
Ketika wabah virus corona yang mematikan mulai menyebar, pemerintah China menyia-nyiakan sumber daya paling kritis untuk melawannya. Kepercayaan warga negara terhadap pemerintah seharusnya menjadi senjata utama untuk menyusun penanganan yang paling ampuh terhadap wabah penyakit itu.
Epidemi virus corona baru telah mencapai titik kritis. Langkah-langkah yang diambil selama beberapa hari ke depan terutama oleh kepemimpinan China akan menentukan penyebaran virus secara internasional, hingga berkembang menjadi pandemi yang sesungguhnya. Pemerintah China hanya memiliki waktu singkat untuk menanggulangi bencana virus corona.
Apakah laporan resmi China, termasuk klaim bahwa upaya pengendaliannya berhasil dan epidemi itu akan segera memuncak, dapat dianggap kredibel? Segala pertanda yang menyertainya terlihat buruk. Setelah dipuji oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan para ilmuwan di seluruh dunia atas tanggapan pemerintah China yang cepat dan transparan terhadap COVID-19, nama resmi virus corona, China sekarang menghadapi fitnah internasional dan potensi kerusuhan domestik. Ini dipicu kegagalan pemerintah yang menutupi dan menyebarkan kebohongan, serta melakukan represi yang terus menerus, setelah gagal menghentikan penebaran virus.
Sejak epidemi itu menjadi perhatian dunia pada awal Januari 2020, wabah virus corona telah ditandai oleh momen mengejutkan ketika otoritas kesehatan China mengumumkan lonjakan dramatis penyakit ini. Sejak saat itu, tidak ada yang lebih mengejutkan ketimbang peningkatan drastis korban pada 12 Februari 2020 yang mencapai 14.840 kasus di Provinsi Hubei dalam satu hari. Ini mendorong tingkat penyebaran nasional menjadi 59.804 kasus. Penyesuaian itu, menurut pejabat pemerintah China, dilakukan karena definisi penyakit yang melebar hanya untuk satu tempat di Provinsi Hubei, sementara pihak berwenang terus membatasi deskripsi kasus COVID-19 di tempat lain di China dengan pendekatan sebelumnya dengan menghitung jumlah yang lebih kecil.
Baca Juga: Xi Jinping Pikul Tanggung Jawab Besar untuk Tangani Virus Corona
Menurut Laurie Garrett dari Foreign Policy, kematian akibat pneumonia minggu lalu dari pahlawan nyata epidemi di China, dokter mata Li Wenliang, telah mengungkapkan sisi terburuk dari Partai Komunis China dan upaya mengerikan partai untuk menulis ulang sejarah epidemi yang tampaknya di luar kendali. Li merawat pasien pada Desember 2019 di Wuhan, tempat wabah itu bermula. Terlihat seperti kasus SARS, Li mengatakan kepada rekan-rekannya pada 30 Desember melalui grup chatting para dokter tersebut. Beberapa hari berselang, dituduh dengan kejahatan menyebarkan rumor, Li dan tujuh dokter lainnya ditangkap polisi keamanan China dan dipaksa untuk menandatangani dokumen yang mengakui “telah menyebarkan kebohongan.”
Selama berhari-hari, pihak berwenang Wuhan berusaha untuk membungkam Li. Bahkan, setelah ia terjangkit virus ketika merawat pasiennya dan dikurung di tempat tidur unit perawatan intensif, ia terus menyuarakan kewaspadaan atas epidemi di BBC World Service. Pada 6 Februari 2020, dokter berusia 34 tahun itu pun tewas. Kematian Li memicu kemarahan politik di seluruh China, memicu amuk yang belum pernah terjadi sebelumnya, dan mengecam upaya pembungkaman pemerintah.
Beberapa pengamat China menyamakan krisis virus corona bagi Presiden China Xi Jinping dengan krisis nuklir Chernobyl pada 1986, yang merupakan ancaman bagi Mikhail Gorbachev di Uni Soviet. Beberapa pihak lain membandingkan dokter muda pemberani itu dengan “Tank Man” yang legendaris, warga anonim yang berdiri membawa tas belanjaan di depan barisan tank China demi menghalangi masuknya mereka ke Lapangan Tiananmen Beijing dan penggunaan tank untuk menumpas protes mahasiswa pro-demokrasi pada 1989.
