jayapura, di ibu kota Provinsi Papua, Indonesia, mengeluarkan ultimatum secara gamblang kepada pemerintah kota: Membongkar menara masjid Al-Aqsa di kota itu dalam waktu 14 hari atau kelompok itu akan “mengambil tindakan sendiri yang mereka perlukan.” Namun, kelompok tersebut tidak mengambil tindakan setelah dua minggu berlalu.

Baca Juga: Google Bantu Muslim Fundamentalist Jerat Para ‘Penista Agama’

Tanggal 19 Mei 2018, para militan Islam menyerang dan merusak delapan rumah Ahmadiyah di Pulau Lombok, memaksa 24 orang dari tujuh keluarga mengungsi ke kantor polisi Lombok Timur, menurut HRW.

Kasus-kasus yang dilaporkan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Setara Institute Jakarta, yang melacak kebebasan beragama di Indonesia, dari tahun 1965 hingga 2017 ada 97 kasus penistaan agama, 88 di antaranya sejak 1998. Dari jumlah tersebut, 22 kasus di antaranya telah terjadi sejak Jokowi berkuasa, menurut HRW.

Melissa Crouch, seorang profesor di sekolah hukum di Universitas New South Wales di Australia, mengatakan kepada Sydney Morning Herald bahwa undang-undang penistaan agama telah “dijadikan senjata.” “Disebut sebagai ‘efek Ahok,’ penggunaan hukum penistaan agama untuk menargetkan lawan politik,” kata Crouch, yang ahli hukum penistaan agama di Indonesia.

Laporan Tahunan Departemen Luar Negeri AS tentang Kebebasan Beragama dari tahun 2017 merujuk pada masalah hukuman karena penistaan agama. Laporan Tahunan HRW untuk tahun 2018 menggambarkan undang-undang penistaan agama di Indonesia sebagai “hal ambigu yang berbahaya.”

Peneliti senior HRW di Indonesia, Andreas Harsono, mengatakan kepada VOA bahwa ia “menyesali” bahwa Jokowi “tidak menggunakan dukungan politik yang sangat besar yang dimilikinya untuk menangani intoleransi.”

Harsono menambahkan bahwa, “Diperlukan kelanjutan pendidikan publik sehingga semua orang sadar akan keberadaan hukum kontroversial seperti UU penistaan agama.”

Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berfoto bersama kerabatnya setelah dibebaskan dari penjara di Jakarta, Indonesia, 24 Januari 2019. (Foto: Reuters/Antara Foto/HO/Tim BTP)

Antropolog dan pendiri SEA Junction di Bangkok, Dr. Rosalia Sciortino Sumaryono, sepakat dengan pernyataan Harsono. Dia mengatakan bahwa dalam banyak kasus, di mana minoritas menjadi korban karena politisasi agama atau ketidakpercayaan terhadap etnis tertentu yang dipicu oleh nasionalisme, terlalu banyak orang dari kalangan mayoritas yang tetap diam karena takut.

“Kita mungkin takut menghadapi perang gagasan, tetapi sekarang saatnya berbicara dan mengklaim ruang publik kita,” katanya. “Ini adalah kebutuhan mendesak, karena kalau tidak perilaku seperti itu akan terus menyebar dan akhirnya kita akan terpojok. Banyak korban yang akan jatuh.”

Keterangan foto utama: Pendukung mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama berfoto di depan karangan bunga yang dikirim oleh simpatisan BTP di luar Mako Brimob, Depok, Indonesia, 24 Januari 2019. (Foto: AP)

Bebasnya BTP Kembali Soroti Penggunaan UU Penistaan Agama di Indonesia

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top