
China menunjukkan kedermawanannya kepada negara-negara anggota Uni Eropa yang menghadapi pandemi COVID-19. Namun, banyak pihak yang melihat solusi krisis kesehatan itu sebagai peringatan atas menguatnya pengaruh China.
China belakangan ini berupaya meningkatkan propaganda dan kampanye kekuatan lunak untuk menggambarkan negara itu sebagai mitra terpercaya melawan pandemi COVID-19. Di tengah upaya China melawan narasi arus utama yang menuduh pihaknya terutama bertanggung jawab atas pandemi global, Uni Eropa terus melawan pendekatan Negeri Tirai Bambu tersebut.
Menteri Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell, kepala kebijakan luar negeri dan diplomat terkemuka UE, baru-baru ini mengecam “politik kemurahan hati” China di tengah pandemi sebagai upaya menabur perpecahan di Eropa yang bergulat dengan meningkatnya penyebaran virus corona baru.
“Terdapat pertempuran global narasi yang terjadi di mana waktu merupakan faktor penting,” tutur Borrell baru-baru ini.
“China secara agresif mendorong pesan, tidak seperti AS, China adalah mitra yang bertanggung jawab dan dapat diandalkan. Dalam pertempuran narasi tersebut, kita juga telah melihat upaya untuk mendiskreditkan Uni Eropa semacam itu dan beberapa contoh ketika Eropa telah dilabeli stigma seolah-olah semuanya adalah pembawa virus.”
Baca Juga: COVID-19 Berisiko Hambat Kerja Sama Ekonomi Indonesia-Australia
European External Action Service, departemen kebijakan luar negeri UE, menerbitkan pembaruan rutin tentang kampanye disinformasi global, terutama yang dilakukan oleh entitas yang beraliansi pada pemerintah China dan Rusia.
“Ada banyak keraguan di Brussels tentang pemerintah China serta agenda politik dan perilaku Partai Komunis China,” kata Andrew Small, peneliti di Program Asia dari German Marshall Fund yang berbasis di AS.
“Perilaku China selama krisis telah memperkuat keraguan itu seakan-akan China harus menangani situasi itu.”
Tahun lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengatakan sudah waktunya untuk “mengakhiri kenaifan” atas kepentingan China di Eropa. Sementara itu, Komisi Eropa yang merupakan lembaga eksekutif Uni Eropa untuk pertama kalinya menggambarkan China sebagai “saingan sistemis”.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen berjanji akan membentuk komisi “geopolitik” yang dilihat oleh banyak komentator sebagai mekanisme untuk membangun UE yang lebih tegas dalam urusan global yang membentuk jalan tengah antara persaingan negara adidaya AS-China.
Masih belum pasti bagaimana tepatnya krisis COVID-19 akan mempengaruhi hubungan China-Uni Eropa di masa depan dan apakah UE akan terpecah menjadi blok pro-China dan anti-China.
Von der Leyen telah secara terbuka berterima kasih kepada China karena mengirim pasokan medis kepada negara-negara anggota UE yang terdampak virus, termasuk Italia dan Spanyol. Ia berbicara dengan hangat tentang hubungan bilateral keduanya setelah panggilan telepon dengan Perdana Menteri China Li Keqiang pada 18 Maret 2020.
China telah dipandang menyelamatkan negara-negara anggota UE. Pada pertengahan Maret 2020, misalnya, China mengumumkan akan mengirim persediaan dan peralatan medis yang sangat dibutuhkan serta dokter yang berpengalaman dalam menangani virus corona baru ke Italia, negara Uni Eropa yang paling parah terdampak. Sumbangan itu termasuk kontrak untuk 10.000 ventilator paru, dua juta masker, dan 20.000 alat pelindung diri (APD).
Spanyol, yang sistem kesehatannya berada di ambang kehancuran, baru-baru ini mendapatkan kesepakatan US$467 juta dengan China untuk memasok 550 juta masker, 5,5 juta alat tes cepat, 950 respirator, dan 11 juta pasang sarung tangan untuk mengatasi kekurangan pasokan. Kesepakatan itu disahkan pada Rabu (25/3) melalui telepon antara Perdana Menteri Spanyol Pedro Sanchez dan Presiden China Xi Jinping.
Beberapa pasokan medis yang disediakan oleh China, termasuk ke Spanyol dan Republik Ceko, ternyata tidak membuahkan hasil yang akurat, menurut sejumlah laporan.
Pada saat yang sama, pemerintah beberapa negara Eropa mengecam ketergantungan negara mereka pada impor pasokan medis buatan China, yang menurut mereka telah menimbulkan risiko keamanan nasional.
“Krisis ini telah menunjukkan betapa kami di Rumania dan Eropa terpapar terhadap impor dari China,” keluh Menteri Ekonomi Rumania Virgil Popescu pekan lalu.

