Pembatasan Sosial
Berita Politik Indonesia Hari Ini

Jokowi Teken Aturan Pembatasan Sosial Skala Besar, Apa Artinya?

Berita Internasional > Jokowi Teken Aturan Pembatasan Sosial Skala Besar, Apa Artinya?

Peraturan baru itu memberi dasar hukum bagi setiap kota dan provinsi untuk memaksa bisnis dan kantor tutup serta tak lagi menyuruh para karyawan untuk datang bekerja. Pun, denda atau penangkapan dapat dilakukan bagi orang-orang yang bersikeras mengadakan pertemuan besar keagamaan atau sosial. Namun, praktiknya bagaimana?

Presiden Indonesia Joko “Jokowi” Widodo pada Selasa (31/3) menyatakan negara ini berada dalam keadaan “darurat kesehatan masyarakat”. Ia juga menandatangani peraturan pemerintah yang akan memungkinkan setiap kota dan provinsi untuk memberlakukan “pembatasan sosial skala besar” untuk mengekang penyebaran pandemi COVID-19.

Peraturan pemerintah memberikan dasar hukum bagi kota dan provinsi untuk menutup layanan yang tidak penting, membatasi pertemuan keagamaan dan sosial, serta membatasi pergerakan masyarakat. Di bawah peraturan baru tersebut, Presiden Jokowi telah berjanji untuk memastikan apotek dan toko yang menjual kebutuhan dasar masih akan buka. Demikian juga, petugas kesehatan, personel polisi dan militer, serta pejabat publik akan diizinkan untuk tetap bergerak bebas.

Namun, masih ada detail implementasi lain yang belum diumumkan oleh pihak berwenang. Berikut ini sejumlah signifikansi yang bisa terjadi selanjutnya.

Pembatasan sosial bukan konsep baru

Istilah “pembatasan sosial berskala besar” sebenarnya bukan hal baru dalam konteks Indonesia. Hal itu diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan.

Undang-undang itu memberikan sejumlah opsi yang bisa diambil pemerintah, yang paling ekstrem adalah “karantina wilayah”. Di bawah karantina tersebut, tidak ada yang bisa keluar masuk area tertentu, sementara orang harus tetap berada di dalam rumah setiap saat.

Namun, menurut catatan Channel News Asia, Jokowi tampaknya lebih memilih pendekatan pembatasan sosial yang kurang drastis karena ia menganggap hal itu sebagai solusi yang paling cocok untuk saat ini.

Agar pembatasan dapat diberlakukan, pemerintah pusat pertama-tama harus menyatakan Indonesia berada dalam keadaan “darurat kesehatan masyarakat”, yang telah ditegaskan Jokowi pada Selasa (31/3).

Baca juga: [INFOGRAFIK] Lockdown, Pembatasan Sosial, Darurat Sipil, Apa Bedanya?

Kota dan provinsi bisa rumuskan langkah pembatasan sendiri

Dengan dikeluarkannya peraturan tersebut, kini terserah kota dan provinsi untuk memutuskan apakah mereka ingin menerapkan pembatasan atau tidak.

Jika mereka menerapkannya, undang-undang mengatakan pemerintah daerah masing-masing harus paling tidak menutup sekolah, bisnis, kantor dan layanan tidak penting lainnya. Mereka juga harus membatasi kegiatan keagamaan dan sosial di rumah ibadah dan ruang publik. Undang-undang tersebut tidak menetapkan pembatasan apa yang dapat dilakukan oleh kota atau provinsi untuk menghentikan penyebaran penyakit mematikan itu.

Namun, pemerintah kota dan provinsi perlu berkonsultasi dengan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto dan kepala gugus tugas pemerintah untuk penanganan COVID-19 Jenderal Doni Monardo sebelum mereka dapat menerapkan pembatasan tersebut. Menteri Terawan dapat menolak sepenuhnya langkah-langkah yang diusulkan atau meminta kota dan provinsi untuk mengurangi langkah-langkah tersebut.

“Saya telah menginstruksikan para kepala daerah untuk menahan diri dari membuat kebijakan independen yang tidak terkoordinasi. Semua kebijakan daerah harus mematuhi peraturan, tetap berada di koridor UU, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden,” tegas Presiden Jokowi pada Selasa (31/3).

Hingga Rabu (1/4) sore, pemerintah pusat masih mengaji proposal yang diajukan oleh sejumlah wali kota dan gubernur terkait pembatasan tersebut.

