Negara-kota Singapura telah mulai menerapkan penguncian wilayah yang lebih ketat setelah langkah membendung pandemi COVID-19 yang lebih lunak sebelumnya telah diapresiasi WHO.
Pertempuran Singapura melawan pandemi virus corona memasuki fase baru yang ketat mulai Selasa (7/4). Negara-kota itu memberlakukan langkah-langkah baru yang keras termasuk penutupan sekolah dan tempat kerja untuk mengekang lonjakan infeksi yang ditularkan secara lokal baru-baru ini. Pihak berwenang mengatakan langkah-langkah untuk memutus infeksi akan tetap diberlakukan hingga setidaknya 5 Mei 2020.
Negara pulau itu termasuk yang paling terdampak wabah selama tahap-tahap awal pandemi global. Meski demikian, Singapura berhasil menahan penyebaran penyakit melalui pengujian, pembatasan perjalanan, pelacakan kontak yang agresif, dan rezim karantina yang ketat yang diapresiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan berbagai organisasi lainnya atas model responsnya.
Sekolah, pusat perbelanjaan, dan sebagian besar bisnis di seluruh negara pulau itu tetap terbuka dengan menegakkan pedoman menjaga jarak (physical distancing) spesifik, menanamkan kemiripan normal bahkan ketika jumlah kasus COVID-19 meningkat pada skala yang lebih kecil daripada di tempat lain. Namun, dengan penularan lokal yang kini meningkat, upaya penahanan negara-kota tersebut yang dipuji kini pun dipertanyakan.
“Kami telah memutuskan, alih-alih memperketat secara bertahap selama beberapa minggu ke depan, kami harus membuat langkah tegas sekarang untuk mencegah peningkatan infeksi,” tutur Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong ketika mengumumkan langkah-langkah baru pada Jumat (3/4).
Untuk sebulan berikutnya, hanya layanan penting seperti pasar, supermarket, klinik, rumah sakit, utilitas, transportasi, dan perbankan yang akan tetap buka. Warga setempat didesak untuk tinggal di rumah dan membatasi kontak dengan orang lain sebisa mungkin. Pihak berwenang menegaskan langkah-langkah baru yang ketat dapat diperpanjang lebih jauh jika situasinya tidak kunjung membaik.
“Pemutus infeksi terbaru adalah pembatasan pada bisnis dan sekolah, yang sangat banyak diterapkan pada institusi daripada individu,” tutur Teo Yik Ying, dekan Universitas Nasional Singapura (NUS) Saw Swee Hock School of Public Health, kepada Asia Times.
“Ini berbeda dari penguncian wilayah (lockdown) yang biasa kita lihat diterapkan di Italia, Hubei (China), dan sebagian Korea Selatan, di mana pembatasannya adalah pada pergerakan individu. Jika jelas tindakan pembatasan pada lembaga saat ini tidak cukup untuk mengekang pergerakan orang, saya yakin pemerintah tidak akan ragu untuk menegakkan tindakan yang lebih kuat.”
Asia Times melaporkan, kasus COVID-19 di Singapura melonjak dari sekitar 100 pada awal Maret 2020 menjadi 1.000 pada akhir Maret 2020. Lonjakan itu digambarkan oleh para ahli sebagai “gelombang kedua” dari kasus-kasus yang terkait dengan penduduk yang kembali dari negara-negara yang tertular penyakit menular seperti Amerika Serikat dan Inggris, serta penularan lokal tanpa adanya hubungan yang diketahui dengan pasien yang dikonfirmasi.
Negara-kota itu memiliki 1.375 kasus yang dikonfirmasi dan enam kematian. Sampai saat ini, 344 pasien telah sepenuhnya pulih dari penyakit seperti pneumonia dan telah dikeluarkan dari rumah sakit atau fasilitas isolasi masyarakat. Meski demikian, para ahli percaya virus mampu bertahan dalam tubuh dan berkembang biak kembali jika daya tahan pasien yang pulih melemah.
Lee, dalam pidatonya di televisi, mengatakan pembatasan yang lebih ketat adalah “satu-satunya tindakan efektif untuk memperlambat penularan virus, sehingga kita secara bertahap menurunkan jumlah kasus.” Sementara sebagian besar kasus Singapura awalnya tertular dari luar negeri, sebagian besar kasus baru menginfeksi secara lokal dengan hubungan ke kemungkinan pembentukan mega-cluster baru.