Seperti yang ditulis oleh pakar China Bill Bishop minggu lalu dalam buletin harian Sinocism, “Kontrak sosial Partai Komunis China dengan rakyat untuk memastikan kesejahteraan rakyat dan memberikan kemakmuran ekonomi yang terus meningkat ditekankan pada tingkat nasional dengan cara yang tidak pernah saya ingat dilakukan dalam beberapa dekade terakhir. Jumat lalu, saya menulis, “Situasi kali ini mendekati krisis eksistensial untuk Xi dan Partai yang saya pikir telah kita lihat sejak pembantaian Tiananmen 1989.” Saya pikir situasinya lebih menyerupai itu bahkan lebih dari seminggu kemudian.”
Seorang peneliti di Council on Foreign Relations, Elizabeth Economy, adalah salah satu pakar terkemuka dunia dalam politik China. Dia juga melabeli kematian Li dan perpecahan nyata di dalam Partai Komunis China atas cara terbaik untuk menangani epidemi sebagai ancaman paling signifikan terhadap kekuatan virus corona yang telah dihadapi Xi dan ujian kritis terhadap kelangsungan hidup seluruh kepemimpinan partai saat ini. Tidak ada pemimpin China sejak Mao Zedong yang mampu mengonsolidasikan kekuasaan dan kontrol sebesar Xi, yang membuat pemimpin China itu rentan disalahkan pada saat bencana.

Virus corona bikin lesu sejumlah perusahaan transportasi. (Foto: Reuters)
Masalahnya lebih dari sekadar politik dalam negeri China. Sangat penting bagi bisnis yang bertanya-tanya berapa lama dampak dari penutupan wilayah China akan bertahan lama dan bagi para pejabat kesehatan masyarakat yang khawatir tentang bagaimana mereka dapat menangani virus corona jika menyebar di negara, negara bagian, atau kota mereka. Kekhawatiran telah meluas ke Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus yang telah menghadapi kritik tajam bahkan petisi pemecatan akibat pertemuannya dengan Xi dan para pemimpin China lainnya serta keengganan Ghebreyesus untuk menyatakan wabah virus corona sebagai darurat kesehatan global.
Xi menghilang dari pandangan publik sehari setelah pertemuannya pada 27 Januari 2020 dengan Direktur Jenderal WHO Ghebreyesus. Xi tidak terlihat lagi hingga dua belas hari kemudian ketika dia berjalan-jalan melewati Distrik Chaoyang di Beijing dengan mengenakan masker medis.
Krisis politik di China mendorong kekhawatiran global tentang keandalan data epidemi yang dikeluarkan oleh pemerintah China, kegunaan pedoman Cina mengenai bagaimana virus itu menyebar dan siapa yang berisiko meninggal, serta langkah-langkah terbaik yang diambil untuk melindungi pekerja perawatan kesehatan menjadi korban penyakit.
Sejak pengumuman pertama pada 30 Desember 2019 tentang penyakit virus corona baru di Wuhan, Partai Komunis China telah menyusun narasi, terutama untuk tujuan politik domestik, menyelaraskan kasus resmi dan angka kematian dengan alur cerita. Sementara itu, komunitas kesehatan internasional mulai dari WHO hingga ahli statistik akademik dan analis penyakit menular telah mencoba menyimpulkan dari penghitungan harian resmi yang meragukan betapa berbahayanya penyakit virus corona bagi seluruh dunia.
Intinya adalah kepercayaan, yang tampaknya memudar di China dan semakin terurai di dunia kesehatan masyarakat. Epidemi virus corona tidak dapat diperangi dan dimenangkan kecuali ikatan kepercayaan antara pemerintah dan orang-orang dapat selamat dari kesedihan, kebingungan, emosi, dan tantangan medis. Pemerintah China dalam kelalaiannya telah merusak ikatan itu, mungkin nyaris tidak dapat diperbaiki lagi.