Regulasi sebagai dasar penegakan hukum

Peraturan baru itu memberi dasar hukum bagi setiap kota dan provinsi untuk memaksa bisnis dan kantor tutup serta tak lagi menyuruh para karyawan untuk datang bekerja.

Dengan peraturan tersebut, denda dapat dikenakan atau penangkapan dapat dilakukan bagi orang-orang yang bersikeras mengadakan pertemuan besar keagamaan atau sosial.

[Berita Foto] Lockdown ala Indonesia: Dari Pocong hingga Ucapan Kangen

Petugas melakukan pengalihan jalur saat penutupan sebagian jalan protokol di Kota Tegal, Jawa Tengah, Senin malam, 22 Maret 2020. Pemkot dan Polres Tegal hingga 14 hari mendatang menerapkan local lockdown dengan menutup jalur Pantura yang melintasi kota, akses masuk alun-alun, dan mematikan sebagian lampu jalan protokol untuk membatasi kendaraan yang akan masuk ke kota dan mencegah kerumunan massa di jalanan. (Foto: Antara Foto/Oky Lukmansyah)

Sebelum peraturan itu difinalisasi, pemerintah kota dan provinsi hanya bisa mendesak perusahaan agar staf mereka bekerja dari rumah serta meminta berbagai pusat ibadah seperti masjid dan gereja untuk menghindari salat Jumat atau kebaktian Minggu.

Akibatnya, beberapa perusahaan masih meminta para pekerjanya untuk pergi ke kantor, sementara beberapa masjid terus melakukan ibadah salat Jumat.

Pakar: Perlu koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah

Pakar kesehatan masyarakat Hermawan Saputra mengatakan kepada Channel News Asia, peraturan itu seharusnya sudah dikeluarkan sejak lama dan tidak ketika jumlah kasus telah melampaui 1.700 saat ini.

“Pemerintah agak terlambat, mengingat fakta hukumnya sudah ada dan beberapa pilihan telah tersedia,” ujar Dr Saputra.

“Para pekerja medis di seluruh Indonesia telah menyerukan upaya nyata untuk memastikan orang-orang tetap tinggal di rumah, menghindari berkumpul dengan banyak orang, dan tidak melakukan perjalanan yang tidak perlu. Itu adalah cara terbaik untuk memperlambat penyebaran COVID-19.”

Baca juga: [Berita Foto] Beragam Praktik Social Distancing di Seluruh Dunia

Hingga Kamis (2/4), dilansir dari Channel News Asia, jumlah kasus infeksi virus telah mencapai 1.790 dengan 170 korban jiwa.

Dr Saputra mencatat, di bawah peraturan itu, pemerintah pusat tidak dapat memaksa pemerintah daerah untuk menerapkan pembatasan jika mereka enggan melakukannya. Peraturan tersebut juga gagal untuk mengatasi kemungkinan masalah yurisdiksi, tambah pakar kesehatan masyarakat itu.

“Jika Jakarta memberlakukan tindakan keras sementara provinsi-provinsi di sekitarnya Banten dan Jawa Barat tidak melakukannya, semuanya akan sia-sia,” tegas Dr Saputra.

“Perlu ada upaya terkoordinasi yang dipimpin oleh pemerintah pusat. Tidak boleh ada pemimpin daerah yang mengambil pendekatan dan tindakan yang berbeda.”

Menurut Wakil Ketua Ikatan Dokter Indonesia Dr Adib Khumaidi, semuanya tergantung pada bagaimana pembatasan ini diterapkan.

“Apa pun kebijakan yang dipilih untuk diadopsi pemerintah, jika tidak diterapkan dengan benar dan orang-orang masih bisa bepergian dan berkumpul, semua itu tidak ada gunanya.”

 

Penerjemah: Fadhila Eka Ratnasari

Editor: Purnama Ayu Rizky

Keterangan foto utama: Presiden Joko Widodo (kiri) didampingi Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto menyampaikan konferensi pers terkait virus corona di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (2/3/2020). Presiden menyatakan 2 orang WNI yaitu seorang ibu dan anak di Indonesia telah positif terkena corona setelah berinteraksi dengan Warga Negara Jepang yang berkunjung ke Indonesia. ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan/foc.

Jokowi Teken Aturan Pembatasan Sosial Skala Besar, Apa Artinya?

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top