Perdana Menteri Singapura Lee Hsien Loong berpidato pada Dialog Shangri-La IISS di Singapura, 31 Mei 2019. (Foto: Reuters/Feline Lim)
Singapura mencatat lonjakan infeksi satu hari tertinggi pada 5 April. Jumlah yang signifikan dari 120 kasus baru berasal dari asrama pekerja asing yang ramai, yang oleh para ahli dianggap sebagai bom waktu potensial untuk penularan penyakit yang lebih luas. Pihak berwenang sejak itu secara kontroversial menutup dua asrama massal yang menampung sekitar 20.000 pekerja.
Para pekerja yang sebagian besar berasal dari Asia Selatan menampung 12 hingga 20 orang per kamar di tempat tidur bertingkat di dua lokasi yang sekarang disebut “wilayah isolasi”, yaitu Asrama S11 di Punggol dan asrama Westlite Toh Guan dekat Jurong East. Kondisi di sana dilaporkan kotor dengan toilet yang meluap dan tempat tinggal yang penuh sesak yang membuat menjaga jarak tidak mungkin diterapkan.
“Para pekerja migran di asrama yang sempit dan semakin tidak higienis mudah terinfeksi COVID-19. Pihak berwenang Singapura tidak bisa begitu saja membendungnya dengan karantina,” ujar Phil Robertson, wakil direktur Asia di Human Rights Watch. Ia sepakat dengan kritik yang mengatakan langkah-langkah pembatasan ketat berisiko memaparkan individu yang sehat terhadap kemungkinan infeksi yang lebih tinggi.
“Penelitian medis menunjukkan sebanyak seperempat dari kasus COVID-19 tidak menunjukkan gejala, sehingga Kementerian Kesehatan Singapura perlu dengan cepat dan menyeluruh menguji para pekerja untuk menentukan semua orang yang positif, memindahkan mereka keluar dari populasi itu, dan memberikan perawatan kesehatan yang mereka butuhkan,” kata Robertson dalam sebuah pernyataan yang dikirim ke Asia Times.
“Jika tidak, Singapura akan berpotensi dilanda krisis mematikan yang mempengaruhi beberapa orang yang paling rentan di negara ini, sementara pemerintah negara ini bertanya mengapa rakyat mereka tidak dibantu.”
Para pekerja dari India dan Bangladesh diyakini termasuk di antara orang-orang yang terinfeksi di kelompok asrama.
Terlepas dari asrama pekerja asing, sekarang terdapat lebih dari 20 cluster lokal COVID-19, termasuk dua taman kanak-kanak dan panti jompo di mana seorang wanita berusia 102 tahun termasuk di antara yang tertular penyakit.
Lawrence Wong, ketua gugus tugas multi-kementerian COVID-19 Singapura, mengatakan pihak berwenang memilih untuk tidak memaksakan penutupan demi memutus infeksi sebelumnya karena khawatir populasi akan merasa muak, yang pada akhirnya akan merusak kepatuhan publik.
Beberapa orang lain percaya, pihak berwenang juga enggan untuk menutup sektor ekonomi lebih lanjut.
Menurut Wong, dibandingkan dengan negara-negara lain yang telah memberlakukan penguncian wilayah atau pembatasan drastis pada pergerakan dan kegiatan ekonomi, Singapura memperkenalkan langkah-langkah yang lebih ketat pada titik yang relatif awal pada kurva infeksi virus di negara itu.
“Banyak negara telah bergerak ke serangkaian tindakan yang baru saja kami umumkan setelah menyerah dan meninggalkan upaya membendung infeksi. Kami masih berusaha keras untuk melacak kontak, karantina terhadap kontak dekat, dan mencoba untuk membasmi setiap cluster yang terinfeksi.”
Dirk Pfeiffer, direktur Center for Applied One Health Research and Policy Advice (OHRP) di City University of Hong Kong percaya, Singapura telah bertujuan “untuk menemukan kompromi terbaik antara langkah saat ini dan berusaha untuk membentuk masa depan, ketika sebisa mungkin mencoba untuk menghindari instrumen kebijakan yang terang-terangan seperti penguncian wilayah seluruh negara.”
“Itu bukannya tanpa risiko,” tambah Pfeiffer.
Penanganan pandemi corona di Singapura mulai tunjukkan kelemahan. (Foto: Reuters)
“Kita tidak mungkin tahu apa kebijakan yang tepat. Setiap negara perlu mengidentifikasi strategi mereka sendiri, dengan mempelajari dari tempat lain dan memahami populasinya sendiri secara epidemiologis dan sosial.”
Asia Times mencatat, bagaimana langkah-langkah baru yang lebih ketat dari negara-kota itu sudah cukup untuk melandaikan kurva infeksi akan sangat tergantung pada apakah penduduk Singapura dapat bekerja sama dengan pembatasan dan memperhatikan seruan pemerintah untuk tetap di rumah kecuali jika benar-benar diperlukan. Meskipun perjalanan pribadi di Singapura sangat tidak dianjurkan, hal itu tidak secara langsung dilarang.
