
Pihak berwenang menyebutkan penembakan massal Thailand, yang jarang terjadi di negara itu, dimulai atas perselisihan real estate dan berakhir dengan setidaknya 29 orang tewas dan 58 orang terluka. Penembakan Thailand pada Sabtu-Minggu, 8-9 Februari 2020 itu merupakan insiden yang nyaris tidak pernah terjadi di negeri Gajah Putih itu, meski dengan tingginya kepemilikan senjata.
Pihak berwenang Thailand membunuh pria bersenjata itu di dekat lemari pendingin penyimpan makanan di supermarket Foodland di mal yang dia teror selama penembakan massal paling mematikan di Thailand.
Tepat sebelum jam 9 pagi pada Minggu (10/2) pagi, 18 jam setelah pelaku penembakan Thailand menembakkan tembakan pertama secara terus-menerus yang menewaskan sedikitnya 29 orang dan menyebabkan 58 orang lainnya luka-luka di Kota Korat, timur laut Bangkok.
Perdana Menteri Thailand Prayuth Chan-ocha mengatakan, amukan dimulai dengan sengketa real estate. Pria bersenjata itu penuh amarah dan membawa senjata yang dicuri dari pangkalan militer. Serangan itu berakhir dengan ratusan pembeli melarikan diri ketika tembakan pecah, yang mengarah ke serangan polisi yang gagal, tindak lanjut, dan akhirnya pria bersenjata berusia 32 tahun itu tumbang ketika masih mengenakan perlengkapan militer dan dikelilingi oleh keranjang belanja plastik merah.
Baca Juga: Akibat Virus Corona, Rasisme Anti-China di Thailand Marak
Campuran pertumpahan darah dan banalitas telah menjadi pemandangan sangat umum di Amerika Serikat, bahkan ketika penembakan massal semacam itu muncul di negeri-negeri yang tidak terlalu terbiasa dengan kekerasan seperti Selandia Baru dan Norwegia. Dalam tanda yang disebut oleh beberapa psikolog sebagai penularan, pria bersenjata pelaku penembakan Thailand konon meniru para pelaku penembakan massal lainnya dengan mengunggah pesan dan video di Facebook, yang menutup akunnya dalam beberapa menit.
Namun, di Thailand, di negara di mana pembunuhan massal masih jarang terjadi meskipun dengan adanya kepemilikan senjata tingkat tinggi, kemunculan tiba-tiba peristiwa mengerikan dalam kompleks belanja berlantai tujuh itu telah menimbulkan pertanyaan lebih dalam tentang apa yang terjadi, respons pemerintah, dan kekuatan yang mendasari yang menyebabkan seorang pria muda membunuh begitu banyak orang yang tak berdosa.
“Ini akan dilihat sebagai bukan hanya kasus individual, tetapi sebagai tanda ketegangan yang mendasarinya,” tutur Phil Robertson, wakil direktur divisi Asia Human Rights Watch.
“Ini tentang fakta bahwa orang benar-benar putus asa. Situasi ekonomi benar-benar tidak berjalan dengan baik. Banyak orang sangat tidak bahagia.”
Para pejabat Thailand awalnya berkata pria itu, Sersan Jakkrapanth Thomma, hanya “berubah gila”. Kemudian, pada Minggu (9/2) pagi, Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha menegaskan pria bersenjata itu mengamuk marah atas “masalah tanah”, mengutip perselisihan tentang penjualan rumah. Itu adalah konflik, menurut Prayuth, yang telah mendidih selama berhari-hari dan bisa diselesaikan tanpa kekerasan.
Korat, kota ramai berpenduduk 166.000 jiwa antara dataran tengah dan timur laut Thailand yang belum berkembang, seharusnya menjadi tempat orang berkumpul. Berlokasi di Jalan Raya Persahabatan yang awalnya dibangun oleh Amerika Serikat pada 1950-an, kota yang sederhana itu adalah pusat strategis bagi militer Thailand, yang memiliki beberapa pangkalan di daerah itu, dan pertanian regional, dengan pabrik pengolahan untuk beras, gula tebu, wijen, dan buah.
Sersan Jakkrapanth yakin ada orang yang memiliki piutang kepadanya. Pada Sabtu (8/2), ia tiba untuk pertemuan tentang pembayaran dari kesepakatan dengan Anong Mitrchan, yang terkenal karena menjual real estate kepada para perwira militer di Korat.

