Wabah Virus Corona Guncang Elite Politik China
Asia

Yang Terjadi Usai Corona Berakhir: China Lebih Kuat

Berita Internasional > Yang Terjadi Usai Corona Berakhir: China Lebih Kuat

Di saat sejumlah pihak memprediksi Amerika akan menjelma sebagai kekuatan penting usai pandemi corona, yang lain menyebut China justru bangkit setelahnya.

Rasanya menyamakan kondisi keterasingan di China seperti “momen Chernobyl” kurang tepat, mengingat saat puncak pandemi dunia pada Februari, jumlah korban corona di Negeri Tirai Bambu itu justru merosot tajam. Sekarang, setelah China tidak melaporkan adanya kasus domestik baru selama tiga hari berturut-turut, nampaknya Schadenfreude (rasa senang melihat pihak lain menerima kemalangan. Red) Barat, berubah jadi penyangkalan, seperti halnya fase pertama kesedihan ala Elizabeth Kübler-Ross.

Barat lalu telah melompat dari penyangkalan ke amarah, tahap kedua dalam daftar Kübler-Ross. Ini tampak dari beberapa pidato Donald Trump akhir-akhir ini.

“Saya percaya [China] bisa memberi kita banyak pemberitahuan sebelumnya,” ungkap Presiden AS Donald Trump saat jumpa pers 19 Maret, dilansir dari Asia Times.

Baca Juga: Belajar dari Penanganan Wabah Corona Italia, Pusat Pandemi Baru

Ia menambahkan, “Itu (pasien positif virus corona. Red) bisa saja terkandung pada satu area di China di mana ia dimulai. Tentu saja, dunia membayar harga yang besar untuk apa yang mereka lakukan dan tak lakukan. Semua orang tahu itu.”

Pernyataan Trump dalam pidato itu direspons sejarawan konservatif Victor Davis Hanson.

Ia berujar, “Kebuntuan Trump merobek keropeng Tiongkok. Luka busuk yang terbuka di bawahnya telah menakutkan dunia: berbohong, menipu, dan akal-akalan membungkam penularan COVID-19, virus misterius yang muncul dari Wuhan akhir tahun lalu dan sekarang telah menyebar ke seluruh dunia dan membuat panik. Corona membantu mengingatkan dunia, protes demokrasi Hong Kong, kamp indoktrinasi untuk Muslim Uyghur, dan pengawasan internal China ala Orwellian adalah karakteristik bukan penyimpangan.”

Di bagian lain, Prof. Hanson menyatakan, “Perilaku buruknya setelah COVID-19 akan membuatnya lemah dalam posisi global. Sementara, AS akan muncul lebih kuat.”

Sentimen yang sama diungkapkan dalam lusinan komentar lainnya.

Meskipun demikian, opini beberapa orang itu bisa saja salah. Dalam situasi sekarang, itu sangat mungkin mengingat epidemi COVID-19 tak dilaporkan terjadi di China Daratan pada Kamis dan Jumat (walaupun beberapa orang China yang kembali dari negara lain dinyatakan positif). Itu adalah pencapaian luar biasa di negara berpenduduk 1,4 miliar orang, begitu luar biasa, sehingga banyak komentator Amerika bersikeras, Beijing pasti berbohong tentang jumlah itu.

Namun, tidak ada alasan untuk percaya data Tiongkok tidak akurat. China menggabungkan kontrol kejam pada pergerakan warga dan pengujian masif dengan analisis data besar dari ratusan juta lokasi ponsel cerdas, seperti yang dilaporkan pada 3 Maret.

China juga telah mengkorelasikan lokasi ponsel cerdas dengan pembelian daring dan unggahan media sosial selama setidaknya lima tahun. Negara ini berinvestasi secara besar-besaran dalam aplikasi kesehatan masyarakat yang berbasis Kecerdasan Buatan (AI). Menggabungkan kepiawaian dengan sejumlah besar data uji corona, memberi China keuntungan yang menentukan dalam pengendalian epidemi. Ini mungkin merupakan eksperimen Kecerdasan Buatan terbesar dan tercanggih yang pernah ada, dan mungkin menjadikan China sebagai kekuatan AI yang dominan di dunia.

