Indonesia sedang ada di masa sulit, mengobarkan perang kesehatan masyarakat melawan COVID-19 sambil melawan resesi menggunakan sumber daya fiskal yang terbatas.Kendala-kendala fiskal dan keadaan pasar modal yang goyah mungkin merupakan alasan mengapa Presiden Joko Widodo enggan memberlakukan ‘lockdown’ nasional.
Ekonomi Indonesia, seperti semua ekonomi di seluruh dunia, berada di posisi yang genting. Bahkan saat pandemi COVID-19 berhasil diatasi, pertumbuhan PDB jelas akan terhenti. Jutaan orang kemungkinan harus kembali ke dunia kerja. Bisnis akan menuju masa pemulihan panjang setelah mengalami kekurangan pendapatan untuk periode waktu yang belum diketahui.
Setiap ekonomi di dunia menghadapi serangkaian masalah yang sama, tetapi di Indonesia, masalah diperparah oleh defisit neraca transaksi yang besar. Dalam keadaan normal, ini tidak akan menjadi masalah.
Namun, selama masa ketidakpastian global yang tinggi, investor akan menjual aset berisiko dan beralih ke uang tunai atau obligasi Departemen Keuangan AS, yang lebih aman. Aliran keluar modal ini dipastikan menghantam pasar negara berkembang yang mengalami defisit neraca berjalan yang besar, menurut James Guild, kandidat Ph.D ekonomi politik di S. Rajaratnam School of International Studies Singapore.
Sekitar sebulan yang lalu, rupiah berada di sekitar 14.000 terhadap dolar AS. Sejak awal krisis, angka itu melonjak, dan pada satu titik mencapai hampir 17.000 sebelum turun minggu ini ke 16.000. Penurunan itu terjadi berkat intervensi agresif oleh Bank Indonesia dan paket penyelamatan ekonomi yang diumumkan di Amerika Serikat.
Jika rupiah stabil di sekitar titik ini, kita mungkin bisa bernafas sedikit lebih mudah. Jika terus terdepresiasi, Indonesia akan menghadapi krisis likuiditas yang akan datang bersamaan dengan meningkatnya pasokan dan menurunnya permintaan, menurut Guild dalam tulisannya yang dimuat di The Diplomat.
Setiap entitas yang memiliki utang dalam mata uang dolar akan merasa semakin sulit untuk membayarnya, terutama karena pendapatan cenderung menyusut untuk sementara waktu.
Berita baiknya adalah sejumlah besar instrumen utang yang baru diterbitkan di Indonesia telah didenominasi dalam rupiah, bukan dalam dolar. Ini dapat membantu meredam skenario terburuk.
Hampir setiap mata uang negara berkembang lainnya juga berada di bawah tekanan, meskipun sebagian besar tidak separah di Indonesia. Ini berarti ada kemungkinan otoritas moneter internasional akan melakukan beberapa jenis restrukturisasi utang berskala besar untuk menghindari gagal bayar massal. IMF juga diharapkan akan memperluas hak penarikan khusus ke pasar negara berkembang.
Meski tindakan-tindakan moneter seperti itu mungkin menstabilkan, tantangan yang dihadapi oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mungkin lebih sulit. Tidak peduli apa yang akan terjadi, Indonesia memerlukan beberapa tingkat stimulus fiskal untuk menjaga perekonomian tetap berjalan sampai tingat permintaan pulih.
Namun, Indonesia tidak seperti Amerika Serikat atau ekonomi besar lainnya. Negara ini tidak memiliki “bazoka” fiskal tanpa batas.
Memang, pemerintah secara hukum dilarang menjalankan defisit fiskal setiap tahun lebih dari 3 persen dari PDB. Perekonomian Indonesia kira-kira sekitar US$1 triliun, jadi di situasi biasa, pengeluaran defisit akan dibatasi di sekitar US$30 miliar.
Pemerintah sedang mencari cara untuk menaikkan batas itu, tetapi pada akhirnya mungkin hanya akan mendapat US$20-30 miliar senjata fiskal tambahan untuk memerangi virus dan mencegah keruntuhan total ekonomi.
Kendala-kendala fiskal dan keadaan pasar modal Indonesia yang goyah ini kemungkinan merupakan alasan mengapa Presiden Joko Widodo enggan memberlakukan lockdown nasional. Banyak orang Indonesia, khususnya di sektor informal, bertahan hidup dengan upah subsisten sebesar Rp1,5 juta-Rp3 juta per bulan, dan jika mereka kehilangan penghasilan itu karena lockdown, dampaknya akan sulit diprediksi.
Oleh karena itu, bisa dibilang Indonesia berada dalam posisi yang sulit, mengobarkan perang kesehatan masyarakat melawan COVID-19 sambil melawan resesi menggunakan sumber daya fiskal yang terbatas, dan ditambah dengan kemungkinan krisis likuiditas.
Berita baik lainnya adalah para teknokrat yang kompeten telah ditempatkan di lembaga-lembaga paling penting, seperti Perry Warjiyo di Bank Indonesia dan Sri Mulyani di Kementerian Keuangan. Dapat dipastikan mereka tidak akan mengandalkan kekuatan doa untuk memerangi arus keluar modal dan kontraksi ekonomi, seperti yang dilakukan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dalam upayanya untuk mengatasi virus corona di hari-hari awal wabah.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika sempat terjun bebas karena wabah corona. (Foto: Reuters)
Ekonomi Bakal Lesu, Dalih Jokowi Enggan Terapkan Lockdown