Penembakan di Thailand dilakukan oleh tentara yang mengamuk. (Foto: Military)
Baca Juga: Sulitnya Perempuan Mempimpin di Asia Tanpa Koneksi
Menurut laporan The New York Times, hingga kini masih belum jelas apakah Anong adalah target kemarahannya atau apakah Anong memang melakukan kesalahan. Namun, Anong berada di pusat pertikaian yang sudah berlangsung lama, menurut pihak berwenang, dan Anong tidak sendirian. Menantu lelakinya, seorang perwira atasan dari komandan sersan Kolonel Anantharot Krasae berada di sana di rumahnya bersama dengan rekan bisnis Anong, menurut suami Anong.
Tentara itu menembak mereka bertiga. Hanya rekan bisnis Anong yang selamat dengan menderita luka serius. Setelah gelombang kekerasan awal, foto sejumlah peluru muncul di laman Facebook prajurit itu.
“Tidak ada yang bisa lolos dari kematian,” tulis pelaku penembakan Thailand di laman Facebook-nya.
“Kaya dari menipu dan mengambil keuntungan dari orang-orang. Apakah mereka pikir mereka dapat mengumpulkan uang untuk dihabiskan di neraka?”
Sersan Jakkrapanth pun melarikan diri, melaju ke pangkalan militer di mana pihak berwenang mengatakan dia menembak dan membunuh orang ketiga sebelum mencuri Humvee militer dan sejumlah besar senjata. Menembak keluar jendela, Jakkrapanth mencapai tempat parkir pusat perbelanjaan Terminal 21 beberapa saat setelah pukul 3 pagi, sekitar waktu polisi menerima panggilan pertama mereka tentang penembakan di rumah Anong.
Mal lokasi penembakan massal Thailand itu masih dipenuhi keramaian di akhir pekan Sabtu (8/2) yang sibuk. Bioskop penuh. Keluarga, pasangan, remaja semuanya menjejali toko ponsel, toko mainan Toys “R” Us, dan tempat makan.
Mereka kemudian mendengar suara tembakan. Video yang diambil di luar menunjukkan orang-orang membungkuk untuk berlindung ketika peluru melintasi area itu. Beberapa orang terbunuh di luar mal, beberapa terbunuh saat berjalan, sementara yang lain tertembak di dalam mobil.
Semua orang tidak mengetahui dengan jelas apa yang sedang terjadi. Kul Kaemthong (53), seorang pembersih, mengaku sedang istirahat sekitar pukul 5 petang ketika dia pertama kali mendengar orang tertembak. Melihat ke luar jendela-jendela food court lantai empat, dia melihat mayat di sebelah sepeda motor, sementara mayat lain tergeletak di samping mobil.
Kul mulai berlari, lantas mendengar lebih banyak suara tembakan.
Serentetan suara tembakan terdengar berturut-turut dan juga terdengar di setidaknya satu video dari tempat kejadian, yang menunjukkan penggunaan senjata berat dan lebih dari satu senjata.

Warga Thailand berbondong-bondong melindungi diri dari rentetan tembakan prajurit. (Foto: CNBC)
Mike Picard, direktur penelitian untuk GunPolicy.org yang melacak penggunaan senjata api di seluruh dunia, mengatakan foto-foto dan suara yang direkam oleh orang-orang di tempat kejadian menunjukkan setidaknya enam senjata: satu atau dua pistol, termasuk senjata api pribadi penembak, tiga senapan serbu HK33, dan dua senapan mesin M60 yang lebih besar.
Pria bersenjata itu, menurut Picard, tampaknya membawa sekitar 1.000 butir amunisi. Media berita lokal melaporkan Sersan Jakkrapanth adalah seorang spesialis penembak jitu jarak jauh.
Viparat (39) dan suaminya Somwang Kwangchaithale (39) sedang duduk di bioskop di lantai lima mal ketika lampu menyala dan pengumuman darurat datang melalui pengeras suara sekitar pukul 5.30 petang. Awalnya mereka tetap berlindung di teater. Kemudian para staf mal memindahkan mereka ke kantor dengan pintu yang terkunci. Sekitar seratus orang dari mereka berlindung di sana sampai sekitar pukul 10 malam, ketika pesan dari pihak berwenang muncul: Mereka akan dievakuasi.
