Tak Biasa, China Tahan Diri Gelontorkan Dana untuk Perbaikan Ekonomi
Seorang karyawan bank menghitung uang 100 yuan di bank di Lianyungang, provinsi Jiangsu timur di China. Dalam perang dagang dengan Amerika Serikat, China dapat melakukan devaluasi mata uangnya atau membuang kepemilikan besar-besaran utang AS. (Foto: AFP)
Berita Internasional > Tak Biasa, China Tahan Diri Gelontorkan Dana untuk Perbaikan Ekonomi
Pemerintah China telah berusaha melindungi perekonomiannya, tetapi mungkin harus berbuat lebih banyak untuk memperbaiki kerusakan besar dan kompleks akibat wabah virus corona.
Negara-negara di dunia telah mengucurkan dana talangan untuk melawan efek dari wabah virus corona. Amerika Serikat mengeluarkan paket penyelamatan senilai US$2 triliun. Negara-negara Eropa juga telah mengumumkan dana penanganan mereka sendiri, dan Jepang telah menyetujui rencana stimulus ekonomi senilai hampir US$1 triliun.
Sementara itu, China (negara yang terkenal membantu memulai ekonomi dunia setelah krisis keuangan global 2008 dengan pengeluaran belanja setengah triliun dolar) telah menahan diri kali ini. Walaupun pemerintah China telah membantu perusahaan-perusahaan dan mendorong bank-bank milik pemerintah untuk membuka pinjaman yang lebih banyak, negara itu telah menahan diri untuk mengeluarkan paket besar atau membanjiri sistem keuangannya dengan uang.
Negara komunis itu juga menahan diri untuk memberikan uang bantuan langsung kepada rakyatnya. Sebaliknya, Presiden Trump (yang pernah mengecam prospek pertumbuhan sosialisme di Amerika Serikat), menandatangani paket yang mencakup cek senilai US$1.200 untuk semua rakyatnya, kecuali orang-orang yang berkecukupan.
Semakin banyak pihak yang mengatakan China harus berbuat lebih banyak. Ekonom terkemuka menyerukan China untuk meningkatkan belanja konsumen negara itu lagi. Setidaknya, tujuh provinsi dan kota sudah membagikan voucher untuk memberdayakan pembelanjaan.
Justin Lin Yifu, penasihat pemerintah, pekan lalu menyerukan agar China menghidupkan kembali pertumbuhan ekonomi dengan menyebarkan voucher-voucher secara nasional yang harus dibelanjakan segera.
Seorang anak mengenakan masker ketika menjajal kostum karakter di sebuah toko suvenir di hotel Disneyland setelah arena Disneyland Hong Kong ditutup selama perayaan Tahun Baru Imlek di tengah kekhawatiran merebaknya wabah coronavirus di Hong Kong, China, 26 Januari 2020. (Foto: Reuters/Tyrone Siu)
“Voucher konsumsi lebih efektif” daripada uang tunai, katanya, seperti yang dikutip The New York Times. “Orang mungkin tidak akan segera menggunakan uang tunai itu setelah mereka mendapatkannya, jadi itu tidak akan terkonversi secara langsung menjadi permintaan.”
Tingkat kerusakan yang harus diperbaiki oleh China masih belum jelas. Ekonominya yang besar, mesin utama pertumbuhan global, secara efektif lumpuh pada Februari setelah virus corona menyebar dari episentrum wabah di kota Wuhan. Kerusakan ekonomi akibat wabah mulai terlihat pada 17 April, ketika China melaporkan statistik ekonomi untuk tiga bulan pertama tahun ini.
Memulai kembali ekonomi akan jauh lebih sulit daripada saat China bangkit setelah Krisis Keuangan 2008. Saat itu, China meluncurkan paket pengeluaran US$586 miliar. Paket itu mendanai jalan raya, jembatan, dan jalur kereta berkecepatan tinggi di seluruh negeri. Pabrik baja, kaca, dan semen berkembang seiring mereka memenuhi permintaan yang meningkat.