Presiden Prancis Emmanuel Macron (kedua dari kiri) menyambut Presiden Komisi Uni Eropa Jean-Claude Juncker (kiri), Kanselir Jerman Angela Merkel (tengah), dan Presiden China Xi Jinping, sebelum pertemuan di Istana Elysee di Paris pada 26 Maret 2019. (Foto: AFP/ludovic Marin)
Baca Juga: Benarkah Jamu Cegah COVID-19?
Sangat tidak mungkin sekarang jika perjanjian investasi UE-China yang banyak dibanggakan dan telah diharapkan ditandatangani oleh kedua pihak pada 2020 akan diselesaikan karena krisis COVID-19. KTT Uni Eropa-China yang dijadwalkan diadakan bulan ini telah dibatalkan, sementara KTT khusus yang direncanakan untuk September 2020 di Kota Leipzig di Jerman juga terancam batal.
Lucrezia Poggetti, analis di Mercator Institute for China Studies di Berlin, mengatakan pandemi COVID-19 telah “membuat Uni Eropa dan pemerintah China sibuk menangani krisis kesehatan masyarakat dan dampak ekonomi selanjutnya, semakin memperlambat laju negosiasi dan membatasi prospek untuk menanda tangani kesepakatan investasi bilateral pada 2020.”
Bahkan sebelum wabah, para pejabat Uni Eropa memperingatkan, blok itu tidak bersedia menandatangani kesepakatan kecuali Chin menawarkan konsesi besar, terutama dalam hal perlindungan kekayaan intelektual dan akses yang sama bagi perusahaan-perusahaan Eropa ke pasar-pasar China yang saat itu berkembang pesat, yang sekarang dilanda masalah akibat virus corona baru.
Komisioner Perdagangan Eropa Phil Hogan mengatakan pada Januari 2020, “Pertemuan setengah jalan tidak akan berhasil untuk Uni Eropa.”
Jean-Pierre Cabestan, profesor ilmu politik di Hong Kong Baptist University, berpendapat krisis COVID-19 tidak akan secara fundamental mengubah hubungan UE-China. Menurutnya, itu akan tetap membuat UE terpecah belah atas masalah yang sama seperti proteksionisme China, rezim otoriter yang dipimpin Partai Komunis China, dan kurangnya penghargaan terhadap hak-hak dasar politik dan hak asasi manusia.
Cabestan menambahkan, “Mereka juga akan terpecah belah atas kesediaan China untuk secara ekonomi dan kemudian secara politis mendominasi dunia dengan merugikan Barat, tidak hanya AS tetapi juga Uni Eropa, dan negara-negara lain yang berkembang secara ekonomi dan negara-negara yang secara politik demokratis. Sejauh menyangkut UE, memecah belah dan berkuasa tetap menjadi strategi dasar China.”
Uni Eropa telah lama curiga terhadap tawaran China untuk menabur perpecahan di dalam UE, termasuk melalui forum “17+1” yang terdiri dari China serta 17 negara yang sebagian besar merupakan anggota UE dari Eropa Tengah dan Timur.
Banyak hal bergantung pada apakah Uni Eropa sekarang dapat menggalang negara-negara anggota di seluruh blok di tengah penutupan wilayah (lockdown), penutupan perbatasan, dan kesulitan ekonomi. Sebagian besar pemerintah Eropa lengah ketika kasus COVID-19 mulai melonjak di seluruh benua pada awal Maret 2020 dengan Italia sebagai pusat penyebaran awal.
Di tengah proses terburu-buru untuk mengatasi krisis yang terjadi kemudian, negara-negara anggota pergi sendirian dalam menyusun tanggapan individu. Sementara itu, badan-badan Uni Eropa telah dipandang oleh banyak orang sebagai lamban dan tidak kompeten dalam mengelola krisis, dengan tidak ada panduan yang jelas tentang apakah Brussels harus memiliki peran dalam manajemen krisis di negara-negara anggotanya.
Kesepakatan Schengen, yang memungkinkan perpindahan orang tanpa batas di sebagian besar negara Uni Eropa dan yang merayakan ulang tahun ke 25 tahun ini, secara simbolis telah dibatasi karena sebagian besar negara anggota telah menutup perbatasan mereka untuk menahan penyebaran penyakit.
Dalam pidato pada 12 Maret 2020, kepala Bank Sentral Eropa (ECB) Christine Lagarde mempromosikan gagasan individu atas tanggapan kolektif dengan tampaknya menyindir bank itu tidak bertanggung jawab atas dampak finansial dari krisis COVID-19 terhadap negara-negara anggotanya.
Pada 18 Maret, ECB mengumumkan paket stimulus sebesar €750 miliar atau US$ 820 miliar dengan membeli obligasi negara-negara Eropa dalam upaya untuk mencegah keruntuhan keuangan lebih lanjut. Kurangnya jaminan keuangan akan membuat masing-masing negara terbuka untuk potensi bantuan keuangan yang dipimpin China dan kesepakatan penyelamatan, seperti yang diatur dalam kesepakatan pasokan medis darurat kasus per kasus China.
