Respons Indonesia terhadap COVID-19 dan Tata Kelola Kesehatan Global
Personel Masyarakat Palang Merah Indonesia mengenakan pakaian pelindung selama operasi menyemprotkan disinfektan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Utara untuk mencegah penyebaran penyakit COVID-19 di Jakarta. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Berita Internasional > Respons Indonesia terhadap COVID-19 dan Tata Kelola Kesehatan Global
Respons ‘unik’ Indonesia terhadap penyebaran COVID-19 memberi kita gambaran tentang kondisi tata kelola kesehatan global saat ini.
Pada 2006, di tengah wabah virus H5N1 (yang juga dikenal sebagai flu burung), Indonesia memprovokasi ketegangan internasional karena menolak untuk mentransfer spesimen virus tersebut ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) untuk tujuan produksi vaksin.
Keputusan itu memicu kecaman keras dari masyarakat internasional karena Jakarta dipandang tidak kooperatif di masa krisis dan menempatkan kepentingan pribadi di atas keamanan kesehatan manusia yang lebih luas.
Baru-baru ini, dalam menanggapi pecahnya COVID-19, Indonesia juga menunjukkan respons unik yang memicu kritik di dalam dan luar negeri. Berbeda dari negara-negara lain di kawasan ini (yang dengan cepat menutup perbatasan mereka dari warga negara asing, di mana beberapa bahkan memberlakukan lockdown di kota-kota yang terkena dampaknya), Indonesia memutuskan untuk menjaga perbatasannya tetap terbuka dan bahkan menghabiskan miliaran rupiah untuk membayar influencer internasional untuk mempromosikan pariwisata domestik.
Bahkan ketika Indonesia akhirnya membatasi masuknya warga negara asing ke negara ini, pembatasan itu hanya berlaku untuk pengunjung dari empat negara yang terkena dampak utama: China, Iran, Italia, dan Korea Selatan.
Ini juga baru terjadi pada awal Maret, ketika pemerintah akhirnya mengkonfirmasi ada dua kasus COVID-19 di Indonesia, dilansir dari The Diplomat. Tidak diragukan lagi, respons Indonesia mengundang kecaman luas karena lamban, buram, dan menempatkan kepentingan ekonomi di atas kesehatan masyarakat.
Namun, tanggapan Indonesia yang tampaknya tidak kooperatif, sebenarnya memberi kita petunjuk untuk masalah yang lebih besar dalam tata kelola kesehatan global, tulis Sukmawani Bela Pertiwi di The Diplomat.
Masalah kesehatan global adalah jenis masalah tindakan kolektif yang tidak dapat diselesaikan oleh masing-masing negara, terutama di era globalisasi di mana perdagangan dan perjalanan internasional juga menimbulkan risiko penyebaran penyakit menular yang cepat di berbagai negara.
Oleh karena itu, solusinya memerlukan tindakan terkoordinasi dari semua negara untuk bekerja bersama untuk mengatasi masalah ini, lanjut Sukmawani Bela Pertiwi. Jika bahkan ada satu negara yang tidak kooperatif dengan tetap membuka perbatasan mereka, upaya negara-negara lain untuk menutup perbatasan mereka menjadi tidak efektif dalam menahan penyebaran virus.
Petugas pemadam kebakaran menyemprotkan cairan disinfektan di fasilitas umum di sepanjang ruas jalan Sudirman hingga Antasari, Jakarta Selatan, Minggu, 22 Maret 2020. Pemerintah Provinsi DKI Jakarta telah meminta seluruh kegiatan perkantoran dihentikan sementara demi mencegah penyebaran pandemi COVID-19. (Foto: Tirto/Bhagavad Sambadha)
Dengan adanya masalah penegakan hukum yang parah (di mana ada kemungkinan negara untuk membelot dari kerja sama tinggi), secara teoretis diperlukan lembaga atau kepemimpinan yang kuat untuk memastikan kepatuhan.
