
Korea Selatan yang melakukan tes corona pada ribuan orang per hari telah memperlambat penyebaran virus tersebut. Negara-negara lain harus mengadopsi model Seoul sebelum terlambat.
Ketika seorang pasien tiba di rumah sakit China dengan gangguan pernapasan akut pada pertengahan Desember 2019, ada ketidakpastian tentang apa yang menyebabkan gejala-gejala ini. Itu bukan SARS, MERS, atau influenza. Virus corona baru akhirnya terdeteksi.
Saat salah satu dokter berusaha untuk memperingatkan tentang virus itu, polisi mengancamnya. Para petugas kesehatan awalnya mengatakan mereka tidak memiliki bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia.
Pada 23 Januari, China memiliki 571 kasus dan jumlah kematian 17 orang. Penyakit virus corona baru itu, yang dikenal sebagai COVID-19, menginfeksi 100 ribu orang baru baru per hari. Pada hari berikutnya, pemerintah pusat China telah memberlakukan karantina wilayah di Wuhan dan kota-kota lain di provinsi Hubei.
Baca Juga: Dampak Corona (COVID-19) pada Paru-Paru Manusia yang Terjangkit
Namun, bahkan sebelum karantina wilayah diberlakukan, virus sudah mulai menyebar ke Hong Kong dan negara-negara lain seperti Singapura, Korea Selatan, dan lainnya. Korea Selatan melaporkan lebih dari 2.000 kasus yang dikonfirmasi pada 28 Februari. Kemudian, pada awal Maret, sesuatu yang tidak terduga terjadi: Peningkatan kasus secara eksponensial di negara-negara ini tampak rata.
China telah berhasil mempertahankan jumlah kasusnya di bawah 90 ribu, dengan jumlah kasus baru turun setiap harinya. Italia, yang mencatat kasus COVID-19 pertamanya pada 30 Januari, kini telah kehilangan lebih banyak warganya (lebih dari 6.000 pada 23 Maret) daripada China.
Dalam menghadapi wabah ini, kepala negara di seluruh dunia memiliki rencana mereka masing-masing. Beberapa kepala negara, seperti Presiden AS Donald Trump, mengecilkan bahaya virus itu di televisi-televisi nasional, sementara yang lain, seperti Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, bertindak dini dan tegas.
Setelah menjadi lokasi wabah terbesar kedua di dunia setelah China, Korea Selatan telah berhasil menurunkan jumlah kasus baru tanpa memberlakukan banyak karantina wilayah yang ketat.
Membandingkan Italia dengan Korea Selatan menunjukkan betapa dramatisnya perbedaan itu. Pada 1 Maret, Italia hanya memiliki 1.701 kasus dan 41 kematian, sementara Korea Selatan memiliki 3.736 kasus dan 21 kematian.
Tiga minggu kemudian, pada 22 Maret, kasus Italia meledak menjadi 59.138, dengan 5.476 kematian, sementara jumlah kasus Korea Selatan hanya meningkat dua kali lipat menjadi 8.897, dengan 104 kematian.
Kunci keberhasilan Korea Selatan adalah kecepatan untuk melakukan tes massal, pelacakan kontak yang ketat, dan karantina wajib bagi siapa pun di dekat pembawa virus.
Negara ini, dengan populasi 51 juta, mengetes lebih dari 20 ribu orang per hari di lebih dari 600 lokasi tes di seluruh negeri. Negara itu juga mengintegrasikan aplikasi yang melacak individu yang positif terinfeksi virus, serta memperingatkan mereka jika mereka mungkin terpapar dengan individu yang terinfeksi.

Para pekerja distribusi makanan di Kota Washington, D.C., Amerika Serikat, Senin, 16 Maret 2020 berdiri berjauhan saat mendengarkan Wali Kota Muriel Bowser berpidato tentang tanggapan kota terhadap wabah penyakit COVID-19. (Foto: Jacquelyn Martin/Associated Press)
Namun di Amerika Serikat dan Inggris, ada debat di publik dan internal pemerintah tentang apakah tes massal penting dilakukan, terutama bagi mereka yang hanya memiliki gejala kecil.
Pada 20 Maret, Korea Selatan telah mengetes 6.148 per juta orang, sementara Inggris hanya mengetes 960 orang per juta orang, dan Amerika Serikat hanya 314 orang per juta orang.
Ada lima alasan utama mengapa tes penting dilakukan, menurut pendapat Devi Sridhar, profesor dan ketua kesehatan masyarakat global di Universitas Edinburgh, yang dikutip dari Foreign Policy.