***
Antara awal Desember 2019 hingga 19 Januari 2020, narasi utama Partai Komunis China dari pejabat lokal pusat epidemi di Kota Wuhan sangat sedikit menyebut, orang yang terhubung ke pasar ikan dan hewan hidup setempat telah terinfeksi virus baru, yang menyebabkan beberapa orang dirawat di rumah sakit dengan pneumonia. Apa pun penyebab penyakitnya, itu bukan SARS dan tidak menyerupai SARS. Semua data yang dirilis cocok dengan narasi itu. Siapa pun yang, seperti dokter Li, mengisyaratkan fakta-fakta yang membantah narasi itu akan mendapatkan tekanan.
Setelah pengumuman resmi penyakit baru pada Malam Tahun Baru 2020, muncul narasi kedua yang berujung pada penutupan pasar hewan hidup secara efektif demi menghilangkan penyebaran penyakit, ketika tidak ada bukti penyebaran virus dari manusia ke manusia. Selama dua minggu, jumlah kasus resmi hampir tidak bertambah dan bahkan menurun menjadi 41. Pesan kepada orang-orang China, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Polisi setempat dan pejabat kesehatan konon telah melakukan pekerjaan mereka dengan baik dalam menghentikan wabah, skenario yang diterima oleh WHO.

Jalanan yang kosong terlihat di Wuhan, provinsi Hubei, China, 29 Januari 2020, dalam gambar yang diperoleh dari media sosial. (Foto: Instagram/Emilia Via Reuters)
Sepanjang dua minggu yang penting itu, ketika upaya pengendalian yang agresif mungkin dapat menghentikan wabah, virus corona menyebar sepenuhnya secara independen dari pasar hewan, seperti yang telah terjadi setidaknya sejak pertengahan Desember 2020. Sepanjang Desember 2019 dan awal Januari 2020, sekitar setengah dari kasus virus corona di Wuhan sepenuhnya tidak terkait dengan pasar hewan. Epidemi itu menyebar hingga dua kali lipat dalam hitungan mingguan. Para peneliti di Imperial College London memperkirakan, 1.723 orang di Wuhan telah terinfeksi hingga 12 Januari 2020.
Ketika kecemasan di tingkat internasional meragukan narasi penahanan penyebaran penyakit dan bukti penularan virus dari manusia ke manusia menjadi tak terbantahkan, Xi mengambil langkah-langkah untuk menyingkirkan informasi. Sekitar waktu yang sama, komite tingkat tinggi Partai Komunis China mengunggah pesan WeChat yang kemudian dihapus yang mengecam para pejabat dan birokrat yang mungkin menekan informasi epidemi. Mereka memperingatkan, “Siapa pun yang dengan sengaja menunda atau menyembunyikan pelaporan demi kepentingan mereka sendiri akan selamanya diingat sebagai aib dalam sejarah.”
Tidak mengherankan, narasi resmi tiba-tiba berubah. Seperti halnya penghitungan kasus dan kematian, jumlahnya bertambah empat kali lipat menjadi 198 kasus pada 19 Januari 2020. Dalam narasi baru, pasar hewan tidak lagi disebutkan. Para pemimpin Wuhan saling menyalahkan satu sama lain untuk mendorong cerita sebelumnya dan menempatkan sebagian besar kota berpenduduk 11 juta jiwa dalam penutupan wilayah.
Namun, menjelang liburan Tahun Baru Imlek dan kekhawatiran akan karantina yang merajalela, jutaan warga Wuhan meninggalkan kota mereka untuk bepergian ke desa-desa keluarga tradisional dan kota-kota lain di seluruh China. Banyak orang tanpa sadar telah membawa virus itu bersama mereka.