Sementara itu, para analis Barat sedang berjuang untuk menjelaskan keanehan ini. Pada 20 Maret, Hudson Institute yang bermarkas di Washington, sebuah lembaga think thank yang memberi nasihat kepada Departemen Pertahanan, mengeluarkan laporan berjudul “Mitos Keberhasilan Corona China”. Biar bagaimanapun, mereka tidak membantah fakta keberhasilan tersebut. Sebaliknya, ia menyatakan, motif China bukan kemanusiaan, ekonomi China tak lepas dari cacat, dan pemerintah membuat kesalahan besar karena mengorbankan kebebasan individu, dan melakukan hal-hal mengerikan pada populasi Uyghur.

Di China sendiri, struktur hierarkisnya memang telah membuat informasi buruk tak mendapat tempat. Sejarah mencatat, penguasa China telah menembak utusan pembawa berita buruk selama ribuan tahun. Itu adalah kelemahan dalam budaya Tiongkok. Pejabat partai lokal di Provinsi Hebei mencoba menutupi epidemi selama beberapa minggu, mengancam Dr. Li Wenliang ketika ia memperingatkan penyakit itu. Li kemudian meninggal karena COVID-19. Pada 11 Februari kepemimpinan partai lokal digantikan dan pada 20 Maret pemerintah Beijing mengeluarkan “permintaan maaf serius” kepada mendiang Dr. Li. Asia Times menyebut, tidak ada contoh yang sebanding dari permintaan maaf pemerintah Tiongkok kepada warga negara saat itu.

Presiden China XI Jinping mengenakan masker dan menjalani pemeriksaan suhu tubuh ketika berkunjung ke sebuah rumah sakit di China. (Foto: France 24)

Baca Juga: Penyebaran Corona Indonesia, Kegiatan Agama Picu Kematian Tertinggi

Faktanya, terlepas dari birokrasi buruk, China dimobilisasi secara efektif untuk menurunkan tingkat infeksi menjadi nol. Tidak hanya Jepang tetapi Taiwan, Korea Selatan, dan Jepang dapat mengendalikan epidemi dengan cepat, melalui pengujian ekstensif dan karantina awal. Pulau Hokkaido di Jepang pun baru saja menganulir status darurat dan sekolah-sekolah Jepang mulai dibuka kembali. Orang Asia mematuhi instruksi pemerintah, dan ini mungkin menjadi faktor penentu dalam keberhasilan mereka. Orang Italia ahli dalam urusan mangkir, sehingga memiliki lebih banyak kematian COVID-19 daripada China.

Sementara itu, dua negara bagian terbesar di Amerika, California dan New York, baru saja menutup semua aktivitas kecuali untuk layanan esensial. Imbasnya, ekonomi AS akan berkontraksi pada tingkat tahunan yang belum pernah terjadi sebelumnya, yakni lebih dari 20 persen per tahun selama kuartal kedua, menurut beberapa pengamat.

Pemerintah Amerika beroperasi dalam kegelapan. Pemerintah negara bagian panik karena mereka meraba-raba dalam kegelapan. AS hingga saat ini telah menguji hanya 85.000 orang, dibandingkan dengan 274.000 di Korea Selatan sejak akhir Februari. Per kapita, Korea Selatan telah menguji 20 kali lebih banyak orang daripada AS.

Pengujian besar-besaran dan analisis pola infeksi memungkinkan Korea Selatan bersama dengan China, Taiwan, dan Jepang mampu mengendalikan epidemi. China melakukan 300.000 tes di Provinsi Guangdon saja dan menemukan 540 kasus infeksi. Ini bukan hanya fenomena Asia.

Sementara, Jerman, dengan sistem kesehatan masyarakat yang kuat dan delapan tempat tidur rumah sakit per 1.000 penduduk, hanya 24 korban yang mati untuk 10.000 yang terinfeksi. Tingkat kematian mereka hanya 0,25 persen, dibandingkan dengan tingkat kematian hampir 8 persen di Italia.

Israel, yang telah mempersiapkan sejak didirikannya untuk korban sipil berskala besar dan mempertahankan standar perawatan medis serta penelitian yang sangat tinggi, sejauh ini tidak memiliki satu kematian karena virus corona.

