
Seperti halnya virus-virus lain yang pernah menjangkiti penduduk dunia di masa silam, corona hanya jadi salah satu episode yang akan berlalu. Tak ada alasan untuk berpikir keras atau cemas.
Kepulauan Faroe adalah tanah vulkanik kecil yang menyembul dari Samudra Atlantik utara. Di tepi luar Eropa, mereka terisolasi dan dingin; pada 1846 mereka adalah salah satu tempat tersehat di dunia.
Namun pada tahun itu, seorang tukang kayu, penduduk asli pulau itu, kembali dari Kopenhagen dengan batuk yang parah. Dia menderita campak.
Virus itu telah hilang dari Kepulauan Faroe selama lebih dari 60 tahun, dan, pada hari-hari sebelum vaksin campak, beberapa penduduk pulau itu memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut. Selama lima bulan berikutnya, 6.100 dari 7.900 penduduk pulau itu jatuh sakit. Lebih dari seratus meninggal, menurut laporan TIME.
Baca Juga: Bagaimana Asia Selatan Akan Berjuang Hadapi Wabah Corona?
Populasi pulau tersebut adalah laboratorium alami untuk epidemiologi (studi tentang dinamika populasi penyakit menular). Epidemi campak pada 1846 menarik, karena menandai awal epidemiologi modern.
Pemerintah Denmark (penguasa jauh di atas pulau-pulau kecil ini) mengirim Peter Panum (seorang dokter muda yang taat) ke tempat kejadian. Laporannya membuktikan tanpa keraguan bahwa penyakit itu disebarkan melalui kontak langsung.
Khususnya, epidemi campak di Faroes terbakar sendiri dalam waktu lima bulan. Ketika virus itu kehabisan inang baru, rantai infeksi pun padam. Di sinilah letak salah satu pelajaran paling penting dari epidemi ini.
Virus campak memiliki “ukuran komunitas kritis” 250.000, yang berarti bahwa tanpa populasi manusia yang padat di atas ambang batas itu, virus itu secara alami akan mendorong dirinya sendiri menuju kepunahan, dengan tidak ada orang di dekatnya yang tersisa untuk tertular dan meneruskannya.
Kelangsungan hidup virus campak (seperti halnya parasit apa pun, sangat terkait dengan dinamika populasi inangnya.
Sejarah virus pernapasan seperti campak dapat membantu memahami virus corona saat ini, tulis Kyle Harper di TIME.
Manusia adalah hewan yang khas dalam jumlah dan sifat patogen kita, dan terutama dalam jumlah virus pernapasan yang menginfeksi kita. COVID-19 adalah penantang baru yang akan masuk daftar permanen, tetapi kita menyaksikan sebuah pola dalam sejarah manusia terulang di depan mata kita, Kyle Harper memaparkan.
Apa yang sering gagal kita kenali adalah Homo Sapiens berfungsi sebagai inang bagi sejumlah besar virus pernapasan. Pilek, bersin, dan batuk yang mengintai kita sejak lahir hingga usia tua adalah ciri khas kehidupan sebagai manusia.
Secara keseluruhan, manusia terkena puluhan virus pernapasan yang telah berevolusi untuk mengeksploitasi kita. Itu aneh.
Pertimbangkan kumpulan penyakit kerabat primata terdekat kita, simpanse. Karena keterkaitan genetik kita, manusia dan simpanse memiliki sistem kekebalan yang serupa. Namun, hanya sekitar 24 virus yang pernah diidentifikasi pada simpanse, dan banyak di antaranya sebenarnya adalah virus manusia yang telah secara sementara menginfeksi populasi simpanse (kadang-kadang dengan efek mengerikan) ketika terpapar pengamat manusia.
Simpanse adalah inang alami hanya beberapa virus, dan ini pada umumnya agak jinak. Sebagian besar parasit yang disesuaikan dengan simpanse adalah cacing atau protozoa. Alasan untuk pola ini berkaitan dengan ukuran dan gaya hidup populasi mereka, Kyle Harper menjelaskan.
Simpanse hidup dalam kelompok kecil dan sering bergerak, yang membuat mustahil bagi virus pernapasan menyebabkan penyakit akut untuk beradaptasi dengannya. Singkatnya, ‘saudara’ simpanse kita (yang tinggal di hutan, makan monyet mentah untuk sarapan, tidak pernah mandi, dan membiasakan mengunyah kotoran mereka sendiri) hanya menderita sebagian kecil dari keragaman virus yang menjangkit kita.

Ilustrasi pandemi flu 1918, salah satu penyakit yang juga menghebohkan dunia seperti halnya corona sekarang. (Foto: History)
Baca Juga: WHO Resmi Nyatakan Krisis Virus Corona sebagai Pandemi
Kumpulan penyakit manusia yang khas (dan susunan virus pernapasan khususnya) adalah produk dari sejarah khas kita sebagai spesies. Kita adalah kera bersin.
Beberapa juta tahun yang lalu, nenek moyang kita akan terserang oleh sekelompok parasit primata, seperti simpanse yang masih ada sampai sekarang. Namun kemudian hominini menemukan api dan menjalani serangkaian perubahan fisiologis yang dramatis yang membuat kita berbeda dari kera lain.
