Mengapa Negara-Negara Islam Berhenti Bela Muslim Uighur
Negara-negara Islam sebelumnya menyuarakan dukungan mereka untuk Muslim Uighur dan mengecam China, namun kemudian mereka berhenti melakukannya. Ini diduga karena ancaman China terhadap negara-negara Islam jika mereka menyuarakan pertentangan terhadap China. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sebelumnya mengecam China pun berbalik memujinya atas perlindungan China terhadap Uighur. Ini mengingat banyak anggota OKI yang terlibat dalam [...]Seorang bocah laki-laki mengenakan topeng yang menggambarkan bendera Turkistan Timur—nama lain Xinjiang—dengan motif bendera China menutupi mulutnya, dalam aksi di Istanbul, Turki, pada November 2018. (Foto: Reuters/Murad Sezer)
Negara-negara Islam sebelumnya menyuarakan dukungan mereka untuk Muslim Uighur dan mengecam China, namun kemudian mereka berhenti melakukannya. Ini diduga karena ancaman China terhadap negara-negara Islam jika mereka menyuarakan pertentangan terhadap China. Organisasi Kerjasama Islam (OKI) yang sebelumnya mengecam China pun berbalik memujinya atas perlindungan China terhadap Uighur. Ini mengingat banyak anggota OKI yang terlibat dalam proyek infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China.
China telah memata-matai dan menahan setidaknya satu juta etnis minoritas Muslim Uighur. China juga telah berupaya mencegah negara-negara Muslim dalam membela Uighur, dan strateginya sejauh ini berhasil. Selama beberapa bulan terakhir, banyak negara di dunia Islam telah mengkritik China, lalu tiba-tiba menarik komentar mereka. Para pakar mengatakan bahwa ini merupakan dampak ancaman China terhadap negara-negara tersebut jika mereka angkat bicara.
China sedang melakukan kampanye global melawan Uighur—etnis Muslim minoritas yang terkonsentrasi di perbatasan barat Xinjiang. Dalam dua tahun terakhir, China telah memerintahkan perusahaan teknologi untuk memata-matai ponsel Uighur, melarang praktik ibadah Muslim seperti memanjangkan jenggot atau menunaikan salat, dan menahan setidaknya satu juta Muslim Uighur di pusat-pusat penahanan yang menyerupai penjara.
Para aktivis dan politisi di Amerika Serikat (AS) dan PBB secara teratur mengecam China atas tindakan keras tersebut. China terus-menerus mengabaikan para kritikus di Barat, dan mencegah dukungan dari negara-negara Muslim yang berupaya membela Uighur.
Strategi China tampaknya berhasil. Beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim tampaknya semakin membisu mengenai kebijakan China di Xinjiang akibat kekhawatiran akan memicu amarah China.
Warga Uighur di Kashgar, Xinjiang, membawa bendera Partai Komunis China dan berjalan melewati papan iklan yang bergambar wajah Presiden China Xi Jinping, bulan Juni 2017. (Foto: Kevin Frayer/Getty Images)
Angkat bicara mendukung Uighur lalu menarik kembali kecaman terhadap China
Pada Desember 2018, Organisasi Kerjasama Islam (OKI)—konsorsium 57 negara yang menyebut diri mereka sebagai “suara kolektif dunia Muslim”—mengakui adanya berbagai “laporan yang mengganggu” tentang tindakan keras pemerintah China terhadap Muslim Uighur dalam serangkaian tweet.
Meskipun frase tersebut diciptakan oleh komisi hak asasi manusia independen OKI—bukan OKI sendiri—namun para aktivis menyambut deklarasi tersebut sebagai suara Muslim yang dapat berperan penting dalam menentang kebijakan China di Xinjiang.
Banyak negara berpenduduk mayoritas Muslim yang menjadi anggota OKI terlibat dalam proyek infrastruktur Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) China—proyek perdagangan besar-besaran yang bertujuan untuk menghubungkan China dengan puluhan negara di dunia.
Fakta bahwa OKI mengakui penderitaan orang-orang Uighur “tentu saja menunjukkan tingkat kepedulian bersama,” tutur Sophie Richardson, Direktur Human Rights Watch China, dilansir dari Business Insider, pada Senin (8/4).
Semua dukungan itu tampaknya berubah pada Maret 2019, ketika OKI mengeluarkan laporan yang mengatakan bahwa mereka “memuji upaya Republik Rakyat China dalam memberikan pelayanan kepada warga Muslimnya, dan berharap untuk kerja sama lebih lanjut antara OKI dan Republik Rakyat China.”
Pihak-pihak yang awalnya merayakan komentar komisi independen OKI tentang Xinjiang terkejut dengan pernyataan baru itu. Mereka mempertanyakan apakah OKI memberikan kesetiannya pada Muslim di seluruh dunia atau pada pemerintah China.
“Ini adalah pengkhianatan mengejutkan dari nilai-nilai yang diklaim dijunjung tinggi oleh OKI,” ujar Richardson.