Belajar dari pedoman penanganan SARS pada 2003, pemerintah Cina menempatkan seluruh negara pada serangkaian penutupan wilayah. Kota Wuhan terputus dari seluruh dunia secara fisik dan dari dunia maya untuk mencegah kemungkinan para pembangkang buka mulut. Perjalanan Tahun Baru Imlek tidak dianjurkan, sementara musim liburan diperpanjang untuk mengurangi penyebaran virus di sekolah dan tempat kerja. Di seluruh Provinsi Hubei dan daerah tetangga, sekitar 100 juta orang didorong untuk melakukan karantina terhadap diri sendiri dengan mengurung diri di dalam apartemen dan rumah mereka.

Tabung reaksi dengan label nama virus corona terlihat dalam ilustrasi ini yang diambil pada 29 Januari 2020. (Foto: Reuters)
Ahli virologi Guan Yi dari Universitas Hong Kong (HKU) memperingatkan, strategi penahanan penyebaran penyakit akibat virus corona mungkin gagal. Menurut Guan, wabah yang lebih besar sudah pasti terjadi dan secara konservatif bisa 10 kali lebih besar dari epidemi SARS, yang berarti lebih dari 8.000 kasus.
Secara ilmiah, strategi penahanan penyakit virus corona bertumpu pada asumsi penting: Virus dapat menyebar dari satu orang ke orang lain hanya jika sumbernya demam. Pos pemeriksaan suhu dengan demikian didirikan di seluruh negeri, di sepanjang jalan raya, di pintu masuk ke gedung-gedung besar, di semua titik transit, bahkan di tangan polisi yang berpatroli di jalanan kota yang ratusan kilometer jauhnya dari Wuhan. Kereta api, pesawat terbang, bus, dan jalan raya ditutup seluruhnya. Dengan mengidentifikasi setiap orang di China yang sedang demam dan menempatkan mereka di karantina, virus corona diharapkan tidak akan menyebar dan epidemi akan segera berakhir.
Namun, pada 3 Februari 2020, terdapat bukti bahwa orang yang tidak menderita demam, hanya penyakit virus corona ringan, dapat menularkan virus kepada orang lain. Satu orang seperti itu dapat menginfeksi dua orang lain, bahkan empat. Virus corona tidak hanya dapat menyebar melalui cipratan batuk, air liur, atau cairan ingus, tetapi tinja juga dinyatakan positif kontaminasi. Hal itu meningkatkan momok penularan secara oral atau feses melalui pengolahan makanan.
Lebih buruk lagi, lamanya masa inkubasi yang menunjukkan gejala mungkin sangat lama hingga 24 hari. Virus corona seketika tidak tampak seperti SARS yang memiliki waktu inkubasi sekitar tiga hari dan hanya menular dari individu yang menderita demam. Virus corona baru ini lebih mirip influenza yang dapat menyebar dari seseorang tanpa menunjukkan gejala ke orang lain melalui jabat tangan atau ruang udara bersama. Meskipun demikian, perbandingan itu gagal karena hanya ada sedikit orang yang mengalami masa inkubasi flu selama lebih dari 24 jam, apalagi 24 hari.
Pada akhir Januari 2020, Kota Wuhan menjadi kota hantu. Hampir tidak ada orang atau kendaraan yang terlihat lalu lalang. Seluruh penduduknya telah meninggalkan kota itu atau dikarantina di rumah. Namun, virus corona terus mengklaim korban baru. Xi memperingatkan bangsa itu, “Penyebarannya semakin cepat.” Ketika narasi pembatasan penyebaran penyakit terbukti keliru dan kota-kota di luar Wuhan mulai terjangkit secara menakutkan, Partai Komunis China beralih ke pedoman terkenal lainnya: menggalakkan negara polisi.
Dalam semalam, gimnasium, arena olahraga, hotel, asrama universitas, pusat konvensi, dan fasilitas besar lainnya diubah menjadi pusat penampungan. Ribuan tempat tidur ditempatkan dalam barisan panjang, sementara makanan, perlengkapan mandi, dan pemeriksaan demam rutin diberikan kepada ribuan orang yang dikarantina di sana. Tidak diragukan lagi, rumah sakit darurat tersebut bukan rumah sakit. Banyak yang ditahan di dalam fasilitas karantina darurat mengeluh, mereka tidak pernah dites untuk infeksi tetapi diangkut dan dipaksa untuk berbagi fasilitas mandi dan toilet dengan ratusan orang lain yang mungkin terinfeksi.
