Tak hanya faktor budaya dan agama, ongkos politik yang mahal diduga jadi alasan kuat mengapa rasuah di Kalimantan masih relatif tinggi hingga kini.
Banyaknya pejabat yang korupsi, mengamini pernyataan Wakil Ketua MPR Mahyudin, disebabkan oleh keterbukaan demokrasi. Sekarang pemilihan kepala daerah bahkan presiden dilakukan langsung oleh rakyat. Pemilihan langsung merupakan perubahan dari sistem pemilu masa lalu, di mana kepala daerah sebelumnya dipilih oleh DPRD dan presiden oleh MPR.
“Dalam era reformasi, masyarakat tak percaya pada wakil rakyat,” ucapnya kepada Tempo beberapa waktu lalu.
Ia mencontohkan, bila seseorang hendak maju menjadi gubernur maka ia harus membiayai saksi. Bila ada 10.000 TPS dan setiap saksi diberi honor Rp200.000, maka calon gubernur tadi harus mengeluarkan biaya Rp2 miliar. “Itu belum termasuk baliho, spanduk, dan alat kampanye lainnya,” tuturnya.
Nah, bila gubernur hanya mendapat gaji Rp3 juta, tentu modal yang dikeluarkan tidak akan kembali. “Sehingga, gubernur itu hanya berpikir bagaimana modalnya kembali. Dari sinilah mereka melakukan korupsi,” kata Mahyudin lagi kepada media serupa.
Sebelas dua belas, praktik lancung itu juga sudah disemai dalam pemilu legislatif. Sistem proporsional terbuka juga membuat kompetisi yang terjadi tak sehat. Partai politik tak bisa menyeleksi calonnya karena semua diserahkan kepada masyarakat. “Sayangnya, rakyat memilih calon yang popular atau yang punya modal banyak. Dari sini melahirkan politisi karbitan,” ujarnya.
Dalam hematnya, memilih orang yang rela membayar, sama saja masyarakat mencoblos orang yang tak berintegritas. “Mereka melakukan suap maka nanti mereka juga akan menerima suap,” tuturnya.
Untuk itu, Mahyudin menyerap aspirasi masyarakat bagaimana menciptakan sistem pemilu yang ideal.
Lebih lanjut, setidaknya ada tiga sebab mengapa ongkos politik relatif mahal. Pertama, partai politik (parpol) membutuhkan dana untuk menjalankan tugas dan fungsinya, mulai pendidikan politik sampai seleksi kandidat. Kedua, dalam hal pencalonan kandidat, mereka harus keluar biaya sendiri, lantaran tidak selalu didukung oleh parpol. Ketiga, penyelenggaraan pemilu yang membutuhkan biaya tak kalah besar.
Di negara lain, menurut catatan Polmark Indonesia, sebanyak 75 persen negara di dunia memberikan dana bantuan ke parpol di negara mereka masing-masing. Tujuannya, agar potensi korupsi bisa ditekan sedemikian rupa. Di Jerman, bantuan diberikan Negara senilai 157 juta Euro. Di Meksiko, pada 2012, dana bantuan parpol mencapai US$387 juta, angka ini mencukupi kira-kira 70 persen kebutuhan parpol.
Sementara di Indonesia, kendati Presiden Joko Widodo telah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Bantuan Keuangan kepada Partai Politik, namun angka itu menurut Perludem hanya mencukupi 1,3 persen dari total kebutuhan parpol.
Kantor Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), badan anti-korupsi Indonesia, di Jakarta. (Foto: Reuters)
Aturan itu sendiri mengatrol dana bantuan untuk partai dari Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Sementara, di tingkat DPRD provinsi, menjadi Rp1.200 per suara, dan DPRD kabupaten atau kota Rp1.500 per suara. Jika ditotal, anggaran parpol dari negara yang mulanya sebesar Rp13,5 miliar dalam setahun, meningkat sebesar Rp111 miliar. Dana tersebut sedianya dimaksudkan untuk pendidikan politik bagi anggota partai atau publik, di samping biaya operasional.
Problemnya, mengamini Perludem, dana sekian miliar itu tak bisa mengakomodasi seluruh kebutuhan belanja parpol. Dari hasil wawancara saya dengan Ketua DPP Gerindra, Habiburokhman diketahui, pada 2014 silam, saat mendaftar sebagai caleg, ia menggelontorkan dana hingga Rp3 miliar. Suara yang ia kantongi hanya 30 ribu orang, sehingga uang miliaran itu terbuang sia-sia.
“Itu dana pribadi saya, untuk sosialisasi dari kampung ke kampung, bikin kalender, itu yang resmi lho,” tegasnya. Menyadari kekurangannya, pada pileg 2019 ini ia sengaja mempersiapkan dana sekitar Rp6 miliar untuk maju kembali.
Jika untuk pileg saja dananya relatif besar, maka dana pilkada dan pilpres tentu lebih bombastis lagi. Sebagai ilustrasi, Perludem membeberkan biaya kampanye yang dilakukan oleh Aher dan Dedy Mizwar pada 2013 lalu. Dalam pilgub Jabar periode silam, pasangan ini menggelontorkan dana hingga Rp25 miliar. Itu baru untuk alokasi kampanye, belum termasuk pembuatan materi kampanye, biaya saksi yang total untuk satu TPS bisa mencapai Rp750 ribu untuk masing-masing partai, logistik, dan ‘ongkos serangan fajar’ jika ada. Sementara setingkat kota, Garut mengeluarkan biaya kampanye kurang lebih Rp2 miliar, sedang Bogor mencapai Rp6 miliar.
Terkait biaya kampanye, dalam UU Nomor 1 Tahun 2015 juncto UU Nomor 8 Tahun 2015 disebutkan, ada tujuh metode kampanye, yakni pertemuan terbatas, pertemuan tatap muka dan dialog, debat publik/ debat terbuka antarpasangan calon, penyebaran bahan kampanye kepada umum, pemasangan alat peraga, iklan media massa cetak dan media massa elektronik, dan atau kegiatan lain yang tidak melanggar larangan kampanye dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dari sekian banyak metode kampanye ini, tak semua dibiayai KPU dari dana yang berasal dari APBN. Pasangan calon hanya menanggung biaya kampanye dalam bentuk pertemuan dan dialog.
Karena mahalnya ongkos inilah, akhirnya parpol putar otak untuk mengakali masalah pendanaan. Para caleg diminta menyetor mahar jika ingin mengantongi restu partai. Selain itu, mengamini riset Marcus Mietzner dalam “Dysfunction by Design: Political Finance and Corruption in Indonesia” (2015), dana parpol salah satunya diperoleh dari iuran anggota. Bahwa, lebih dari 40 persen gaji anggota legislatif dipotong bendahara parpol (PKS menyebutnya dana infak). Berikutnya, dana lain juga wajib disetorkan untuk biaya pertemuan, kegiatan sosial, dan program pendidikan politik.
Besarnya ongkos pribadi masing-masing caleg akhirnya membuat palagan legislatif lebih banyak dijejali dengan caleg dari kalangan pengusaha. Dalam Wajah DPR dan DPD (2010), sejumlah 54 persen anggota DPR periode 2009-2014 merupakan pengusaha. Tren ini tetap berjalan di DPR periode berikutnya. Lembaga Indonesia Corruption Watch mencatat 52,3 persen anggota DPR periode 2014-2019 adalah pengusaha, dan 25 persen berpotensi terjebak konflik kepentingan dengan jabatan yang mereka emban. Ini tampak dari sejumlah politikus yang diseret Komisi AntiRasuah.