Mengingat bahwa OKI secara teratur mengecam Myanmar karena persekusi terhadap etnis minoritas Rohingya, Richardson menambahkan, “Fakta bahwa OKI tampaknya bukan hanya tidak peduli, tetapi juga antusias tentang penahanan sewenang-wenang terhadap jutaan Muslim Uighur oleh rezim China yang sangat kejam, benar-benar memicu pertanyaan tentang standar mereka.”
Pakistan adalah contoh lain dari sekutu China yang menarik kembali kritiknya terhadap kebijakan pemerintah China di Xinjiang. Setelah Menteri Urusan Agama Pakistan mengecam China atas apa yang disebut China sebagai tindakan kontra-ekstremisme terhadap Uighur pada September 2018, Menteri Luar Negeri Pakistan membantah komentar itu dengan menuduh media telah “berusaha menimbulkan sensasi” atas masalah Xinjiang.
Perdana Menteri Pakistan Imran Khan bahkan mengaku tidak tahu apa pun tentang Muslim China dalam setidaknya dua wawancara.
Adrian Zenz, peneliti kebijakan etnis di China, mengatakan kepada Business Insider, “Sangat mungkin bahwa OKI dan Pakistan berada di bawah tekanan yang signifikan dari China. Tidak mungkin mereka berubah pikiran atas situasi yang memburuk dan di mana semakin banyak informasi telah tersedia.”
“Kami tidak yakin apa yang dijanjikan maupun dijadikan ancaman oleh China, tetapi tampaknya itu cukup signifikan untuk membuat OKI mengeluarkan pernyataan yang menguntungkan bagi perspektif China,” katanya. “Fakta bahwa mereka bahkan memberi selamat kepada China karena telah memelihara warga Muslimnya, menunjukkan bahwa mereka telah berusaha keras untuk memuji China, terlepas dari situasi di Xinjiang, yang benar-benar tindakan luar biasa.”
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan (tengah) diapit oleh Raja Yordania Abdullah II (kiri), dan Presiden Palestina Mahmoud Abbas (kanan), memberi isyarat saat berfoto sebelum sesi pembukaan pertemuan Organisasi Kerjasama Islam (OKI) Luar Biasa. (Foto: AP Photo/Lefteris Pitarakis)
Upaya China menanamkan ketakutan dan mendapat dukungan dari Arab Saudi
Para ahli percaya bahwa perubahan arah OKI dan Pakistan yang tiba-tiba adalah akibat dari tekanan keuangan dan diplomatik China. Banyak negara anggota OKI memiliki hubungan dagang yang kuat dengan China, yang tampaknya tidak keberatan menunda investasi karena komentar-komentar buruk mereka.
Para pakar sebelumnya menyatakan bahwa China telah membungkam Pakistan—salah satu penerima terbesar pinjaman dan proyek infrastruktur China. Ketika Khan menolak mengakui penderitaan umat Islam di China bulan Januari 2019, dia berkata: “China telah menyuntikkan perubahan baru bagi kami.”
Peter Irwin, manajer program di Kongres Uighur Dunia (WUC), mengatakan kepada Business Insider, “Sangat mungkin bahwa China mengetahui beberapa pernyataan kecaman yang keluar dari pertemuan badan hak asasi manusia OKI bulan Desember 2018, dan memahami bahwa mereka harus mencoba menghentikan diskusi ini sebelum menarik terlalu banyak perhatian.”
“China tidak hanya membuat sejumlah anggota utama OKI tutup mulut, namun beberapa anggotanya sekarang bahkan secara aktif memuji perlakuan China terhadap Muslim, yang merupakan langkah tidak bertanggung jawab menuju arah yang salah,” tambahnya.
Richardson juga mengatakan bahwa persetujuan tersirat dari OKI atas kamp-kamp penahanan di Xinjiang, “telah menunjukkan berapa banyak energi dan sumber daya yang bersedia diberikan oleh China untuk meminimalisasi kritik dan memobilisasi dukungan.”
Berbagai laporan di mana China menekan para diplomat untuk tidak berbicara tentang Xinjiang, bukanlah hal baru. Dalam sepucuk surat yang dikirim awal bulan Maret 2019 dan diterbitkan oleh Human Rights Watch pada Senin (1/4), para pejabat China memperingatkan beberapa delegasi PBB agar “tidak turut mensponsori, ikut serta, atau menghadiri” pertemuan sampingan mengenai krisis Uighur di Jenewa, dengan mengutip ancaman terhadap “hubungan bilateral dan keberlanjutan kerja sama multilateral kita.”
Seorang diplomat yang mengidentifikasi dirinya sebagai orang China di pertemuan itu, juga menyebut kesaksian Omer Bekali—mantan tahanan di kamp China—di panel tersebut sebagai “sepenuhnya bohong,” menurut laporan The New York Times.