***
Ketika kecemasan meningkat, Xi mencoba untuk menyalahkan dengan menunjuk tokoh-tokoh tertentu untuk memimpin upaya tanggapan epidemi dan mengirim Perdana Menteri China Li Keqiang ke Wuhan. Xi mengecam “pernyataan yang tidak benar”, berfokus pada orang-orang yang menggunakan Weibo dan media sosial lainnya untuk meragukan kebijakan penahanan dan meratapi pengurungan mereka. Xi meneruskan narasi tambahan dengan menyalahkan pemerintah AS atas penderitaan yang dialami China.

Ada beberapa cara untuk menghindari penularan virus corona termasuk rutin mengganti masker dan memakai sarung tangan setiap keluar rumah. (Foto: CNN)
Pada 30 Januari 2020, hari yang sama ketika WHO menyatakan epidemi virus corona sebagai darurat kesehatan masyarakat yang menjadi perhatian internasional, Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Mike Pompeo mengeluarkan peringatan perjalanan ke Amerika, memperingatkan warga AS agar tidak mengunjungi China. Selama minggu pertama Februari 2020, terdapat peningkatan pembatasan yang diberlakukan pada maskapai penerbangan AS, bandara, imigran China, pelancong yang kembali ke Amerika, dan perdagangan barang-barang utama antara kedua negara.
Pada 3 Februari 2020, rumah sakit di seluruh China melaporkan kekurangan alat tes, yang memaksa pengurangan besar dalam diagnosis dan pelaporan kasus. Para akademisi medis dan anggota tim ahli tingkat tinggi yang dikumpulan oleh Komisi Kesehatan Nasional China memperingatkan: “Deteksi dini, diagnosis dini, isolasi awal, dan perawatan dini tidak dapat dilakukan di Wuhan saat ini. Saya berharap negara akan mendukung penanganan di Wuhan.”
Pada hari yang sama, Komite Tetap Biro Politik Komite Sentral Partai Komunis China mengadakan pertemuan dan merumuskan narasi baru. Epidemi virus corona telah berada di luar kendali karena manajemen yang buruk. Partai Komunis China akan memimpin “perang rakyat” melawan virus serta semakin berupaya menekan karantina dan desas-desus. Epidemi seharusnya mudah dikendalikan, mengingat 80 persen dari korbannya berusia di atas 60 tahun, dengan 75 persen memiliki tubuh yang kian lemah akibat penurunan kondisi kesehatan. Anehnya, sangat sedikit penderita merupakan anak-anak dan 66 persen adalah laki-laki, menurut data resmi baru.
Dalam serua patriotisme, Partai Komunis China mendesak orang-orang untuk mengidentifikasi sesama tetangga yang sakit dan mengubahnya menjadi otoritas. Pada akhirnya, di setidaknya satu kota, terdapat pembayaran dijanjikan yang setara dengan sekitar sepertiga dari pendapatan bulanan rata-rata orang dewasa di China. Para penderita yang diidentifikasi pun disingkirkan dari rumah mereka terkadang secara paksa dan ditempatkan di rumah sakit darurat yang didirikan di sekolah dan fasilitas olahraga.
Ketika para ahli internasional mempertanyakan apakah virus corona bisa dihentikan, pemerintah China melemparkan lebih banyak sumber daya ke upaya menutupi dugaan kasus dan rawat inap bagi penderita pneumonia.

Seorang petugas medis memeriksa temperatur seseorang di Wuhan, China (Foto: Getty Images).
Baca Juga: Korea Utara Tembak Mati Pejabat yang Keluar Karantina Virus Corona
Namun, pada 5 Februari 2020, rumah duka dan krematorium dilaporkan mengalami masalah seiring dengan upaya penanganan mayat di Wuhan. Meskipun tidak ada data yang disediakan untuk mengatasi masalah ini, penutupan wilayah di Wuhan membahayakan tidak hanya nyawa orang yang terinfeksi virus corona, tetapi juga orang-orang dari ribuan orang yang membutuhkan pengobatan dan perawatan sesekali untuk penyakit seperti infeksi HIV, penyakit ginjal, diabetes, dan hipertensi. Rumah sakit tidak lagi menyambut mereka dan obat-obatan sudah habis, tetapi tidak ada hitungan pasti mengenai jumlah penderita atau korban jiwa.
