[Berita Foto] Waspada Corona, Thailand Terapkan Situasi Darurat dan Tutup Perbatasan
Belajar Politik

Perang Tak Kasat Mata Lawan Corona dan Krisis Kepemimpinan

Berita Internasional > Perang Tak Kasat Mata Lawan Corona dan Krisis Kepemimpinan

Bukan menutup perbatasan negara atau membiarkan kota terkunci, ini solusi menghadapi COVID-19 versi sejarawan Yuval Noah Harari.

Yuval Noah Harari, sejarawan cum penulis buku beken Sapiens: A Brief History of Humankind dan Homo Deus: A Brief History of Tomorrow menulis keresahannya di TIME baru-baru ini. Opini yang kemudian diterjemahkan oleh Sukron Hadi itu secara garis besar menyayangkan absennya Negara dalam memerangi virus yang membunuh ribuan orang di seluruh dunia, COVID-19.

Menurut sejarawan Israel tersebut, banyak orang menyalahkan epidemi virus corona pada globalisasi, dan menyebut, satu-satunya cara menyetop wabah adalah dengan deglobalisasi dunia. Bangun tembok, batasi perjalanan, kurangi perdagangan. Karantina jangka pendek sangat penting untuk menghentikan epidemi, tapi isolasi jangka panjang akan menyebabkan keruntuhan ekonomi tanpa menawarkan perlindungan nyata dari penyakit menular ini. Sebaliknya, penangkal sesungguhnya dari epidemi bukanlah segregasi, melainkan kerja sama.

Epidemi membunuh jutaan orang jauh sebelum era globalisasi saat ini. Pada abad ke-14 tidak ada pesawat terbang dan kapal pesiar, namun Black Death menyebar dari Asia Timur ke Eropa Barat dalam waktu sedikitnya lebih dari satu dekade. Wabah ini menewaskan antara 75 juta dan 200 juta orang-lebih dari seperempat populasi Benua Eropa dan Asia. Di Inggris, empat dari sepuluh orang meninggal. Kota Florence kehilangan 50.000 dari 100.000 penduduknya.

Baca Juga: Penanganan Pandemi COVID-19, Kegagalan Terbesar Trump

Pada Maret 1520, pembawa cacar tunggal-Francisco de Eguía-mendarat di Meksiko. Pada saat itu, Amerika Tengah tidak ada kereta, bus, atau bahkan keledai. Namun pada Desember, epidemi cacar menghancurkan seluruh Amerika Tengah, membunuh kira-kira hingga sepertiga dari populasi.

Pada 1918, jenis flu yang sangat ganas berhasil menyebar dalam beberapa bulan ke penjuru dunia. Ini menginfeksi setengah miliar orang-lebih dari seperempat spesies manusia. Diperkirakan flu itu menewaskan 5 persen populasi India. Di pulau Tahiti 14 persen meninggal. Di Samoa 20 persen. Secara keseluruhan, pandemi ini menewaskan puluhan juta orang-dan mungkin 100 juta jiwa-dalam waktu kurang dari setahun. Lebih dari jumlah korban Perang Dunia I dalam empat tahun pertempuran brutal.

Sejak 1918, umat manusia menjadi semakin rentan terhadap epidemi, karena kombinasi populasi yang tumbuh dan alat transportasi yang lebih baik. Sebuah kota metropolitan modern seperti Tokyo atau Mexico City menyediakan tempat yang subur bagi patogen/parasit untuk mencari inangnya. Jauh lebih subur daripada Florence abad pertengahan. Jaringan transportasi global saat ini jauh lebih cepat daripada pada tahun 1918. Virus memiliki akses dari Paris menyebar Tokyo dan Mexico City dalam waktu kurang dari 24 jam. Karena itu kita seharusnya menyadari bahwa kita hidup di neraka yang menginfeksi, dengan satu demi satu wabah mematikan.

Namun, kasus dan dampak epidemi telah turun secara dramatis. Meskipun wabah mengerikan seperti AIDS dan Ebola, pada abad ke-21 epidemi-epidemi ini telah membunuh proporsi manusia yang jauh lebih kecil daripada di masa sebelumnya sejak Zaman Batu. Ini karena pertahanan terbaik manusia terhadap patogen/parasit bukanlah isolasi melainkan (keterbukaan) informasi. Kemanusiaan telah memenangkan perang melawan epidemi-epidemi karena pertempuran antara patogen/parasit dan dokter, patogen/parasit mengandalkan mutasi buta sedangkan dokter mengandalkan analisis informasi ilmiah.