Meskipun ada seruan eksplisit untuk tinggal di rumah oleh para pemimpin Singapura, banyak pembeli terlihat selama akhir pekan dalam antrian berkelok-kelok di luar toko furnitur Swedia Ikea, beberapa di antara mereka terlihat membawa bayi dan anak-anak.
Gambaran antrean panjang tersebut beredar luas di media sosial hingga membuat kecewa sejumlah netizen yang mempertanyakan apakah langkah-langkah menjaga jarak telah ditindaklanjuti dengan cukup serius.
“Kenyataannya, banyak rumah tangga memerlukan beberapa persiapan kecil atau bahkan modifikasi untuk memungkinkan orang dewasa dan anak-anak menghabiskan waktu lebih lama di dalam rumah saat pembelajaran berbasis rumah atau periode bekerja dari rumah selama sebulan,” tegas Teo.
“Saya jauh lebih optimis kejadian-kejadian tersebut tidak mencerminkan apakah warga Singapura akan atau tidak akan mematuhi seruan agar mereka tetap tinggal di rumah. Hanya dengan melihat lalu lintas di jalan dan jaringan transportasi umum jelas menunjukkan sebagian besar warga negara tidak banyak melakukan pergerakan.”
Walter Theseira, asisten profesor di Singapore University of Social Sciences (SUSS) dan nominasi anggota Parlemen Singapura, percaya negara-kota itu dapat secara bertahap mengekang pembatasan pada pergerakan individu, seperti yang terjadi di negara tetangga Malaysia, jika infeksi lokal tetap mengalami kenaikan.
“Langkah pengetatan berikutnya yang paling jelas adalah mengatur pergerakan pribadi. Namun, logistik dari praktik semacam itu akan sangat signifikan dan tentunya akan memerlukan penegakan aktif oleh polisi dan bahkan mungkin militer sebagai peran pendukung,” katanya kepada Asia Times.
“Seperti negara-negara lain yang telah mengambil langkah itu, itu adalah eskalasi langkah-langkah yang sepenuhnya masuk akal. Namun, saya tidak yakin pemerintah Singapura akan mengambil langkah itu tanpa bukti masih ada penularan substansial yang tidak dapat dikendalikan dan tidak dapat dilacak.”
Untuk meringankan dampak ekonomi pada bisnis, pekerja, dan rumah tangga yang terdampak oleh pembatasan selama sebulan, Singapura meluncurkan paket bantuan COVID-19 ketiga pada Senin (6/4) dengan total 5,1 miliar dolar Singapura atau US $ 3,55 miliar. Paket stimulus terbaru datang setelah paket senilai 48 miliar dolar Singapura atau US$33,6 miliar yang sebelumnya diumumkan pada 26 Maret.
Total pengeluaran yang dialokasikan untuk bantuan COVID-19 sekarang berjumlah 59,9 miliar dolar Singapura (US$41,9 miliar) atau 12 persen dari produk domestik bruto (PDB). Negara Asia Tenggara yang bergantung pada perdagangan dan bergantung pada ekspor itu diproyeksikan menghadapi resesi terburuk meski dengan adanya pengeluaran stimulus besar-besaran untuk meredam dampak dari penurunan ekonomi global yang ditularkan oleh pandemi.
Paket bantuan terbaru akan digunakan untuk mendukung upah, keringanan pungutan, dan pembayaran satu kali untuk warga negara Singapura. Negara-kota itu sekali lagi menarik cadangan nasionalnya untuk mendanai pengeluaran, pertama kalinya dalam sejarah Singapura dua kali menarik cadangan dalam satu tahun.
“Dasar pemikiran di balik paket stimulus besar-besaran adalah proyeksi situasinya akan menjadi lebih buruk sebelum menjadi lebih baik,” menurut analis akademik dan politik Mustafa Izzuddin.
“Harapan dari paket ini adalah untuk memberikan insentif kepada warga Singapura untuk tinggal di rumah agar dapat membendung virus dan mencegah berbagai cluster tertular lebih lanjut.”
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Pekerja melihat keluar dari asrama mereka di Westlite Dormitory, salah satu dari dua pekerja asrama dikukuhkan sebagai area isolasi untuk mengekang penyebaran penyakit coronavirus (COVID-19) di Singapura 6 April 2020. (Foto: REUTERS / Edgar Su)
Penanganan Pandemi di Singapura Mulai Tunjukkan Kelemahan