Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengancam akan memotong dana AS ke Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ketika jumlah korban tewas akibat pandemi COVID-19 di negara itu dan berbagai tempat lain terus naik. Sementara di China, Presiden Xi baru saja mengumumkan soal berakhirnya karantina wilayah di Wuhan. Bagaimana dengan negara lainnya, siapa yang paling terpukul?
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Selasa (7/4) mengancam akan memotong dana AS untuk Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Trump menuduhnya bias terhadap China, di mana pihak berwenang telah mencabut larangan perjalanan dua setengah bulan di Wuhan, kota yang memicu pandemi COVID-19 global.
Ketika Amerika menderita rekor total hampir 2.000 kematian dalam 24 jam terakhir, China melaporkan tidak ada kematian baru untuk pertama kalinya sejak wabah dimulai di Wuhan pada akhir Desember 2019.
Sementara itu, Perdana Menteri Inggris Boris Johnson tetap dalam kondisi stabil dalam perawatan intensif di rumah sakit London setelah diterima pada Senin (6/4), 10 hari setelah didiagnosis terinfeksi virus corona baru. Juru bicaranya mengatakan pemimpin Partai Konservatif berusia 55 tahun itu dalam “semangat yang baik”. Johnson dilaporkan menerima “perawatan oksigen standar” dan tidak memerlukan ventilator.
Asia Times melaporkan, infeksi yang secara mengejutkan dari seorang pemimpin dunia menggarisbawahi jangkauan global COVID-19. Pandemi telah menempatkan lebih dari empat miliar orang atau lebih dari separuh planet Bumi dalam beberapa bentuk penguncian wilayah, mengguncang masyarakat, dan menghantam ekonomi di seluruh dunia.
Di tengah peringatan akan datang gelombang infeksi yang lebih buruk, jumlah kematian akibat virus kian meningkat. Pandemi COVID-19 kini telah merenggut lebih dari 88.500 jiwa dan menginfeksi lebih dari 1,4 juta orang di seluruh dunia.
Di Washington, Trump mengatakan kepada wartawan, ia akan menahan pendanaan untuk WHO, yang dituduhnya bersifat sangat bias terhadap China. Kontributor terbesar badan PBB itu adalah Amerika Serikat.
“Mereka menyebutnya salah,” tutur Trump tentang peringatan perjalanan WHO di China. “Mereka bisa menyebutnya berbulan-bulan sebelumnya.”
Trump tidak memberikan rincian tentang berapa banyak pendanaan yang akan ditahan. Beberapa menit kemudian, Trump mengaku hanya akan “mempertimbangkan untuk mengakhiri pendanaan.”
China menghadapi kritik atas cara penanganan wabah virus sejak awal. Trump dan beberapa pemimpin dunia lainnya telah menyatakan keraguan atas akurasi statistik China untuk jumlah kasus dan kematian akibat pandemi COVID-19.
Trump sendiri telah banyak dikritik karena awalnya meremehkan virus, yang ia samakan dengan flu biasa, sebelum kemudian menerimanya sebagai keadaan darurat nasional.
Lebih dari 12.800 rakyat Amerika Serikat kini telah meninggal karena infeksi virus, menurut Universitas Johns Hopkins. Hampir 400.000 kasus di AS kini mencatat jumlah terbanyak di dunia. Total 1.939 orang telah meninggal di Amerika dalam 24 jam hingga Selasa (7/4) malam.
Situasi pandemi global
China mencabut larangan perjalanan pada Selasa (7/4) terhadap penduduk Kota Wuhan dan melaporkan tidak ada kematian baru, meski situasi tetap suram di berbagai tempat lain di negara itu. Sementara kota-kota besar lainnya di dunia tetap dikunci, ribuan orang bergegas meninggalkan Wuhan. Layanan kereta api dan penerbangan telah kembali beroperasi dan penghalang jalan dihilangkan, memicu eksodus penduduk setempat yang mengenakan pakaian pelindung dan masker.
Komisi Kesehatan Nasional China mengatakan pada Selasa (7/4), tidak ada kematian baru yang dicatat dalam 24 jam sebelumnya, hari bebas kematian pertama akibat pandemi COVID-19 sejak negara itu mulai menerbitkan angka pada Januari 2020. Penghitungan resmi China adalah sekitar 81.000 infeksi secara keseluruhan dan lebih dari 3.300 kematian, tetapi ada kecurigaan pemerintah China tidak melaporkan jumlah yang sebenarnya.