Memenangkan perang lawan patogen

Perang Tak Kasat Mata Lawan Corona dan Krisis Kepemimpinan

Ilustrasi wabah Black Death di masa lalu. (Ensikopledia Inggris)

Masih dikutip TIME, ketika Black Death melanda pada abad ke-14, orang tidak tahu apa yang menyebabkannya dan apa yang bisa dilakukan untuk mengatasinya. Sampai era modern, manusia biasanya menyalahkan penyakit pada dewa-dewa yang marah, setan jahat atau udara buruk, dan bahkan tidak mencurigai adanya bakteri dan virus. Orang-orang percaya pada malaikat dan peri, tetapi mereka tidak bisa membayangkan bahwa setetes air mungkin berisi seluruh armada pemangsa yang mematikan. Karena itu ketika Black Death atau cacar datang mengetuk pintu, hal terbaik yang dapat dipikirkan oleh pihak berwenang adalah mengorganisir doa-doa massal untuk berbagai dewa dan orang suci. Itu tidak membantu. Sialnya, ketika orang-orang berkumpul bersama untuk sembahyang massal, itu sering menyebabkan penularan massal.

Selama satu abad terakhir, para ilmuwan, dokter, dan perawat di seluruh dunia mengumpulkan informasi dan bersama-sama berhasil memahami mekanisme di balik epidemi dan cara melawannya. Teori evolusi menjelaskan mengapa dan bagaimana penyakit baru muncul dan penyakit lama menjadi lebih ganas. Genetika memungkinkan para ilmuwan menelusuri instruksi manual patogen atau parasit itu sendiri. Masyarakat abad pertengahan tidak pernah menemukan apa yang menyebabkan Black Death. Sementara, saat ini hanya butuh waktu dua minggu bagi para ilmuwan untuk mengidentifikasi virus corona baru, mengurutkan genomnya dan mengembangkan tes teruji untuk mengidentifikasi orang yang terinfeksi.

Begitu para ilmuwan memahami apa yang menyebabkan wabah, maka menjadi lebih mudah untuk melawannya. Vaksinasi, antibiotik, peningkatan kebersihan, dan infrastruktur medis yang jauh lebih baik telah memungkinkan umat manusia untuk unggul dari predator yang tidak terlihat.

Pada 1967, cacar masih menginfeksi 15 juta orang dan membunuh dua juta dari mereka. Namun, pada dekade berikutnya, kampanye global vaksinasi cacar sangat berhasil, sehingga pada 1979 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan, manusia telah menang, dan cacar telah sepenuhnya diberantas. Pada 2019, tidak ada satu orang pun yang terinfeksi atau dibunuh oleh cacar.

Jaga perbatasan kita

Perang Tak Kasat Mata Lawan Corona dan Krisis Kepemimpinan

Personel militer Filipina berjaga dengan membawa semprotan disinfektan dan thermometer di pusat pengecekan di Kota Marikina, Metro Manila, Filipina, Senin, 16 Maret 2020. (Foto: Bloomberg/Veejay Villafranca)

Apa yang bisa kita pelajari dari sejarah ini untuk epidemi coronavirus saat ini?

Pertama, ini menyiratkan, Anda tidak dapat melindungi diri sendiri dengan menutup perbatasan secara permanen. Ingatlah epidemi menyebar dengan cepat bahkan di Abad Pertengahan, jauh sebelum zaman globalisasi. Jadi, bahkan jika Anda mengurangi koneksi global Anda ke level Inggris era 1348, masih belum cukup. Untuk benar-benar melindungi diri Anda dengan mengisolasi, kembali pada situasi abad pertengahan sia-sia. Anda seharusnya kembali ke situasi Zaman Batu. Bisakah Anda melakukan itu?

Kedua, sejarah menunjukkan, perlindungan nyata berasal dari berbagi informasi ilmiah yang teruji, dan dari solidaritas global. Ketika satu negara dilanda epidemi, ia harus bersedia untuk secara jujur ​​berbagi informasi tentang wabah tanpa takut akan bencana ekonomi. Sementara, negara-negara lain harus dapat mempercayai informasi itu, dan harus bersedia untuk memberikan bantuan daripada mengucilkan para korban.

Saat ini, Tiongkok dapat mengajarkan banyak pelajaran penting tentang corona ke negara-negara di seluruh dunia, tetapi ini perlu tingkat kepercayaan dan kerja sama internasional yang tinggi.

Kerjasama internasional diperlukan juga untuk langkah-langkah karantina yang efektif. Karantina dan lock-down sangat penting untuk menghentikan penyebaran epidemi. Tetapi ketika negara-negara saling tidak percaya dan masing-masing negara merasa itu urusan masing-masing, para pemerintah ragu untuk mengambil langkah drastis tersebut.

