Operasi kebebasan navigasi Amerika Serikat (FONOP) baru-baru ini yang menantang klaim China di Laut China Selatan telah mengajukan kembali pertanyaan tentang tujuan dan kerentanan pangkalan-pangkalan China di kawasan tersebut.
Menurut sebuah argumen, pangkalan-pangkalan di sana tidak signifikan secara strategis maupun taktis, serta dalam hal apapun dapat dengan mudah ditaklukkan dalam konflik. Namun, beberapa pihak lain berpendapat, pangkalan tersebut adalah bagian penting dari strategi China untuk mendominasi Laut China Selatan dan Asia Tenggara. Mereka juga berpendapat, pangkalan-pangkalan itu berfungsi sebagai simpul-simpul komando, kontrol, komunikasi, komputer, pengawasan intelijen, dan pengintaian (C4 ISR) yang akan memberi China keuntungan berbeda pada tahap-tahap awal konflik militer.
Menurut analisis Mark J. Valencia dari Eurasia Review, perbedaan antara premis-premis yang saling berlawanan tersebut adalah kesenjangan dengan implikasi bagi seluruh kawasan dan melampauinya. Bagi para pembuat kebijakan Amerika Serikat, hal itu dapat menentukan respons politik dan militer potensial AS terhadap pangkalan-pangkalan China di sana.
Gregory Poling, Direktur Asia Maritime Transparency Initiative di Center for International and Strategic Studies yang berbasis di Washington mengatakan, “Menurut kebijaksanaan konvensional di seluruh Washington, pos-pos militer tersebut dapat dengan aman diberhentikan karena tidak memiliki nilai strategis.” Menurutnya, gagasan itu sangat salah.
Poling meyakini, niat China dalam membangun dan memiliterisasi fitur-fitur di Laut China Selatan adalah untuk mengintimidasi penuntut klan lain sampai-sampai mereka akan kehilangan kepercayaan bahwa AS dapat atau memiliki keinginan untuk melindungi kepentingan mereka dan dengan demikian “merusak peran Amerika Serikat sebagai penyedia keamanan regional.”
Kesimpulan ini sesuai dengan peringatan J. Stapleton Roy, “China ingin melemahkan aliansi AS, mengikis sentralitas Amerika, dan menciptakan tatanan Chinasentris baru di Asia.”
Menurut Roy, hal ini memberi AS pilihan strategis yang jelas. “Haruskah Amerika Serikat berusaha menjaga dominasi udara dan laut di Pasifik Barat atau mengupayakan keseimbangan militer yang berkelanjutan antara China dan AS?” Dia meyakini, pilihan pertama akan mengarah pada perlombaan senjata dan mungkin menjadi hubungan yang dingin dan saling menjauhkan diri dalam hubungan politik dan ekonomi. Bahkan dengan pilihan lain, menurut analisis ini, AS masih perlu mempertahankan kehadiran militer yang cukup untuk menghalangi perilaku agresif China dan kredibilitasnya dengan para sekutu dan teman-temannya.
Poling menyimpulkan, “Pasukan AS tidak punya banyak pilihan selain menyerahkan perairan dan wilayah udara Laut China Selatan ke China pada tahap awal konflik.” Implikasinya memang berada dalam strategi AS, bukan kepentingan keamanan taktis untuk menahan, membatasi, atau bahkan menghapus aset militer China di pos-pos tersebut. Tidak ada penyebutan kompromi yang kemungkinan akan menjadi hasilnya.
Poling dan yang lainnya juga berpendapat, instalasi C4 ISR China dapat menetralkan ISR Amerika Serikat di Laut China Selatan dan dengan demikian meningkatkan kemampuan bertahan kapal selam nuklir China pada tahap awal konflik. Mereka bahkan mungkin dapat mendeteksi dan dengan demikian mengalahkan kapal selam AS.
Poling membantah kerentanan instalasi China. Menurutnya fasilitas di Mischief dan Subi Reef terlalu besar untuk dengan mudah dikalahkan. Ini adalah lompatan bagi China yang tidak memiliki akses langsung ke strategi dan informasi militer AS yang rahasia.
Pihak lain yang memiliki akses itu berpikir sebaliknya. Beberapa ahli strategi militer AS yang terkenal meyakini fasilitas tersebut tidak dapat dipertahankan dalam menghadapi rudal jelajah penghancur bunker jarak jauh AS yang ditembakkan dari kapal perusak dan kapal selam, selain rudal dan bom luncur yang diluncurkan dari pesawat dan drone.
Menurut pensiunan Laksamana Dennis Blair, mantan Direktur Intelijen Nasional dan Komandan PACOM, “Spratly berjarak 1448,41 kilometer dari China. Pulau-pulau buatan itu tidak memiliki kemampuan untuk mempertahankan diri dalam pengertian militer apa pun. Filipina dan Vietnam dapat mengalahkan mereka, apalagi kita.”
