Perang Dagang
Global

Dampak Virus Corona bagi Hubungan AS China

Berita Internasional > Dampak Virus Corona bagi Hubungan AS China

Virus corona telah semakin merusak hubungan AS-China. Kedua negara memanfaatkan krisis ini untuk meningkatkan kekuatan global masing-masing.

Pada 17 Maret, pakar China Bill Bishop mengatakan, “Ini adalah periode yang paling berbahaya dalam hubungan AS-China selama 40 tahun terakhir, dan pembantaian oleh virus corona di AS baru saja dimulai.”

Bahkan sebelum krisis corona, hubungan antara kedua ekonomi terbesar itu telah memburuk. Sejak Donald Trump menjabat, AS telah mengambil tindakan lebih keras terhadap praktik perdagangan tidak adil China.

Sejak 2018, pemerintahan Trump telah mengenakan tarif 25 persen untuk barang-barang China senilai sekitar US$250 miliar. Tarif itu menjadi pukulan terutama untuk industri baja dan aluminium China. Kedua negara baru mencapai kesepakatan sementara dalam perang dagang itu akhir Desember tahun lalu.

COVID-19 ini bisa menjadi peluang untuk kerja sama yang lebih banyak. Namun, konflik justru memanas. Pada awal Januari, China menolak untuk memberikan akses ke Wuhan kepada delegasi dokter Amerika, yang mencoba untuk memeriksa gambaran situasi di sana.

Baca Juga: Latihan Penanganan Pandemi Tak Persiapkan AS Hadapi COVID-19

Pada akhir Januari, keputusan Trump untuk melarang masuknya warga negara non-Amerika dari China memicu kemarahan pemerintah China.

Di Twitter dan dalam pidatonya, Trump berulang-ulang menyebut virus corona sebagai “virus China”. Sebutan itu dikecam banyak pihak karena dinilai rasis.

“Menyebut virus corona sebagai virus China sangat tidak bertanggung jawab”, ujar Zhao Lijian, juru bicara Kementerian Luar Negeri China, pada pertengahan Maret, dikutip dari jurnal International Politics and Society. Lagi pula, asal usul virus itu masih tidak jelas. Duta Besar China di Afrika Selatan juga menyuarakan hal serupa.

Pengusiran jurnalis AS

Selama beberapa minggu, China telah berusaha membingkai ulang narasi tentang asal-usul virus corona. Menurut mereka, virus itu tidak terbukti berasal dari pasar ikan di Wuhan, tetapi mungkin berasal dari beberapa daerah di dunia.

Kantor berita milik negara, Xinhua dan Global Times, menyebarkan teori konspirasi yang menyatakan virus sama sekali tidak berasal dari China, tetapi dibawa ke Wuhan oleh militer AS dalam latihan bersama di musim gugur tahun lalu.

Pakar wabah Zhang Wenhong dari Universitas Fudan, Shanghai, sempat membantah anggapan itu. Namun, komentarnya segera menghilang dari internet. Pada 12 Maret, juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian menyebut kembali teori konspirasi itu.

Xinhua juga menyebarkan artikel dari salah satu akun WeChat dengan judul “Dunia harus berterima kasih kepada China”. Kemudian Trump membalas, “Virus itu bisa dihentikan di tempat virus itu muncul, di China.”

Namun, konflik tidak hanya memanas dalam hal retorika. Pada pertengahan Maret, China mengusir 13 koresponden Amerika dari negaranya. Koresponden itu bekerja untuk New York Times, Wall Street Journal, dan The Washington Post. Mereka juga akan dilarang bekerja di Hong Kong dan Makau.

Baca Juga: Peringkat Kesehatan Rendah, Bagaimana Asia Tengah Tangani COVID-19?

Kerja sama AS-China semakin rapuh

Gagasan kebijakan AS yang lebih tegas terhadap China juga mendapat dukungan luas dari kalangan politik. Tujuan jangka panjang dari kebijakan ini adalah untuk mengarahkan kembali rantai pasokan global. Dengan demikian, perusahaan internasional seharusnya menjadi lebih mandiri dari pasar China dan investasi seharusnya dialihkan ke Asia Tenggara.

Bagi banyak pejabat di pemerintahan AS, krisis virus corona adalah kesempatan untuk mempercepat proses tersebut. Mereka melakukannya dengan meningkatkan kesadaran perusahaan akan tingkat ketergantungan mereka yang terlalu tinggi pada China.

Sementara itu, Presiden China Xi Jinping telah dianggap sebagai presiden paling kuat sejak Mao Zedong. Ia telah menghapuskan batasan masa jabatannya sendiri.

China tidak menjadikan dirinya lebih demokratis dengan keberhasilan ekonominya yang meningkat. Mereka juga tidak menaruh perhatian lebih pada hak asasi manusia, yang terbukti dengan penahanan jutaan Muslim Uigur di kamp-kamp di Xinjiang. Dengan meningkatnya kekuatan dan pengaruh, China juga telah berani melakukan konfrontasi yang lebih terbuka dengan AS.

Bagi China, krisis saat ini adalah peluang untuk menjadikan dirinya sebagai kekuatan global yang terkemuka.

Pada 19 Maret, pemerintah China mengumumkan (untuk pertama kalinya sejak munculnya krisis) tidak ada infeksi baru di Provinsi Hubei, pusat epidemi. Negara itu saat ini tengah melindungi dirinya sendiri untuk mencegah masuknya gelombang infeksi baru dari luar negeri.

Pada saat yang sama, China mengirim tim dokter dan barang bantuan ke negara-negara yang terkena dampak seperti Italia. Seperti yang ditegaskan Philipp Mattheis dalam tulisannya di jurnal International Politics and Society, China akan melakukan apa pun untuk memanfaatkan virus corona sebagai pendongkrak kekuatan globalnya.

 

Penerjemah: Nur Hidayati

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Hubungan Amerika dan China kemungkinan akan makin rapuh seiring dengan pandemi corona. (Foto: Reuters/Aly Song)

Dampak Virus Corona bagi Hubungan AS China

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top