Jika Anda menemukan 100 kasus virus corona di negara Anda, apakah Anda akan segera menutup seluruh kota dan wilayah? Sebagian besar, itu tergantung pada apa yang Anda harapkan dari negara lain. Menutup (lockdown) kota Anda sendiri dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi. Andai Anda berpikir negara-negara lain akan membantu, Anda akan lebih cenderung untuk tetap mengambil tindakan drastis ini. Namun, jika Anda berpikir, negara-negara lain akan mengabaikan Anda, Anda mungkin akan ragu sampai semuanya terlambat.

Mungkin hal terpenting yang harus disadari orang tentang epidemi semacam itu, adalah penyebaran epidemi di negara mana pun membahayakan seluruh spesies manusia. Ini karena virus berevolusi. Virus seperti corona berasal dari hewan, seperti kelelawar. Ketika mereka melompat ke manusia, awalnya virus tidak beradaptasi dengan inang manusia. Saat bereplikasi di dalam manusia, virus sesekali mengalami mutasi. Kebanyakan mutasi tidak berbahaya.

Namun, sekarang dan kemudian setiap bermutasi membuat virus lebih menular atau lebih tahan terhadap sistem kekebalan manusia, dan jenis virus mutan ini kemudian akan dengan cepat menyebar pada populasi manusia. Sebab, satu orang dapat menampung triliunan partikel virus yang mengalami replikasi terus-menerus, setiap orang yang terinfeksi memberi triliunan virus peluang baru untuk menjadi lebih beradaptasi dengan manusia. Setiap manusia pembawa virus seperti mesin judi yang memberikan virus triliunan tiket lotre, dan virus hanya perlu menarik satu tiket kemenangan untuk berkembang.

Ini bukan spekulasi belaka. Crisis in the Red Zone karya Richard Preston menggambarkan rantai peristiwa yang persis seperti itu dalam wabah Ebola 2014. Wabah dimulai ketika beberapa virus Ebola berpindah dari kelelawar ke manusia. Virus-virus ini membuat orang sangat sakit, tetapi virus-virus itu masih beradaptasi untuk hidup di tubuh manusia.

Apa yang mengubah Ebola dari penyakit yang relatif jarang menjadi epidemi yang ganas adalah mutasi tunggal pada gen tunggal dalam satu virus Ebola yang menginfeksi satu manusia, di suatu tempat di daerah Makona di Afrika Barat. Mutasi ini memungkinkan galur Ebola mutan-yang disebut galur Makona-untuk terhubung ke transporter kolesterol sel manusia. Sekarang, alih-alih kolesterol, transporter menarik Ebola ke dalam sel. Jenis Makona baru ini empat kali lebih menular ke manusia.

Ketika Anda membaca paragraf-paragraf ini, mungkin mutasi serupa terjadi pada gen tunggal dalam corona yang menginfeksi seseorang di Teheran, Milan, atau Wuhan. Jika ini benar-benar terjadi, ini adalah ancaman langsung bagi tidak hanya untuk Iran, Italia ,atau China, tetapi juga bagi hidup Anda. Orang-orang di seluruh dunia bersama-sama sangat berharap untuk menghentikan langkah virus corona. Itu berarti kita perlu melindungi setiap orang di setiap negara.

Pada 1970-an kemanusiaan berhasil mengalahkan virus cacar karena semua orang di semua negara divaksinasi cacar. Jika satu negara gagal memvaksinasi populasinya, ia dapat membahayakan seluruh umat manusia, karena selama virus cacar ada dan berevolusi di suatu tempat, ia dapat selalu menyebar lagi di mana-mana.

Dalam perang melawan virus, manusia perlu menjaga perbatasan dengan cermat, tapi bukan perbatasan antarnegara. Sebaliknya, ia perlu menjaga perbatasan antara dunia manusia dan lingkungan virus. Planet bumi dihidupi virus yang tak terhitung jumlahnya, dan virus baru terus berkembang karena mutasi genetik. Batas yang memisahkan ruang virus ini dari dunia manusia melintas di dalam tubuh setiap manusia. Jika virus berbahaya berhasil menembus perbatasan ini di manapun di bumi, itu akan membahayakan seluruh spesies manusia.

Selama abad terakhir, umat manusia telah membentengi perbatasan ini tidak seperti sebelumnya. Sistem perawatan kesehatan modern telah dibangun yang difungsikan sebagai tembok di perbatasan itu, dan perawat, dokter, dan ilmuwan adalah penjaga yang berpatroli dan mengusir penyusup. Namun, bagian-bagian yang panjang dari perbatasan ini dibiarkan begitu saja. Ada ratusan juta orang di seluruh dunia yang bahkan tidak memiliki layanan kesehatan dasar. Ini membahayakan kita semua. Kita sudah terbiasa memikirkan kesehatan secara nasional, tetapi menyediakan layanan kesehatan yang lebih baik untuk Iran dan China juga membantu melindungi warga Israel dan Amerika dari wabah. Kebenaran sederhana ini harus jelas bagi semua orang, tetapi sayangnya itu diabaikan bahkan beberapa orang paling penting di dunia.