Namun, dengan China masih menghadapi banyak kasus baru, Amerika Serikat mendaki untuk menjadi negara yang paling terkena dampak dalam waktu kurang dari dua minggu, dan negara-negara Eropa menempati mayoritas dari 10 negara yang paling terkena dampak terbesar, praktis tidak ada kepemimpinan yang bekerja di tingkat global.
WHO telah dipandang sebagai lembaga terkemuka dalam tata kelola kesehatan global. Namun, WHO telah dikritik tidak hanya karena kurangnya dana dan sumber daya, tetapi juga karena ketidakefisienannya dalam menangani wabah penyakit.
WHO juga dibayangi oleh banyak aktor yang muncul dalam tata kelola kesehatan global, yang mungkin menawarkan lebih banyak dukungan tetapi membutuhkan lebih banyak koordinasi untuk memastikan kepemimpinan kolektif yang kuat di tingkat global, atau setidaknya untuk memaksa negara (seperti Indonesia) untuk mengikuti rekomendasi.
Ada juga masalah di tingkat negara bagian. WHO, pada bagiannya, telah melakukan yang terbaik untuk melakukan tugasnya dengan mengeluarkan Peraturan Kesehatan Internasional 2005, yang memberikan peraturan tentang tanggapan kesehatan masyarakat terhadap penyebaran penyakit internasional, termasuk kapasitas inti yang harus dipenuhi negara dalam waktu lima tahun sejak pemberlakuannya.
Itu termasuk kapasitas untuk pengawasan, pelaporan, verifikasi, pemberitahuan, respons, dan kegiatan kolaborasi. Akan tetapi, banyak negara dilaporkan gagal memenuhi kapasitas ini. Indonesia sendiri dituduh tidak transparan ketika tidak melaporkan kasus COVID-19 hingga awal Maret.
Jumlah kecil dan peningkatan pasien yang terinfeksi dipandang sebagai bukti dari ketidakmampuan pemerintah untuk mendeteksi kasus, di mana jumlah orang yang diuji yang jauh lebih kecil dibandingkan dengan negara lain. Indonesia tidak sendirian dalam hal ini, tutur Sukmawani Bela Pertiwi.
Terakhir, terkait dengan tanggapan Indonesia terhadap H5N1, masih ada perdebatan tentang masalah akses mendapatkan obat-obatan, khususnya antara negara maju dan berkembang.
Addis dan Sundoro menjelaskan dalam bab buku mereka Indonesia, Power Asymmetry, and Pandemic Risk bahwa penolakan Indonesia untuk mentransfer spesimen virus H5N1 ke WHO didasarkan pada pertimbangan bahwa ada preseden di mana spesimen virus tersebut digunakan oleh perusahaan untuk mengembangkan vaksin yang dipatenkan tanpa izin dari negara pengirim, yang pada akhirnya tidak mampu mengakses vaksin yang kemudian dibuat.
Karena negara-negara pengirim biasanya adalah negara-negara yang akan sangat dipengaruhi oleh penyakit, Indonesia ingin memiliki akses untuk mendapatkan vaksin yang dikembangkan dari spesimen virus yang ditransfernya. Indonesia bukan satu-satunya negara yang mengangkat masalah ini.
Dengan melihat masalah yang lebih besar dalam tata kelola kesehatan global ini, respons negara terhadap pandemi COVID-19 dapat digunakan sebagai momentum untuk meningkatkan tata kelola kesehatan global untuk menghadapi masalah yang lebih menantang di masa depan, Sukmawani Bela Pertiwi menyimpulkan.
Penerjemah dan editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Personel Masyarakat Palang Merah Indonesia mengenakan pakaian pelindung selama operasi menyemprotkan disinfektan di Wisma Atlet Kemayoran, Jakarta Utara untuk mencegah penyebaran penyakit COVID-19 di Jakarta. (Foto: Reuters/Ajeng Dinar Ulfiana)
Respons Indonesia terhadap COVID-19 dan Tata Kelola Kesehatan Global