Pengujian forensik, sistem kesehatan masyarakat yang kuat, dan solidaritas sosial menjelaskan perbedaan lebih dari tiga puluh kali lipat antara tingkat kematian Jerman dan Italia. Berita baiknya adalah epidemi dapat ditanggulangi dan sebagian besar korbannya berhasil diobati. Berita buruknya adalah sebagian besar negara di dunia tidak memiliki sarana untuk melakukannya.

Tanpa data, otoritas Amerika memiliki pilihan yang tidak menyenangkan dengan berharap tingkat infeksi tidak membanjiri sistem rumah sakit Amerika. Pun, berusaha menghentikan penyebaran virus dengan mematikan ekonomi. Pihak berwenang tidak tahu apakah mereka membuat masalah lebih baik atau lebih buruk, seperti yang ditulis Stanford Profesor John Ioannidis minggu ini.

Pada saat semua orang membutuhkan informasi yang lebih baik, soal penyakit, mereka tidak memiliki bukti yang dapat dipercaya tentang berapa banyak orang yang terinfeksi SARS-CoV-2. Informasi yang lebih baik diperlukan untuk memandu keputusan dan tindakan yang sangat penting dan untuk memantau dampaknya.

Penanggulangan Draconian telah diadopsi di banyak negara. Jika pandemi hilang, baik karena sendiri atau intervensi, social distancing dan penguncian (lockdown) mungkin dapat ditanggung. Namun, berapa lama seharusnya tindakan seperti ini dilanjutkan jika pandemi di seluruh dunia tidak berkurang? Bagaimana para pembuat kebijakan dapat mengetahui apakah mereka berbuat lebih baik daripada merugikan?

Huawei

Walau masuk daftar hitam pemerintahan Donald Trump, namun Huawei masih memiliki banyak cara untuk bertahan. (Foto: Reuters/Dado Ruvic)

Prof Ioannidis, salah satu ahli biostatistik paling dihormati di dunia, mengingatkan di “Kegagalan dalam Pembuatan?”. Menurutnya, melacak pergerakan pembawa penyakit dan mengidentifikasi kemungkinan kelompok infeksi hanyalah satu dari pengaplikasian teknologi informasi untuk perawatan kesehatan, di mana China berharap menjadi pemimpin dunia. Huawei, pemimpin dunia dalam teknologi broadband 5G, mengiklankan berbagai aplikasi di situs web-nya yang menjanjikan transformasi layanan kesehatan.

Selama sepuluh tahun ke depan, Huawei berharap memiliki setengah miliar orang mengunggah catatan kesehatan digital dan pengurutan DNA ke server cloud-nya. Ini memberikan lampiran ponsel cerdas yang dapat mengambil tanda-tanda vital serta melakukan elektrokardiogram (EKG atau alat rekam jantung. Red), dan mengunggah hasilnya secara real time untuk dianalisis oleh server AI Huawei. Pada Desember 2018, Huawei merilis lini prosesor AI khusus dengan klaim, mereka melampaui produk Amerika saat ini.

Sebelum pandemi, Amerika Serikat telah gagal mengganggu peluncuran produk 5G Huawei, dan juga gagal meyakinkan siapa pun kecuali beberapa sekutunya untuk tidak merangkul teknologi 5G Huawei. China sekarang memiliki alasan yang lebih kuat untuk membuat produk-produk teknologi andalannya, menawarkan aplikasi perawatan kesehatan ke dunia yang sangat membutuhkannya.

Hal yang pasti, aplikasi data besar China untuk perawatan kesehatan tidak harus bertentangan dengan undang-undang privasi yang membuatnya sulit mendigitalkan catatan kesehatan atau menggunakan data lokasi ponsel cerdas di Amerika Serikat. Bagi Barat, sebuah sistem yang dapat memantau kesehatan dan lokasi seluruh populasi adalah prospek yang mengerikan, beraroma fiksi distopian. Negara-negara Barat akan membuat pilihan sulit antara kebebasan individu dan keselamatan publik, jenis pilihan yang biasanya dibuat pada masa perang.

 

Penerjemah dan editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Ekonomi China terpukul setelah wabah corona semakin liar, namun penurunan kasus menunjukkan, China bisa bangkit kembali lebih baik. (Foto: Crecendo)

Yang Terjadi Usai Corona Berakhir: China Lebih Kuat

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top