Dunia tanpa pemimpin

Meski Pemimpinnya Berselisih, KTT NATO 2019 Ciptakan Kemajuan

Beberapa figur pemimpin negara di dunia saat ini. (Foto: Reuters/Yui Mok)

Baca Juga: Pandemi COVID-19, Krisis Terbesar yang Hantam Pasar Negara Berkembang

Saat ini manusia menghadapi krisis akut tidak hanya karena corona, tetapi juga karena kurangnya kepercayaan di antara manusia. Untuk mengalahkan epidemi, masyarakat perlu mempercayai para pakar sains, warga negara perlu mempercayai otoritas publik, dan negara-negara harus saling percaya.

Selama beberapa tahun terakhir, para politisi yang tidak bertanggung jawab dengan sengaja merusak kepercayaan pada sains, otoritas publik, dan kerja sama internasional. Sebagai akibatnya, kita sekarang menghadapi krisis kehilangan pemimpin global yang dapat menginspirasi, mengatur, dan membiayai respons global yang terkoordinasi.

Selama epidemi Ebola 2014, AS berperan sebagai pemimpin seperti itu. AS memenuhi peran serupa juga selama krisis keuangan 2008, ketika negara itu mendukung negara-negara untuk mencegah krisis ekonomi global. Namun dalam beberapa tahun terakhir AS telah menarik diri dari perannya sebagai pemimpin global. Pemerintahan AS saat ini telah memangkas dukungan untuk organisasi internasional seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan telah menegaskan diri sangat jelas di mata dunia bahwa AS tidak lagi memiliki teman sejati-ia hanya memiliki kepentingan.

Ketika krisis corona meletus, AS tetap bergeming, dan sejauh ini menahan diri untuk tidak mengambil peran utama. Bahkan jika pada akhirnya mencoba untuk mengambil alih kepemimpinan, kepercayaan pada pemerintahan AS saat ini telah terkikis sedemikian rupa, sehingga hanya sedikit negara yang mau mengikutinya. Apakah Anda akan mengikuti pemimpin yang motonya adalah “Aku Duluan”?

Kekosongan yang ditinggalkan oleh AS belum diisi oleh pihak lain. Justru sebaliknya, xenophobia, isolasi, dan ketidakpercayaan kini menjadi ciri sebagian besar sistem internasional. Tanpa kepercayaan dan solidaritas global kita tidak akan bisa menghentikan epidemi corona. Pun, kita cenderung melihat lebih banyak epidemi seperti itu di masa depan. Namun, setiap krisis juga merupakan peluang. Semoga epidemi saat ini akan membantu umat manusia menyadari bahaya akut yang ditimbulkan oleh perpecahan global.

Untuk mengambil satu contoh yang menonjol, epidemi bisa menjadi peluang emas bagi Uni Eropa (UE). untuk mendapatkan kembali dukungan rakyat yang telah hilang dalam beberapa tahun terakhir. Jika anggota UE yang lebih beruntung dengan cepat dan murah hati mengirim uang, peralatan, dan tenaga medis untuk membantu rekan-rekan mereka yang paling kena dampak, ini akan membuktikan nilai ideal Eropa lebih baik daripada sekadar pidato dan retorika. Namun, jika masing-masing negara dibiarkan berjuang sendiri, maka epidemi itu mungkin akan menjadi lonceng kematian bagi organisasi itu.

Di saat krisis ini, perjuangan krusial terjadi di dalam kemanusiaan itu sendiri. Jika epidemi ini menghasilkan perpecahan yang lebih besar dan ketidakpercayaan di antara manusia, itu akan menjadi kemenangan virus terbesar. Ketika manusia berselisih, virus berlipat ganda. Sebaliknya, jika epidemi menghasilkan kerja sama global yang lebih dekat, itu akan menjadi kemenangan tidak hanya terhadap virus corona, tetapi juga terhadap semua patogen atau parasit di masa depan.

 

Penulis dan editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Seorang biksu Thailand mengenakan masker di kuil Wat Pho di Bangkok, Thailand, 24 Maret 2020, salah satu tempat wisata terkemuka di ibu kota yang kosong di tengah wabah penyakit COVID-19. (Foto : Reuters/Jorge Silva)

Perang Tak Kasat Mata Lawan Corona dan Krisis Kepemimpinan

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top