Karantina di seluruh Eropa diberlakukan sekitar pertengahan Maret 2020. Debagian besar pemerintah Uni Eropa pada awalnya menjelek-jelekkan janji cepat China untuk membantu, termasuk melalui tawaran pasokan medis, niat baik China telah mendorong sebagian orang menyebutnya sebagai diplomasi “masker”.
Presiden Serbia Aleksandar Vucic, negara yang bukan merupakan anggota UE, baru-baru ini menyebut solidaritas Eropa sebagai “dongeng”sementara mengklaim, “satu-satunya yang dapat membantunya” melawan krisis COVID-19 adalah China. Pandangan itu kemungkinan dipengaruhi oleh fakta Serbia adalah penerima manfaat besar dari program infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
Bahkan anggota UE seperti Republik Ceko dan Swedia, yang keduanya mengalami hubungan bilateral yang memburuk China sebelum pecahnya wabah Covid-19 pada Januari 2020, telah berubah menjadi lebih positif dalam pesan publik mereka, mungkin untuk memastikan impor peralatan medis dan pasokan medis buatan China terus berlanjut.
Presiden China XI Jinping mengenakan masker dan menjalani pemeriksaan suhu tubuh ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit di China. (Foto: France 24)
Namun, menurut analisis David Hutt dari Asia Times, pesan lunak awal terhadap China sekarang tumbuh lebih keras karena adanya persepsi yang meningkat China berusaha untuk memanfaatkan krisis di Uni Eropa.
Secara khusus, terdapat peningkatan permusuhan terhadap propaganda China yang berupaya untuk membelokkan dan menyangkal tanggung jawab atas wabah awal virus corona baru, seperti yang dilakukan para pejabat China tertentu di media sosial.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian baru-baru ini secara resmi mengakui teori konspirasi yang beredar luas di media sosial China yang mengklaim COVID-19 direkayasa oleh AS dan diam-diam disimpan sebagai senjata biologis oleh militer Amerika di Kota Wuhan di China, pusat penyebaran awal virus.
Kedutaan Besar China di Paris, misalnya, turut mengakui mitos itu di Twitter resminya. Ketika China meningkatkan propaganda anti-Amerika dalam upaya untuk mencuri momentum di Eropa, ada upaya bersama baru dari para pemimpin Eropa untuk menekankan solidaritas Uni Eropa dan saling memberikan bantuan di antara negara-negara anggota.
Jerman dan Prancis kini masing-masing mengirim masker dan pasokan medis ke Italia yang dilanda virus corona baru seperti yang disediakan China. Rumah sakit Jerman yang dilengkapi dan dipasok dengan baik sekarang membuka pintu untuk merawat pasien Italia dan Prancis.
Beberapa pengamat mengharapkan kampanye hubungan masyarakat yang lebih terpadu dalam beberapa hari dan minggu mendatang dapat menyoroti solidaritas pan-Eropa. Langkah itu mungkin akan berfungsi atau tidak, karena pandangan Euroskeptik tampaknya telah meningkat lebih tajam di tengah pandemi, menurut jajak pendapat tertentu.
Sebuah survei baru-baru ini oleh jajak pendapat Monitor Italia menemukan 88 persen rakyat Italia merasa UE tidak cukup membantu mereka selama krisis COVID-19. Persentase orang Italia yang menganggap keanggotaan UE tidak menguntungkan naik dari 47 persen pada November 2019 menjadi 67 persen bulan ini, menurut survei yang sama.
Keraguan tersebut pada akhirnya akan berdampak pada ekonomi. Laporan Komisi Eropa yang diterbitkan pada 13 Maret menegaskan, produk domestik bruto blok dikhawatirkan turun setidaknya -1 persen tahun ini, turun 2,4 poin persentase dari perkiraan bulan lalu.
Pertumbuhan ekonomi China juga cenderung menurun tahun ini, meskipun tidak pasti seberapa banyak. Pada 2019, China menunjukkan tingkat pertumbuhan PDB terburuknya dalam 29 tahun karena dampak negatif dari perang dagang dengan AS yang merusak rantai pasokan.
Sementara Uni Eropa dan China akan berusaha keras untuk menghidupkan kembali ekonomi mereka ketika krisis surut, belum jelas ke arah mana hubungan bilateral keduanya akan mengarah.
Hubungan ekonomi Amerika Serikat-China akan memburuk lebih lanjut. Presiden AS Donald Trump bersikeras China bertanggung jawab atas kerusakan dan kematian yang ditimbulkan oleh apa yang disebutnya sebagai “virus Wuhan” dan “virus China”.
“Pasti ada area di mana politik di sekitar keterlibatan ekonomi China di Eropa akan menyesuaikan dengan kondisi,” menurut prediksi Andrew Small dari German Marshall Fund.
David Hutt dari Asia Times menyimpulkan, krisis COVID-19 telah menunjukkan kepada Eropa mengenai risiko nyata yang terlibat dalam menerima pembiayaan atau bentuk investasi tertentu dari China.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Bendera Uni Eropa terlihat di luar markas Komisi Uni Eropa di Brussels, Belgia, 14 November 2018. (Foto: Reuters/Francois Lenoir)
