Boeing 737 MAX 8 Dilarang Terbang di Seluruh Dunia, Kecuali AS
Global

Penerbangan Selama Pandemi: Mahal, Banyak Tuntutan, dan Berbahaya

Berita Internasional > Penerbangan Selama Pandemi: Mahal, Banyak Tuntutan, dan Berbahaya

Nathan Thompson dari Foreign Policy dengan berani menyambut penutupan perbatasan dan kekacauan bandara untuk meliput salah satu dari beberapa pesawat yang masih terbang.

Nathan Thompson dari Foreign Policy menyadari dia kehilangan paspor di tengah perjalanan putus asa kembali ke Australia. Dengan wajah pucat, dia menarik tas dari lantai dan meraba-raba di dalam, menyingkirkan sweter dan makanan ringan, tetapi dia tidak menemukan paspornya.

Kesalahan itu akan berdampak mahal pada saat terbaik. Lebih buruk lagi sekarang, ketika ia mengantar istrinya yang hamil ke rumah selama pandemi COVID-19. Apakah Thompson harus menyaksikan kelahiran anak pertamanya melalui Skype?

Thompson dan istrinya telah meninggalkan rumah mereka di Laos, negara berpenduduk 7 juta orang di antara Thailand dan Vietnam, karena kekhawatiran tentang layanan kesehatan.

Baca Juga: Jadwal Pilpres AS 2020 Terganggu Corona, Akankah Tetap Terlaksana?

“Standar perawatan medis di Laos sangat buruk dan evakuasi medis ke negara lain sekarang sangat sulit,” menurut pemerintah Australia dalam sebuah pernyataan pada 23 Maret 2020.

“Perbatasan darat ke Vietnam sekarang ditutup. Semua perbatasan dengan Thailand akan ditutup, kecuali untuk beberapa lalu lintas komersial.”

Vietnam sangat ketat dalam menegakkan penutupan perbatasan, bahkan memecah-belah keluarga. Para pejabat Vietnam memisahkan Javier Zuñiga Segura dari istri dan putranya di bandara Ho Chi Minh pada 20 Maret.

“Saya ditahan selama sepuluh jam. Pada akhirnya, mereka memberi saya dua pilihan: Kembali ke Thailand atau Spanyol,” imbuhnya.

“Saya bisa memahami jika mereka tidak ingin memberikan visa kepada orang asing dari Eropa, tetapi saya sudah tinggal dan bekerja di sana. Saya punya keluarga dan visa lima tahun,” ungkapnya.

Dia harus membayar US$300 untuk penerbangan kembali ke Bangkok, Thailand dan terpaksa melewatkan ulang tahun pertama putranya.

Pada 17 Maret, perjalanan yang biasa dilakukan Thompson dan istrinya dari Laos ke Thailand untuk kunjungan dokter sudah tampak tidak mungkin terjadi. Penutupan perbatasan yang terbukti sangat kacau masih mengancam. Pada hari yang sama, pemerintah Australia sangat merekomendasikan agar siapa pun yang ingin kembali ke Australia harus segera melakukannya.

Secara resmi, ada lebih banyak kasus infeksi virus corona baru di Australia, dengan 5.350 kasus hingga 3 April dibandingkan dengan 10 kasus di Laos, meskipun beberapa pihak mempertanyakan jumlah kasus sebenarnya di Laos. Namun, Thompson menduga sistem perawatan kesehatan Australia memiliki peluang lebih baik untuk menghadapi krisis. Penerbangan sudah penuh dan harga tiket naik. Situs Singapore Airlines macet beberapa kali sebelum mereka akhirnya memesan penerbangan pada 19 Maret.

Bandar Udara Internasional Wattay di ibu kota Laos, Vientiane sangat sepi ketika mereka tiba. Setengah dari penerbangan di layar dibatalkan. Namun, penerbangan mereka masih menjanjikan untuk saat itu. Ben Spaul, turis Inggris, dan teman-temannya berdiri di bawah layar keberangkatan mengenakan masker hitam. Mereka juga berharap untuk bertolak ke Australia setelah memangkas perjalanan mereka di Asia Tenggara.

Jumlah penerbangan yang tersedia sangat sedikit berarti mereka harus menghabiskan 12 jam di bandara Singapura, terbang ke Bali, dan dari sana pergi ke Cairns, Queensland, Australia, di mana semua enam pemuda itu berharap untuk dikarantina bersama. Ketika Thompson check-in dengan mereka, mereka berhasil ke Singapura sebelum maskapai menghentikan penerbangan lanjutan mereka. “Kami harus terbang ke Sydney dari Singapura,” tulis Spaul di pesan Whatsapp. “Namun, kami masih belum mendapatkan tas kami.”

Virus Corona

Ilustrasi turis di bandara yang mengenakan masker untuk menghindari virus corona. (Foto: Bangkok Post).

Baca Juga: Mengapa Produksi Vaksin Corona Lebih dari Setahun dan Tergolong Cepat?

Backpacker Prancis Descot Pablo dan Alice berencana untuk berlindung di Indonesia, salah satu dari sedikit negara yang masih menerima pengunjung Prancis setelah kasus-kasus di Prancis melonjak hingga 64.338 pada 2 April.