Aktivitas jual beli satwa liar masih berjalan di Pasar Wuhan, China. (Foto: The Hill)
Inggris telah melaporkan 786 kematian baru akibat pandemi.
Negara bagian New York di Amerika Serikat mengalami 731 kematian dalam 24 jam, setelah Spanyol, Prancis dan Italia saling mencatat lonjakan baru dalam kematian.
Penelitian baru menunjukkan korban Inggris berada pada lintasan yang lebih curam daripada negara lain dan meramalkan sebanyak 66.000 kematian pada Juli 2020, jauh lebih banyak daripada di Italia yang memiliki kematian tertinggi hingga saat ini, yakni 17.127 korban jiwa.
Paris pada Selasa (7/4) melarang joging di siang hari untuk mencegah orang melanggar aturan penguncian wilayah saat Prancis mencapai 10.000 kematian.
Namun, masih ada secercah harapan dalam statistik wabah.
Spanyol menyebutkan tren penurunan infeksi dan kematian baru terus berlanjut. Peningkatan kematian pada Senin (6/4) dan Selasa (7/4) adalah hasil dari kematian selama akhir pekan yang baru dihitung.
Eduardo Fernandez, perawat berusia 39 tahun di Rumah Sakit Infanta Sofia di Madrid, mengatakan ada lebih sedikit penerimaan pasien dalam beberapa hari terakhir.
“Namun, kami tetap jauh di atas kapasitas kami yang biasa,” ia mengingatkan. “Saya tidak tahu apakah rekan-rekan saya yang berada di pusat pandemi dapat melihat penurunan karena tekanan kerja sangat tinggi.”
Parlemen Iran menggelar sidang untuk pertama kalinya sejak akhir Februari 2020 ketika negara itu melaporkan penurunan infeksi baru untuk hari ketujuh berturut-turut.
Di New York, pusat wabah di Amerika Serikat, Gubernur Andrew Cuomo mengatakan negara bagian itu tampaknya mendekati puncak pandemi. Namun, ia tetap mendesak warga New York untuk terus tinggal di dalam rumah. “Saya tahu ini sulit, tetapi kita harus terus melakukannya.”
Seorang direktur rumah duka New York City, Pat Marmo, mengaku berurusan dengan tiga kali lebih banyak mayat daripada biasanya. “Hampir seperti 11 September 2001, berlangsung terus menerus selama berhari-hari.”
Terlepas dari perintah tetap tinggal di rumah, menurut catatan Asia Times, para pemilih di negara bagian AS lainnya, Wisconsin, pergi ke tempat pemungutan suara untuk memberikan suara dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat.
The Milwaukee Journal-Sentinel menunjukkan seorang wanita yang mengenakan masker dalam antrean untuk memberikan suara sambil memegang tanda bertuliskan: “INI SANGAT ANEH”.
Pemerintah negara-negara di seluruh dunia berusaha keras untuk menyusun paket-paket penyelamatan untuk membendung kerusakan ekonomi karena secara efektif menutup perdagangan global, di tengah kekhawatiran akan adanya ancaman resesi yang menghancurkan.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) PBB menyatakan 81 persen dari tenaga kerja global dari 3,3 miliar orang sekarang terkena dampak krisis global terburuk sejak Perang Dunia II.
Jepang, yang mendeklarasikan keadaan darurat selama sebulan pada Selasa (7/4), telah menjanjikan paket stimulus US$1 triliun.
Trump mengaku lebih menyukai program belanja besar-besaran AS, kali ini menargetkan proyek-proyek infrastruktur.
Para menteri keuangan negara-negara di Uni Eropa sedang mengerjakan kesepakatan untuk menggunakan dana talangan 410 miliar euro atau US$447 miliar dolar di zona euro untuk memerangi wabah virus. Namun, blok itu tetap terpecah belah pada penumpukan utang untuk menerbitkan obligasi khusus “coronabonds”. Pasar saham naik di seluruh Asia dan Eropa, tetapi Wall Street ditutup dengan sedikit lebih rendah.
Uni Eropa mengumumkan akan menyiapkan 15 miliar euro untuk membantu negara-negara berkembang memerangi pandemi, yang baru mulai menyebar di beberapa negara termiskin di dunia.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengecam WHO dan mengancam akan menghentikan pendanaan. (Foto: EPA/Shutterstock/Shawn Thew)
Siapa Negara Paling Menderita Dihajar COVID-19 Kini?