Di seluruh Hubei, rumah sakit pada akhir pekan pertama Februari 2020 kehabisan tempat tidur, respirator, serta peralatan pendukung oksigen dan pneumonia. Ketika lebih banyak kota mengalami lonjakan jumlah kasus, mereka mengikuti strategi penutupan wilayah dan karantina di Wuhan. Pada 14 Februari, Komisi Kesehatan Nasional China akhirnya mengakui, COVID-19 telah memakan korban. Mereka menuturkan, 1.716 staf medis China telah terinfeksi dan enam orang dari mereka meninggal karena penyakit pneumonia.
Kemudian, pada 6 Februari 2020, Li Wenliang meninggal karena penyakit virus corona, memicu kemarahan dari seluruh negara yang dipenuhi dengan kemarahan. Pemerintah China menanggapi gelombang kemarahan dengan menyensor unggahan media sosial dan memblokir berbagai akun. Cecilia Wang, reporter The Economist yang berbasis di Shanghai, menulis di Twitter secara real time mengenai operasi di media sosial China ketika sejumlah komentar tentang penanganan epidemi oleh pemerintah telah dihapus dari jejak digital.
Pada 8 Februari 2020, terdapat laporan Xi telah menunjuk anak didiknya Chen Yixin, pria yang tidak memiliki latar belakang medis atau ilmiah, sebagai pejabat tingkat kedua dalam komando tim yang bertugas menangani krisis epidemi di Hubei. Keahlian Chen adalah penegakan hukum. Dia mengepalai komisi keamanan domestik paling kuat di China. Ketika Chen bertolak ke Wuhan, sejumlah orang di antara kepemimpinan dalam penanganan epidemi Hubei dan Wuhan sebelumnya dijatuhi hukuman.
Pada 9 Februari 2020, angka resmi menunjukkan perlambatan dalam laporan kasus baru, tren yang akan bertahan sampai lonjakan pada 12 Februari. Selama jeda tiga hari tersebut, muncul dua narasi baru. Pertama, epidemi virus corona telah mencapai puncaknya. Kedua, sudah waktunya China kembali bekerja memulihkan ekonomi nasional.
Namun, stabilitas hampir tidak ditemukan di mana pun di seluruh China. Di salah satu kota yang paling terdampak di China, Huanggang, pemimpin Partai Komunis China setempat mengatakan pemerintah kota hanya dapat melakukan uji coba terhadap 900 orang per hari. Pencarian di seluruh kota mengidentifikasi 13.000 pasien demam. Tingkat kematian, menurut Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China (CDC), bervariasi di seluruh negara, dengan 4 persen dari mereka yang sakit akibat virus corona meninggal di Wuhan dan 5 persen dari kasus yang terbukti mematikan di Tianmen.
Namun, sulit untuk menganggap kredibilitas perkiraan itu karena tidak ada yang benar-benar tahu situasi mendasarnya, berapa banyak orang yang terinfeksi. Tidak hanya terlalu sedikit orang yang dites, tetapi kit diagnostik sangat sulit untuk dieksekusi dengan baik sehingga ada tingkat negatif palsu setinggi 50 persen. artinya, beberapa laboratorium telah melewatkan setengah dari semua infeksi.
Ketika fasilitas karantina darurat penuh sesak, timbul pertanyaan tentang keselamatan mereka karena orang-orang berjejalan dan berbagi fasilitas toilet. Ada bukti yang jelas, penyakit akibat virus corona dapat menyebar melalui tinja atau gas beracun dari toilet yang terlalu sering digunakan dan pipa yang rusak.