Ekonomi China telah meningkat tiga kali lipat sejak itu dan menjadi lebih beragam dan lebih kompleks. China sekarang memiliki tenaga kerja yang jauh lebih berpendidikan tinggi dan kurang antusias terhadap pekerjaan manual. Sektor jasa menjadi lebih penting.
“Dampak negatif dari penyakit virus corona terutama diderita oleh orang-orang yang bekerja di industri tertentu, seperti restoran, hotel, perusahaan transportasi, bioskop, dan pariwisata,” kata Zhi George Yu, ekonom di Universitas Renmin di China, kepada The New York Times. “Investasi infrastruktur tidak akan langsung menyerap banyak pekerja yang bekerja di industri yang sebagian besar terpukul oleh wabah ini.”
Meskipun China berupaya memperkuat ekonominya secara internal, negara itu juga harus mengatasi kurangnya permintaan akan barang-barangnya dari luar negeri.
“Dalam beberapa hari terakhir, jumlah pesanan yang dibatalkan sangat banyak,” ujar Sabrina Finlay, kepala eksekutif Otabo, perusahaan alas kaki di Minneapolis yang melakukan manufakturnya di China, dikutip dari The New York Times.
Penjualan online di China telah meningkat seiring negara itu bangkit kembali, ia menambahkan, tetapi jual beli di toko-toko belum sepenuhnya kembali.
Seperti Prancis, China berfokus membantu perusahaan agar tetap bisa menggaji karyawan mereka. Langkah terbaru, yang diluncurkan minggu lalu, akan mendukung sektor perbankan milik negara untuk meminjamkan US$200 miliar kepada bisnis, terutama bisnis kecil. Pemerintah daerah juga telah menerbitkan US$150 miliar obligasi untuk membayar kontraktor pembangun jalan, jembatan, dan proyek lainnya.
Namun, pemerintah China tidak memberikan bantuan keuangan secara langsung kepada rakyat. Padahal, banyak karyawan manufaktur tidak lagi bekerja lembur, yang sebelumnya menyumbang hingga sepertiga dari kompensasi mereka.
Meski lockdown besar-besaran telah berakhir pada Rabu (8/4) pagi, masih ada aturan untuk social distancing, yang telah membuat orang belum mau pergi makan atau melakukan transaksi layanan lainnya. Jadi pengeluaran tetap lemah.
Profesor Yu, dari Universitas Renmin, dan ekonom lainnya merekomendasikan pendekatan yang dirintis musim semi ini oleh daerah-daerah di China timur: membagikan voucher untuk merangsang konsumsi.
Hangzhou, kota asal raksasa e-commerce Alibaba, telah mengeluarkan voucher elektronik. Jumat (3/4) lalu, penduduk kota itu juga mendapatkan paket lima voucher diskon yang dapat digunakan di restoran dan toko-toko melalui sistem pembayaran elektronik Alibaba, Alipay. Karena voucher hanya berlaku selama satu minggu, para penerima segera menggunakannya.
Paket voucher itu dibiayai oleh pemerintah kota. Ekonom Beijing mengatakan, pemerintah nasional sedang mempertimbangkan untuk meluncurkannya.
“Segera, akan ada kupon dalam skala besar,” tutur Zhu Ning, wakil dekan Institut Keuangan Lanjutan Shanghai, kepada The New York Times.
Untuk saat ini, program Hangzhou tampaknya populer di kalangan penduduk. Mungkin terlalu populer.
“Ketika saya mengecek sekitar jam 11 pagi, voucher itu sudah habis,” ujar salah satu warga, Huang Wen, yang dikutip oleh The New York Times. “Voucher mulai dikeluarkan jam 8 pagi dan habis sebelum jam 10.”
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Aziza Fanny Larasati
Keterangan foto utama: Seorang karyawan bank menghitung uang 100 yuan di bank di Lianyungang, provinsi Jiangsu timur di China. (Foto: AFP)
Tak Biasa, China Tahan Diri Gelontorkan Dana untuk Perbaikan Ekonomi