“Mereka memberi tahu kami, mereka akan mematikan lampu,” tutur Somwang. “‘Tetap berlindung dan jangan membuat suara keras.”
Ketika mereka sampai di ruang bawah tanah, pria bersenjata itu mendengar mereka dan mulai menembak.
“Semua orang yang berkumpul di tempat parkir mulai berteriak dan berlari menyelamatkan hidup mereka,” ujar Viparat.
“Tim penyelamat membantu kami keluar. Polisi, penyelamat, militer, banyak petugas berbeda.”
Pada saat itu, pihak berwenang telah meluncurkan ke mode operasi penuh. Tak lama setelah jam 8 malam, polisi menyatakan pria bersenjata itu adalah orang yang paling dicari dan mendesak masyarakat untuk memberi informasi terkait, menyajikan foto yang memperlihatkan dia tampak bosan dengan tatapan mata acuh tak acuh.
Mereka juga mulai memindahkan banyak orang. Mereka mendesak orang-orang yang dievakuasi untuk “mengangkat tangan” dan mengidentifikasi diri mereka sendiri. Mereka khawatir pria bersenjata itu bersembunyi di tengah kerumunan.
Di luar, puluhan pekerja penanggap darurat berpakaian oranye mendirikan rumah sakit darurat, membantu para korban dan orang-orang yang dievakuasi. Para kerabat dan teman-teman dari orang-orang yang diyakini terjebak di mal dengan cemas menunggu berita tentang nasib mereka. Kebuntuan itu berlangsung berjam-jam dan seluruh kota tampaknya terjaga.
Pukul 3 pagi pada Minggu (9/2), pihak berwenang menggelar upaya penangkapan atau membunuh pria bersenjata itu. Rentetan tembakan menghantam dan memantul, tetapi pihak berwenang harus mundur. Seorang petugas telah tertembak dan dia kemudian meninggal. Seorang pejabat mengatakan orang itu adalah yang terakhir terbunuh selain pria bersenjata itu sendiri.
Serangan terakhir terjadi ketika para pejabat tampaknya melakukan penutupan, tegang, dan menolak untuk menjawab pertanyaan dari wartawan. Rincian akhirnya keluar melalui video yang diunggah ke Twitter, dengan para pejabat mengonfirmasi apa yang telah disaksikan orang-orang di dalamnya. Pria bersenjata itu sudah mati, tubuhnya terbaring di luar kulkas pendingin dengan pintu terbuka, di dekat dua mayat lainnya, salah satunya seorang polisi sementara mayat wanita lain tampaknya pegawai supermarket.
Dilansir dari The New York Times, Perdana Menteri Prayuth terdengar defensif ketika ditanya tentang operasi itu dan mengapa perlu waktu lama untuk pengepungan berakhir.

Penembakan terjadi di Thailand baru-baru ini, menewaskan 20 orang di pusat perbelanjaan. (Foto: The NY Times)
“Tidakkah kalian mengerti ketika ada warga sipil di mal.”
Tanpa bukti, Prayuth menegaskan, pria bersenjata itu telah lama bermasalah.
“Kita harus menyelidiki kesehatan mentalnya. Saya adalah seorang kepala pasukan sebelumnya. Kita harus mengakui jika mereka memiliki masalah.”
Namun, bagi para penyintas serangan itu, kesehatan mental pelaku penembakan Thailand jauh lebih penting daripada nyawa para korbannya. Di lift di rumah sakit Maharaj, seorang wanita muda terisak ketika dia berbicara di telepon tentang seorang kerabat yang berada dalam keadaan kritis.
Pada Minggu (9/2) petang, ratusan orang berkumpul di dekat mal untuk berjaga-jaga, mengantre untuk menulis penghormatan kepada para korban jiwa dalam serangan, dan menyatakan dukungan untuk kedamaian dan para penyintas, ritual yang secara ironis sama akrabnya seperti penembakan massal yang baru saja terjadi.
“Masyarakat saat ini telah berubah menjadi semacam ini?” ucap Thusanee Witchartorntakul (53), dosen universitas yang datang ke upacara penghormatan pada Minggu (9/2) malam, menangis setelah semalaman tidak tidur.
“Sangat menghancurkan. Hati saya tidak bisa menanggung kesedihan ini.”
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Penembakan yang menewaskan 29 orang Thailand berlangsung selama 18 jam. (Foto: France 24)