Selama manusia purba adalah pengumpul, ukuran populasinya terbatas dan kelompok manusia hanya berukuran kecil. Kolam kuman pemburu-pengumpul mungkin lebih dekat dengan kolam kuman simpanse daripada kumpulan penyakit menular manusia modern.
Putaran pertama datang bersama Revolusi Neolitikum, dimulai sekitar 12.000 tahun yang lalu. Penemuan pertanian di berbagai wilayah di dunia mengubah masyarakat manusia dan sumber kuman mereka.
Lebih banyak makanan berarti lebih banyak orang, dan populasi meledak. Domestikasi hewan membawa kita ke dalam kontak yang lebih dekat dengan patogen zoonosis, beberapa di antaranya mengembangkan kemampuan untuk menginfeksi manusia.
Namun, virus pernapasan hebat yang merupakan ciri sejarah manusia bukanlah konsekuensi langsung dari Revolusi Neolitik. Selama ribuan tahun, jumlah populasi manusia terlalu rendah, dan pemukiman manusia terlalu kecil, untuk mempertahankan penularan penyakit pernapasan yang paling ganas, Kyle Harper memaparkan.
Di Zaman Besi (periode pembangunan kerajaan besar di Eurasia sekitar dua hingga tiga ribu tahun yang lalu) pemukiman di China, Asia Selatan, Timur Dekat, dan Mediterania ditingkatkan. Roma kuno menjadi kota pertama dengan sejuta penduduk. Mungkin tantangan evolusioner tersulit yang harus dihadapi semua parasit adalah bagaimana mentransmisikan antar-inang.
Seperti halnya campak, COVID-19 disebabkan oleh virus yang tampaknya menular, terutama melalui tetesan yang dikeluarkan ketika korban batuk atau bersin. Penularan pernapasan umumnya membutuhkan kontak dekat dan ukuran populasi yang besar.
Dengan manusia yang hidup berdekatan, menjadi lebih mudah bagi patogen untuk menyelesaikan tantangan itu, melompat dari satu inang ke inang lain, dari paru-paru ke paru-paru, di tetesan yang mengambang di udara.
Jika kita menyamakan sejarah “peradaban” dengan kisah masyarakat yang mampu membangun kota-kota besar, maka sejarah peradaban identik dengan periode di mana primata pandai mulai mengumpulkan sejumlah aneh virus pernapasan.
Sebagian besar sejarah ini tidak tercatat dalam dokumen-dokumen tradisional, atau paling tidak diingat dalam referensi yang samar-samar terhadap wabah. Namun semakin lama, sejarah tersembunyi penyakit manusia terungkap oleh bukti genetik.
Pohon keluarga virus campak, misalnya, mengungkapkan bahwa campak saat ini diturunkan dari penyakit hewan pengerat yang melompat ke ternak dan kemudian ke manusia. Ada metode matematika canggih untuk memperkirakan skala waktu dari hubungan evolusi ini.
Dalam kasus campak, satu studi baru (Kyle Harper ikut menjadi kontributor) memperkirakan bahwa campak berbeda dari Rinderpest, virus ternak yang sekarang sudah punah yang merupakan kerabat terdekatnya, pada milenium pertama SM.
Perkiraan ini berpusat hampir tepat dalam sejarah manusia, ketika kota-kota terbesar pertama kali melewati “ukuran komunitas kritis” untuk pembentukan virus campak.
Apa yang ditunjukkan adalah, salah satu virus pernapasan manusia yang paling berbahaya, muncul secara instan dengan munculnya peradaban itu sendiri. Implikasi yang lebih luas mungkin adalah manusia berada di bawah serangan terus-menerus, dan perkembangan sosial manusia telah memicu evolusi banyak patogen kita.
Keberhasilan kita dalam mengambil alih bumi dan menguasai sumber dayanya telah menjadikan kita inang yang menarik, Kyle Harper menegaskan.
Maka, sejarah penyakit manusia dapat membantu kita memahami, wabah virus corona saat ini adalah bagian dari lintasan unik kita sebagai suatu spesies. Setidaknya tujuh spesies virus corona (beberapa di antaranya ringan dan lazim, beberapa di antaranya langka dan ganas) dapat menginfeksi manusia, menggunakan paru-paru kita sebagai tempat pementasan untuk skema replikasi genetik mereka.
Virus corona yang baru dapat memantapkan dirinya secara permanen di jaringan global paru-paru manusia, atau seperti virus corona SARS, mungkin terhenti karena intervensi kesehatan masyarakat global yang masif.
Pada tahap ini, sepertinya yang pertama lebih mungkin, dan COVID-19 akan menjadi tambahan terbaru dalam daftar patogen manusia. Virus itu baru, tetapi polanya sudah tua. Seiring kita melanggar batas alam, dan berkembang menuju delapan miliar orang, polanya akan terus berulang.
Ini adalah wabah kesuksesan kita sebagai spesies, Kyle Harper menyimpulkan.
Penerjemah: Aziza Fanny Larasati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Ilustrasi manusia dan hewan peliharaannya yang mengenakan masker demi menghindari terpapar virus corona. (Foto: Sixth Tone)