Ahli strategi militer lain mengatakan, sementara China mungkin menghadirkan masalah bagi Angkatan Laut AS dalam pertemuan erat dengan China daratan, Amerika masih mempertahankan keunggulan militer atas China di Laut China Selatan. Amerika saat ini beroperasi di seluruh Laut dengan kapal militer dan pesawat terbang serta aset ISR berawak. Selain itu, Amerika telah mengerahkan banyak dan beragam pesawat nirawak (UAV, USV, dan UUV) ke kawasan tersebut. Para analis tersebut berpendapat AS, bukan China, yang saat ini mendominasi Laut China Selatan secara militer.
Kesimpulan bahwa pangkalan tersebut dapat menetralkan ISR Amerika Serikat di dan di atas Laut China Selatan juga mengabaikan keuntungan AS saat ini dalam satelit penginderaan jauh dan drone di sana.
Tidak ada negara lain yang dapat menandingi jajaran pesawat nirawak maritim udara, permukaan, dan bawah permukaan AS, khususnya senjata dan sensor canggih mereka, ditambah dengan sistem dukungan telekomunikasi dan satelit yang diperlukan.
Sekitar empat tahun lalu, Menteri Pertahanan AS Ashton Carter mengumumkan dari dek kapal perang Amerika yang berlayar di Laut China Selatan, AS sedang mengerahkan “drone bawah laut baru dalam berbagai ukuran dan muatan beragam yang dapat beroperasi di perairan dangkal tempat kapal selam berawak tidak bisa beroperasi.”
Bendera Amerika Serikat berkibar di atas ruang sidang kejahatan perang di Camp Justice di Pangkalan Angkatan Laut AS. (Foto: AFP/Michelle Shephard)
Kepala Operasi Angkatan Laut AS saat itu Jonathan Greenert mengatakan secara sederhana, drone bawah laut akan memungkinkan AS untuk mempertahankan keunggulan di kawasan itu. Agaknya kemampuan ini telah berkembang secara signifikan. Misalnya, sonoboya US Poseidon yang dikerahkan sekarang memperkuat jaringan hidrofon, sensor, dan aset yang diposisikan secara strategis yang membentang di lepas pantai dari timur laut China ke Indonesia, “US Navy Fish Hook Undersea Defense Line.” Tujuannya adalah mengontrol domain informasi bawah laut.
Amerika Serikat juga menerbangkan ratusan misi ISR setiap tahun di sepanjang garis pantai China dan melintasi China Selatan untuk mendominasi domain informasi itu juga. Kemajuan China baru-baru ini di lapangan, meski cukup besar, belum merupakan ancaman bagi superioritas kesadaran domain maritim AS di, di atas dan di bawah Laut China Selatan.
Nilai strategis dari pangkalan-pangkalan tersebut juga memudar dalam menghadapi kenyataan. China mungkin menggunakan pangkalan itu untuk mengancam para penuntut klaim lawan. Namun, AS tidak akan pernah berperang dengan China atas nama penuntut kedaulatan Asia Tenggara atas sengketa atau bahkan klaim mereka atas sumber daya di wilayah sengketa Laut China Selatan, yang sekadar angan-angan dari pihak penuntut dan militer AS.
Selain itu, tidak ada indikasi militer AS sedang diam atau telah mundur dari Asia Tenggara. Amerika tampaknya bahkan melakukan yang sebaliknya. AS telah meningkatkan frekuensi FONOP untuk menantang klaim China di sana dan secara mencolok terus ‘mengibarkan bendera’ di kawasan tersebut.
Selain itu, Amerika Serikat sedang mempertimbangkan untuk mengerahkan rudal jarak menengah untuk mengancam aset China di atas dan di dalam laut tersebut. Angkatan Darat AS bermaksud untuk membentuk gugus tugas di kawasan tersebut “dengan persenjataan modern, di samping rekan-rekan untuk mengubah perhitungan konflik dan menciptakan dilema untuk musuh potensial.”
Marinir AS sedang melakukan “transformasi radikal selama sepuluh tahun dari pasukannya untuk melawan jenis perang yang mungkin akan terjadi melawan musuh seperti China.”
Meski demikian, situasinya tampaknya menjadi status quo. Mark J. Valencia dari Eurasia Review menyimpulkan, hal itu menimbulkan kegelisahan bagi sebagian penuntut klaim di Asia Tenggara dan ASEAN secara keseluruhan. Namun, situasi itu demikian adanya dan tidak mungkin berubah secara dramatis di masa mendatang.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Prajurit Angkatan Laut Tentara Pembebasan Rakyat China di kapal angkatan laut di Laut China Selatan. (Foto: Twitter)
Unjuk Kekuatan, Seberapa Penting Pangkalan Laut China Selatan?