Pada 10 Februari 2020, Xi memecat dua pejabat kesehatan Hubei di tengah klaim bahwa virus corona dapat membuat 5 persen penduduk Wuhan menderita, yang berjumlah setengah juta orang. Tiga hari kemudian, sekretaris partai Hubei digantikan oleh loyalis Xi.
***
Wu Zunyou merupakan kepala ahli epidemiologi untuk Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit China, yang pada akhirnya bertanggung jawab untuk memperkirakan dan menghitung jumlah korban wabah virus corona. Pada 13 Februari 2020, ia berbicara dengan Howard Bauchner, pemimpin redaksi Journal of American Medical Association, dan membela keakuratan angka epidemi China. Wu mengakui, kit diagnostik kekurangan pasokan dan bisa sulit untuk digunakan. Namun, ia tetap bersikeras epidemi virus corona mereda. Ketika lebih banyak orang yang terinfeksi mencapai akhir masa inkubasi mereka, menurut Wu, penularan akan melambat, sehingga akan menjadi jelas bahwa metode pengendalian China memang telah bekerja.

Foto yang diunggah di media sosial Weibo pada 25 Januari 2020 menunjukkan para petugas medis di Central Hospital of Wuhan membawa tanda khusus Tahun Baru Imlek di Wuhan, China. (Foto: Reuters/Weibo/The Central Hospital of Wuhan)
Robert Redfield, yang mengepalai Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), mengatakan kepada CNN minggu ini, ia jauh kurang optimis. “Saat ini kita dalam situasi penahanan yang agresif,” kata Redfield.
“Kita tidak tahu banyak tentang virus corona. Virus ini mungkin tetap menghantui kita melampaui musim ini, melampaui tahun ini. Saya pikir akhirnya virus corona akan semakin kuat dan kita akan mendapatkan transmisi virus lewat komunitas.”
Di Jenewa pekan ini, sekitar 400 ahli penyakit menular terkemuka dunia berkumpul untuk membantu WHO memecahkan banyak misteri yang masih menyelubungi virus corona. Salah satunya adalah Gabriel Leung dari Universitas Hong Kong, yang tidak meyakini strategi China akan berhasil dan khawatir ketika sekolah dibuka kembali dan jutaan orang kembali ke Wuhan dan kota-kota yang mengalami penutupan lainnya, penyebaran virus corona sekali lagi akan melonjak.
Virus corona baru dapat menyebar jauh melampaui perbatasan China, mungkin menginfeksi lebih dari 60 persen populasi dunia. Bahkan jika penyakit akibat virus corona membunuh hanya 1 persen dari seluruh penderita, 1 persen dari 60 persen dari 7 miliar orang di seluruh dunia adalah jumlah kematian yang mengejutkan. Angka itu menempatkan virus corona sejajar dengan tiga pandemi terbesar dalam sejarah manusia, yakni wabah abad ke-14, influenza pada 1918, dan jumlah korban HIV/AIDS hingga saat ini.
Laurie Garrett dari Foreign Policy percaya, umat manusia akan berhasil membatasi virus corona ke tingkat yang tidak begitu mengerikan dalam waktu yang cukup lama untuk mengembangkan vaksin yang efektif. Namun, solusi ini akan membutuhkan upaya besar dalam jangka waktu yang lama. Vaksin baru untuk virus corona membutuhkan penelitian dan pengujian selama bertahun-tahun.
Sayangnya, China menunjukkan bagaimana semua ini bisa salah sehingga krisis virus corona berkembang menjadi malapetaka. Pemerintah Presiden China Xi Jinping telah memberi sejumlah besar data kepada dunia, tetapi kredibilitasnya terikat erat dengan metode tata kelola, penyensoran, intimidasi, dan sifat jahat Partai Komunis China. Seluruh dunia dibiarkan meramalkan sendiri dan melakukan persiapan tanpa benar-benar tahu apa yang bisa ditimbulkan oleh virus corona.
Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari
Editor: Purnama Ayu Rizky
Keterangan foto utama: Presiden China XI Jinping mengenakan masker dan menjalani pemeriksaan suhu tubuh ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit di China. (Foto: France 24)