Alasan lain bagi sikap menyerah dunia Muslim mungkin adalah dukungan Putra Mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salman terhadap persekusi Muslim Uighur oleh pemerintah China di Xinjiang, selama perjalanan perdagangan bulan Februari 2019.
“Kami menghormati dan mendukung hak-hak China untuk mengambil tindakan kontra-terorisme dan de-ekstremisme untuk menjaga keamanan nasional,” tutur Mohammed bin Salman, tanpa menyebutkan Xinjiang atau Uighur, menurut media pemerintah China.
Dukungan Mohammed bin Salman sangatlah penting, mengingat peran keluarga kerajaan Arab Saudi di dunia Islam sebagai Penjaga Dua Masjid Suci—gelar terhormat yang digunakan untuk mengakui tanggung jawab Saudi atas dua kota suci bagi agama Islam, Mekkah dan Madinah.
Irwin mengatakan bahwa, “Ini seakan memberi lampu hijau bagi seluruh anggota OKI untuk tidak memperhatikan masalah ini dan meningkatkan dukungan mereka kepada China.”
Putra mahkota Arab Saudi Mohammed bin Salmandan Presiden China Xi Jinping dalam pertemuan di Aula Besar Rakyat, China, 22 Februari 2019. (Foto: AP/How Hwee Young).
Tindakan penyimpangan Turki
Turki merupakan negara Islam terbesar yang berbicara membela Uighur dan jelas telah memicu amarah China. Tahun 2009, Recep Tayyip Erdogan—yang saat itu masih menjabat sebagai perdana menteri—menggambarkan kekerasan etnis di Xinjiang sebagai “sejenis genosida.” Tahun 2015, setelah Erdogan menjadi presiden, pemerintahnya menawarkan perlindungan bagi para pengungsi Uighur. China merespons dengan berulang kali mengancam akan memperburuk hubungan ekonomi kedua negara.
Turki kemudian memecah keheningan selama empat tahun pada Februari 2019, dengan menyebut penindasan Xinjiang sebagai “penghinaan besar bagi kemanusiaan”—menandakan perubahan signifikan dalam keheningan menyesakkan dari negara-negara Islam lainnya atas masalah ini. Irwin mengatakan bahwa Kongres Uighur Dunia (WUC) telah “digerakkan” oleh komentar-komentar itu.
Turki telah berusaha untuk berintegrasi ke dalam Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI). Mimpi itu kini tampaknya terancam hancur.
Tak lama setelah komentar Kementerian Luar Negeri Turki, China menutup sementara konsulatnya di Izmir, Turki, yang menunjukkan hubungan yang tegang antara kedua negara. Duta Besar China untuk Turki Deng Li, mengatakan kepada Reuters bahwa “mengkritik teman Anda di depan umum akan tercermin dalam hubungan perdagangan dan ekonomi.”
Beberapa warga negara Turki juga telah secara misterius ditahan di China, menurut Nikkei Asian Review. Setidaknya enam warga Turki di Uighur telah hilang di Xinjiang sejak tahun 2017, menurut laporan BuzzFeed News.
Business Insider telah menghubungi Kementerian Luar Negeri Turki di Ankara dan Kedutaan Besar Turki di London untuk mengomentari pernyataan OKI dan menghilangnya warga negara Turki di Uighur.
Orang-orang dari komunitas Uighur yang tinggal di Turki, membawa bendera Uighur dan meneriakkan slogan-slogan selama protes di Istanbul, pada 6 November 2018. (Foto: AP Photo/Lefteris Pitarakis)
Perang narasi masih terus berlanjut
Persetujuan tersirat OKI terhadap kamp-kamp penahanan Muslim Uighur di Xinjiang bukan berarti bahwa dunia Muslim telah sepenuhnya menyerah pada China, kata Richardson. Tidak semua negara anggota OKI menyetujui atau mengetahui persetujuan implisit OKI terhadap kamp-kamp di Xinjiang.
Richardson menambahkan bahwa, “Kita tentu memiliki informasi untuk menunjukkan bahwa setidaknya dua anggota OKI sedikit terkejut dengan istilah dalam dokumen OKI.” Dia menolak menyebutkan kedua nama negara tersebut.
Ketika ditanya apakah pernyataan itu dapat dianggap sebagai kemenangan bagi narasi China tentang Uighur, dia mengatakan: “Dalam waktu dekat, ya. Tetapi jika pernyataan kontroversial OKI memiliki efek yang benar-benar mengejutkan bagi beberapa negara anggota OKI yang benar-benar prihatin tentang masalah di Xinjiang, itu hanyalah kemenangan yang menuntut banyak korban,” tambahnya. “Kita hanya bisa menunggu bagaimana pemerintah-pemerintah tersebut akan merespons.”
Keterangan foto utama: Seorang bocah laki-laki mengenakan topeng yang menggambarkan bendera Turkistan Timur—nama lain Xinjiang—dengan motif bendera China menutupi mulutnya, dalam aksi di Istanbul, Turki, pada November 2018. (Foto: Reuters/Murad Sezer)