“Kami tiba di Laos pada 12 Maret dan semuanya mulai berubah,” ujar Pablo.

“Kami berencana pergi ke Vietnam dan Kamboja, tetapi pada hari kami tiba Kamboja dan Vietnam mulai menolak visa orang Prancis. Ada banyak jenis informasi yang beredar dan itu sangat mengkhawatirkan.”

“Kami memesan penerbangan yang tiba di Indonesia pada Sabtu, 21 Maret, tetapi kami mendengar mereka menutup perbatasan,” Pablo menjelaskan. “Kami harus memesan penerbangan lain untuk sampai ke sana sebelum perbatasan ditutup pada tengah malam 19 Maret. Kami kehilangan €400 karena itu.”

Pada awal Maret 2020, penyebaran awal pandemi COVID-19 menyebabkan maskapai penerbangan memangkas harga untuk mendorong penumpang yang gelisah untuk bepergian ke tujuan yang, pada waktu itu, dianggap aman. Namun, penutupan perbatasan baru-baru ini telah menyebabkan harga melonjak. Sulit untuk mendapatkan angka pastinya karena tidak ada sistem yang andal melacak tarif penerbangan. Namun, Haydn Long dari perusahaan perjalanan Australia Flight Centre mengatakan pengamatan terhadap harga penerbangan yang naik tajam sudah tepat.

“Pada Februari dan awal Maret, ada tarif yang sangat murah,” ucap Long.

“Kemudian pembatasan perbatasan diberlakukan dan maskapai mengurangi kapasitas secara signifikan. Kursi telah berada di tingkat premium karena Anda beralih dari perang harga ke sangat sedikit kursi yang tersedia.”

Agen perjalanan dan maskapai penerbangan telah berjuang keras untuk mengatasi fluktuasi liar. Maskapai penerbangan Australia Qantas dan anak perusahaan berbiaya rendah Jetstar mengumumkan 90 persen penerbangan internasional dan 60 persen layanan domestik akan diberhentikan.

Brea Wright, mahasiswa di Universitas Queensland di Brisbane, telah berada di Bali untuk kompetisi selancar, tetapi berjuang untuk membayar penerbangan pulang setelah acara tersebut dibatalkan.

“Saya tidak mampu membeli tiket pesawat. Saya harus menelepon ke orang tua saya dan kami pun memesan penerbangan. Namun, itu dibatalkan, jadi kami harus mengubahnya dan membayar AUD$300 (sekitar US$180) lebih. Ayah saya baru saja mulai bekerja sebagai perawat, dan AUD$ 1.200 (sekitar US$720) yang ia bayarkan bukanlah uang yang sedikit.” Maskapai murah biasanya menawarkan penerbangan satu arah antara Australia dan Bali dengan harga sekitar US$100.

Di meja Singapore Airlines, seorang staf yang kelelahan melihat sekeliling untuk mencoba menemukan paspor Thompson sebelum menggelengkan kepalanya. Dia mengaku belum istirahat dalam 12 jam. Di meja sebelah, sepasang suami istri dari Amerika Serikat berdebat dengan staf lain yang kelelahan. Pasangan itu sangat ingin kembali ke Los Angeles untuk menjemput dua anak mereka. Mereka sedang berlibur di Thailand, meninggalkan anak-anak mereka dengan saudara. Seharusnya itu perjalanan sekali seumur hidup, tetapi sekarang mereka melambaikan kartu kredit dan berusaha mati-matian untuk naik salah satu dari beberapa penerbangan yang tersisa ke rumah.

Thompson kembali ke istrinya dengan tangan kosong tepat ketika meja informasi mengeluarkan pengumuman untuk melihat apakah ada yang menemukan paspornya. Ketika sang istri melihat Thompson datang, dia mengangkat paspor dengan tatapan minta maaf, yang selama ini disimpan di tasnya untuk diamankan.

Saat itu pukul 10 pagi di Brisbane ketika mereka tiba, sembilan jam sebelum Australia menutup perbatasan. Ketika mereka berjalan turun dari pesawat, dua orang dengan gaun rumah sakit hijau, sarung tangan, dan pelindung wajah dari plastik berdiri di puncak garbarata. Mereka memiliki formulir untuk diisi semua orang dan secara resmi menyatakan kesehatan mereka baik.

Pada saat penulisan artikel, Nathan Thompson dari Foreign Policy dikarantina di sebuah apartemen sewaan kecil di suatu tempat di pantai Queensland. Untungnya, dia dan istri masih baik-baik saja. Belum ada pertengkaran sejauh ini. Sang istri telah berjalan di sekitar apartemen dengan tatapan mata liar, mencoba mengukur suhu tubuhnya sendiri. Thompson mengaku senang akhirnya bisa kembali ke Australia.

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Terbang selama pandemi corona relatif sangat berbahaya dan mahal. (Foto: The New York Times/Chang W. Lee)

Penerbangan Selama Pandemi: Mahal, Banyak Tuntutan, dan Berbahaya

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top