Ahok Bebas, tapi Ketimpangan UU Penistaan Agama Masih Mengancam Minoritas
Opini

Ahok Bebas, tapi Ketimpangan UU Penistaan Agama Masih Mengancam Minoritas

Berita Internasional > Ahok Bebas, tapi Ketimpangan UU Penistaan Agama Masih Mengancam Minoritas

Ahok bebas. Mantan gubernur DKI Jakarta itu dijadwalkan keluar penjara hari ini, 24 Januari 2019, setelah menjalani hukuman akibat kasus penistaan agama. Walau begitu, hukuman penjara masih mengancam agama minoritas.

Oleh: Human Rights Watch

Pembebasan mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dari penjara pada 24 Januari 2019, menggarisbawahi undang-undang penistaan agama yang berbahaya dan diskriminatif, kata Human Rights Watch. Basuki Tjahaja Purnama—yang dikenal sebagai Ahok (sekarang meminta dipanggil dengan BTP)—dihukum karena penistaan agama pada Mei 2017, dan menjalani hukuman penjara dua tahun karena “penistaan terhadap Islam.”

“Ahok akhirnya akan keluar dari penjara dan bersatu kembali dengan keluarganya, tetapi dia seharusnya tidak pernah dipenjara sejak awal,” kata Elaine Pearson dari Human Rights Watch. “Dakwaan terhadap Ahok yang tidak adil adalah pengingat bahwa kaum minoritas di Indonesia berisiko selama undang-undang penistaan agama yang kejam tetap ada.”

Ahok—seorang etnis China Kristen—telah dituduh di bawah UU penistaan ​​agama saat menjadi gubernur, sehubungan dengan referensi yang ia buat terhadap ayat Alquran pada September 2016. Sebulan kemudian, dua kelompok yang terkait erat dengan Muhammadiyah—organisasi Islam terbesar kedua di Indonesia—mengadu kepada polisi, mengatakan bahwa non-Muslim seperti Ahok seharusnya tidak mengomentari interpretasi Alquran.

Baca Juga: Setelah Bebas dari Penjara, Akankah Ahok Ikut Kampanye Pilpres 2019?

Kelompok-kelompok Islam berhasil menjadikan penuntutan penistaan ​​agama Ahok sebagai pusat upaya untuk mengalahkannya dalam Pemilihan Gubernur Jakarta pada April 2017, di mana Ahok kalah.

Penuntutan Ahok menunjukkan kepada non-Muslim dan banyak Muslim, bahwa kebebasan berekspresi dan beragama di Indonesia lemah, kata Human Rights Watch. Ahok bukan hanya gubernur daerah metropolitan terbesar di Indonesia, tetapi ia juga didukung oleh partai politik terbesar di Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), dan merupakan sekutu lama Presiden Joko Widodo. Para non-Muslim belajar bahwa mereka perlu sangat berhati-hati sebelum membuat komentar publik tentang keragaman dan pluralisme.

Hukum penistaan ​​agama di Indonesia tahun 1965, Pasal 156a KUHP Indonesia, menghukum penyimpangan dari prinsip sentral dari enam agama yang diakui secara resmi, dengan hukuman penjara lima tahun. Ini didasarkan pada keputusan pemerintah 1965, yang dikeluarkan oleh Presiden Sukarno saat itu, yang menyatakan bahwa enam agama secara resmi diakui di Indonesia: Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha, dan Konfusianisme. Undang-undang penistaan ​​agama telah digunakan untuk menuntut dan memenjarakan anggota agama minoritas dan agama tradisional.

Lebih dari 150 orang telah dipenjara berdasarkan undang-undang ini sejak tahun 1968. Pada tahun 2018, setidaknya enam orang dihukum karena penistaan ​​agama, termasuk:

  • Di Tanjung Balai, Sumatra, Meliana, seorang wanita Buddha yang mengeluh tentang suara azan dari masjid tetangga, dijatuhi hukuman 18 bulan penjara;
  • Di Jambi, Sumatra, anggota dewan kota Riano Jaya Wardhana, yang menulis unggahan Facebook yang mempertanyakan Muslim yang menekan Ahok, dijatuhi hukuman satu tahun penjara;
  • Di Pandeglang, Arnoldy Bahari, yang mengaku pernah mengalami kehadiran Tuhan dan mempertanyakan keyakinan umat Islam lainnya, dijatuhi hukuman lima tahun penjara.

Undang-undang penistaan ​​agama sering digunakan sebagai dalih bagi pemerintah untuk mengeluarkan peraturan diskriminatif lainnya, termasuk dekrit 2008 yang menentang Ahmadiyah dan dekrit 2016 yang menentang Millah Abraham, agama baru. Beberapa Muslim berpendapat bahwa ajaran-ajaran komunitas Ahmadiyah—yang menganggap diri mereka Muslim—menyimpang dari Islam.

Baca Juga: Dukungan Ahok Tak Pengaruhi Elektabilitas Jokowi-Ma’ruf

Pendiri Millah Abraham, Ahmad Mushaddeq, membantu mendirikan gerakan kembali ke alam di Kalimantan, tetapi saat ini berada di penjara karena penistaan ​​agama. Kelompok-kelompok Islam militan mendiskriminasi dan sering menyerang dua komunitas agama ini.

“Pemerintah Indonesia harus menghapuskan undang-undang penistaan dan peraturan diskriminatif lainnya,” kata Pearson. “Selama hukum penistaan agama masih ada, para Islamis akan menggunakannya untuk membawa penuntutan yang salah dan bahkan peraturan yang lebih diskriminatif terhadap agama minoritas.”

Pandangan yang diungkapkan dalam artikel ini adalah milik penulis sendiri dan tidak mencerminkan kebijakan editorial Mata Mata Politik.

Keterangan foto utama: Mantan Gubernur Jakarta Basuki Tjahaja Purnama dibebaskan dari penjara, tetapi Indonesia tetap menjaga undang-undang penistaannya yang terkenal kejam. (Foto: Human Rights Watch/Toni Malakian)

Ahok Bebas, tapi Ketimpangan UU Penistaan Agama Masih Mengancam Minoritas

BERLANGGANAN

Click to comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

To Top