Pertama, orang-orang pada umumnya tampak lebih mungkin untuk mengisolasi diri mereka sendiri jika mereka dikonfirmasi sebagai pembawa virus. Pemerintah menyarankan agar individu mengisolasi diri mereka sendiri selama 7 atau 14 hari (tergantung negara) agar tidak menyebarkan virus ke selain anggota keluarga mereka di rumah.
Namun, ini tidak realistis bagi mereka yang hanya dapat mencari nafkah dengan hadir ke tempat kerja dan bergantung pada pendapatan sehari-hari.
Seperti halnya HIV, mengetahui status seseorang dapat memastikan orang memahami konsekuensi dari tindakan mereka dan bagaimana mereka harus bertindak secara bertanggung jawab untuk mencegah penyebaran lebih lanjut.
Kedua, untuk memutus rantai penularan, pejabat kesehatan masyarakat perlu tahu di mana virus itu berada dan siapa yang terpapar virus itu. Mengingat beberapa penelitian memperkirakan transmisi tanpa gejala atau sebelum gejala mencakup sekitar 50 persen kasus, tes diperlukan untuk memastikan pembawa virus corona tidak menularkannya ke orang lain secara tidak sadar.
Selain itu, kontak dekat dengan pembawa virus harus diinformasikan sehingga mereka dapat mengisolasi diri mereka sendiri. Informasi itu diteruskan ke kolega di tempat kerja, orang-orang di gedung apartemen yang sama, atau mereka yang telah berada di kafe, toko, kereta, atau pesawat yang sama.
Ini adalah teknik kesehatan masyarakat klasik dan satu-satunya cara untuk membangun gambaran tentang siapa yang membawa virus itu dan siapa yang mungkin terpapar.
Ketiga, ketika pemerintah daerah mengalokasikan rumah sakit, peralatan, dan sumber daya, mereka dapat memperkirakan berapa banyak orang yang akan tiba di unit perawatan intensif di hari-hari mendatang.
Dengan mengetes siapa yang memiliki COVID-19 sejak awal, dan dengan memiliki data tentang berapa persen dari orang-orang ini yang akan memerlukan perawatan lebih lanjut di rumah sakit, petugas dapat membuat keputusan berdasarkan data yang lebih akurat sehingga sumber daya dapat mengalir dengan tepat.
Keempat, seperti yang diperlihatkan China dan Korea Selatan, daerah-daerah tertentu di suatu negara dapat menjadi hot spot, atau lokasi dengan jumlah kasus yang tinggi. Ini sudah terjadi di London, mengingat jumlah pasien COVID-19 yang tiba di rumah sakit.
Namun, daripada mengukur ini dengan melihat jumlah orang yang saat ini dirawat di rumah sakit, pengetesan dapat mempermudah dan, yang terpenting, mempercepat otoritas kesehatan masyarakat untuk melihat di mana hot spot baru muncul.
Baca Juga: Uji Coba Vaksin COVID-19, China Bangkitkan Harapan Baru
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merilis laporan harian yang mencatat jumlah kasus yang dikonfirmasi per negara untuk melacak evolusi wabah, tetapi keakuratan angka-angka ini bergantung pada pengetesan. Tanpa tes massal, termasuk untuk orang-orang yang memiliki gejala ringan atau mereka yang merupakan pembawa virus tanpa gejala, tidak ada yang tahu seberapa besar masalahnya.
Tanpa mengetahui jumlah akuratnya, pemerintah dan dokter seperti memadamkan api tanpa mengetahui seberapa besar kobaran apinya, atau di mana bara api yang tak terlihat telah menyala dan melahap sekitarnya.
Setiap wabah dimulai dan diakhiri dengan tes diagnostik. Direktur Jenderal WHO, Tedros Adhanom Ghebreyesus, telah menekankan, “tulang punggung” respon kesehatan masyarakat setiap negara untuk wabah ini adalah tes, isolasi, dan pelacakan kontak.
Korea Selatan telah menunjukkan bagaimana model itu bekerja dan berhasil mengurangi penyebaran, menghilangkan tekanan layanan kesehatan, dan menjaga tingkat kematian tetap rendah. Korea Selatan memiliki salah satu tingkat kematian terendah di dunia.
Seperti yang ditekankan Devi Sridhar dalam tulisannya, negara-negara lain patut belajar dari Korea Selatan.
Penerjemah: Nur Hidayati
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Tabung reaksi dengan label nama virus corona terlihat dalam ilustrasi ini yang diambil pada 29 Januari 2020. (Foto: Reuters)
